
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara normatif ajaran Islam disebut sebagai rahmat bagi seru sekalian
alam, karena di bawah oleh seorang yang dinyatakan oleh Allah sebagai Rahmatan
lil Alamin. Ini berarti bahwa ajaran Islam bersifat aflikatif dan
dapat diwujudkan secara nyata dalam keseharian. Informasi impun menunjukkan
bahwa ajaran Islam haruslah selalu sejalan dan sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
Menurut
pemahaman kebanyakan umat Islam bahwa agama Islam mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia, yakni ajaran akidah dan syariah, kalau akidah mengenai
keyakinan dan kepercayaan, maka syariah mengenai selainnya, syariah dalam hal
ini dimaksudkan mencakup ibadah, muamalah (kehidupan) dan akhlak.[1]
|
Untuk mewujudkan agar ajaran Islam tetap sesuai dengan tingkat
perkembangan kecerdasan dan kebutuhan manusia disetiap zamannya, maka
diperlukan pemahaman yang memadai tentang kandungan al-Qur’an, dalam hal
seperti ini perlu dilakukan tadabbur[5]. Karena itu apa yang dikatakan oleh Quraisy Shihab bahwa, perkembangan dan
kemajuan dalam upaya memahami dan memaknai al-Qur’an tidak terhenti sampai
dengan datangnya abad ke-20, dengan lahirnya karya-karya tafsir yang muncul di
dalamnya, tetapi akan terus berlanjut di masa-masa depan, karena dorongan
al-Qur’an untuk merenungkan kandungan ayat-ayatnya, dalam arti menafsirkanya,
sebenarnya ditujukan kepada semua generasi umat Islam, dulu, kini dan
mendatang, dan bahwa al-Qur’an berdialog dengan seluruh generasi manusia hingga
akhir zaman, merupakan suatu axioma dikalangan para ulama.[6]
Sehubungan dengan hal tersebut, memunculkan adanya pola
pikir di kalangan masyarakat Islam bahwa yang berkaitan dengan ajaran yang
absolute, normatif,
bahkan ibadah mahdah tidak boleh berubah-ubah,[7] namun
selain dan itu, ada pala yang memungkinkan untuk direvisi, dirumuskan ulang
sepanjang hal tersebut masuk
kategori zhanniy.
Perbedaan
pendapat dikalangan ulama dalam memahami dan memaknai teks berlatar beiakang
pada pendekatan yang digunakan dengan cara sudut pandang yang berbeda terdahap
sebuah redaksi nash, oleh karena itu maka pokok masalah yang menjadi
titik tekan dalam makalah ini adalah bagaimana konsep qath’iy dan zhanniy dalam
persfektif pemikiran Islam. Dengan menjadikan Alquran sebagai obyek kajian
melalui pendapat para ulama dengan sistimatika pembahasan ; Terminologi qath'iy dan zhanniy, sekitar kandungan Alquran serta beberapa pandangan
para ulama tentang konsep qth ’iy dan
zhanniy.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian tersebut, permasalahan dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
terminologi Qath’iy dan Zhanniy?
2. Bagaimana
pandangan ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy?
3. Bagaimana
analisa dan kritik ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terminologi Qath’iy dan Zhanniy
Kata “qath’iy” adalah bentuk
mashdar dari fiil
madhi
“qatha'a” yang terambil
dari akar kata dengan huruf-huruf “qaf
tha’u, ayn”
yang mengandung arti dasar menajamkan atau menjadikan sesuatu dengan lainnya
jelas, memotong, pasti, dan secara leksikal bermakna “sesuatu yang sudah jelas
dan pasti.”[8]
Dengan demikian maka kata qath'iy yang
memperoleh imbuhan “ya’u al-nisbah” yang menunjuk
kepada istilah khusus dan atau berfungsi sebagai kata sifat yang bermakna
“sesuatu yang jelas atau sesuatu yang pasti.
Sedangkan
kata “zhanny” juga adalah bentuk masdhar dari akar kata dengan huruf-huruf
“zha ’u, aun, nun” yang menunjuk
pada dua makna yang berbeda seperti yakin dan ragu ragu.[9]
Dari sinilah terbentuk kata zhanniy”
yang mendapat imbuhan “ya’u al-nisbah’ sehingga
bermakna sesuatu yang tidak pasti, tidak jelas dan atau menimbulkan keraguan.
Bila
didasarkan pada makna lugwi tersebut di atas, maka melahirkan term- term yang
sifatnya qath ’iy al-wurud (ayat yang sifatnya defenitif bersifat absolute,
benar datangnya dari Allah), maupun qath’iy al-dalalah (ayat yang mengandung makna satu, jelas dan
absolut), sementara zhanny al-dalalah yaitu
ayat-ayat yang muatan maknannya tidak jelas dan memunkingkan untuk di formulasi
kembali karena ia mengandung makna lebih dari satu.
Disatu
pihak ada kalangan yang mengatakan bahwa dalam suatu teks atau nash mengandung
dua dalalah (kemungkinan arti) bagi pengucap teks tersebut.
Jika sebuah redaksi hanya mengandung satu arti saja . Hal yang demikian
dimaksudkan sebagai dalalah qath'iyah atau
dalalah haqiqiyah, walaupun demikian bagi para pendengar dan pembaca
teks tersebut tentulah dalalahnya bersifat nisbi (relatif). Tentulah tidak
dapat dipastikan apa yang dimaksud dari pembicara tersebut. Pemahaman terhadap
nash atau redaksi sebuah teks sangat dipengaruhi oleh banyak hal. Karena itu
ada yang berbeda pendapat dan yang masuk ketegori beda kesepahaman disebut
dengan dalalah zhanniyah atau dalalah nisbiyah.[10]
Al-Syathibiy
menegaskan bahwa “tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai
dengan penggunaan istilah yang populer.[11]
Istilah yang
dimaksudkan seperti dalam uraian tersebut di atas adalah qath ’iy al-dalalah, atau semakna seperti yang dijelaskan oleh Ali Abd.
Al-Tawwab bahwa tidak ada kemungkinan dari suatu lafadz kecuali makna dasar
yang dikandungnya.[12]
Yang
dimaksudkan oleh al-Syathibiy dalam hal tersebut adalah bahwa sangat tipis
kemungkinan adanya sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara, karena apabila dalil tersebut bersifat
mutawatir lafadznya, maka
untuk mendapatkan makna yang pasti dan jelas dibutuhkan premis-premis
(muqaddimah) yang bersifat (qath’iy)
pula. Dalam hal yang demikian premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir.Persoalan seperti ini tidaklah mudah
ditemukan dalam suatu realitas karena dibutuhkan pembuktian bahwa premis-premis
tersebut kesemuanya atau sebagian besar bersifat ahad, dalam arti zhanniy. Sesuatu yang didasarakan pada zhanniy maka makna apapun yang dihasilkan maka
sifatnyapun akan zhanniy
pula.
B. Pandangan Ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy
Discursus qath
’iy
dan zhanniy merupakan
terminologi populis dalam wacana yurisprodensi Islam (ushul
fiqh),
senantiasa dipergunakan dalam memahami Alquran dan hadis. Kategorisasi ayat
Alquran maupun hadis tidak ditemukan, namun hal ini merupakan kreasi para ulama
belakangan di pandang sebagai produk ijtiahdi. Tidak diketahui secara pasti
siapa pertama kali yang mengentrodusir kateorisasi ini dalam diskursus doktrin
Islam.
Sebagai sebuah
produk Ijtihad, konsep qath’iy dan zhanniy tidak mesti dipandang
dogmatis, karena ia merupakan produk Ijtihad yang sifatnya relatif bukan
bersifat defenitif, absolut. Sehingga pengertian dan penerapan konsep qath’iy
dan zhanniy harus dipahami dalam arti yang dinamis. Karena itu sebagian
dikalangan ulama tidak setuju bila dikatakan bahwa persoalan qath’iy dan
zhanniy hanya dibahas secara khusus oleh kalangan ulama ushul fiqhi, karena
seorang mufassir maka seyogyanyalah harus banyak mengerti dan mengetahui
kaedah-kaedah ushul dalam rangka mengkaji dalil-dalil hukum, meskipun qath’iy
dan zhanniy tidak secara tekstual dinyatakan dalam al-Qur’an.
Menurut Arkoun,
Abdullah Darras, termasuk Quraisy Syihab salah sorang pakar tafsir kontemporer
di Indonesia, mereka sependapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan
mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Karena keluasan dan
kedalamannya itu, orang dapat mengetahui secuil atau sebagian dari makna yang
dikandungnya, karena itu ayat al-Qur’an tidak hanya mengandung satu makna, tapi
bahkan lebih. Itulah sebabnya secara redaksional tidak ada ayat yang disebut qa(h’iy
al-dalalah.
Akan tetapi hal tersebut ada pada adanya kesepahaman dan kesepakatan sesorang
dalam memaknai suatu teks (mujma alaihy),
sehingga
tidak mungkin timbul makna lain.[13]
Walaupun
demikian perlu digaris bawahi bahwa seklipun para ulama berbeda pendapat
tentang kedudukan ijma sebagai sebuah
dalil, namun agaknya tidak diragukan bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada abad abad pertama tentu
jriempunyai banyak alasan untuk sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga
pada akhirnya ia menjadi qath'iyu al-dalalah, karena itu mengabaikan persepakatan mereka dapat menimbulkan kebingunan dan kesimpansiuran dikalangan umat Islam.[14]
Dasar inilah yang melatar belakangi masih adanya pemikiran di kalangan
ulama termasuk di Indonesia yang tidak membolehkan pintu ijtihad dalam hal yang
diteta apkan nash yang sifatnya qath’iy, seperti kewajiban salat, puasa haramnya minuman keras, riba, potong tangan termasuk pembagian
harta warisan bagi anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan yang
dikemukakan dalam firman Allah QS an-Nisa/4:11.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ
فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً
فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)
Terjemahannya:
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Argumentasi yang dijadikan pijakan pemikiran ini bahwa
ayat-ayat muhkam menjadi tempat kembalinya ayat-ayat mutasyabihat dan dalil-dalil zhanniy sehingga dikatakan bahwa ayat-ayat yang sifatnya qath’iy sebagai sandaran bila terjadi perdebatan dan silang pendapat, sebab
bila tidak ada format seperti ini maka berarti upaya dalam proses istimbath
hukum bisa menjadi rancu.[15]
Namun bukan lalu berarti seseorang harus terbelenggu dalam taqlid dan mengikatkan diri pada salah satu mazhab tertentu dengan tidak
peduli pada prospek pembaharuan dalam pemikiran Islam, Bukankah fatwa akan
senantiasa berubah seiring dengan dinamika social masyarakat.
Bagi Fazlur Rahman tidak terlalu mepersoalkan apakah itu
teks 'qath’iy atau zhanniy. Alasan yang di kemukakan bahwa tidak mungkin seseorang dapat
mengetahui secara pasti apa hakekat makna teks yang dikehendaki oleh pembuat
teks, apalagi teks-teks Alquran berasal dari Allah dalam bentuk ‘ide kata”
tidak dalam bentuk kata-kata yang bersuara.[16]
Jika Alquran menurut fakta dari sudut pandang Tuhan
sendiri dengan cara apakah pemaknahan (penafsir) modem
dapat memahaminya dan juga penafsir klasik atau bahkan setiap penafsir dari
kalangan umat manusia, Bagaimanakah ia memahaminya sedang keadaan dirinya
sendiri adalah imperfect. Bagaimanakah ia mampu memahami Alquran secara utuh dari sisi pandang
Tuhan, oleh karena itu Alquran dalam batasan fakta membentuk dirinya sesuai
dengan koheren dengan sisi pandang manusia, dengan demikian Nabi Muhammad saw.
sebagai seorang duta primordial terhadap pengalaman, baik itu bahasa, tempat,
zaman dengan cara pandang dunia yang diklenali oleh umat manusia. Sehingga
kalau tidak demikian misalnya, maka Alquran tidak mungking dapat dimengerti.[17]
Hal yang demikian dapat dikatakan bahwa dalam Alquran
bersatu dua unsur, artinya Alquran seluruhnya merupakan kata-kata Tuhan, namun
dalam pengertian biasa, ia merupakan perkataan Nabi Muhammad Saw (Q.S., 42 : 52
dan Q.S., 26 ; 193-194), bahwa Alquran diturunkan kedalam hati melalui wahyu
(inspirasi). Dengan demikan ada teks Alquran yang merupakan perkataan Muhammad
sehingga kalau argumentasi ini diterima, maka itu berarti makna yang terkandung
dalam teks Alquran menjadi tidak terbatas adanya.
Arkoun nampaknya
sependapat dalam masalah ini, bagi Arkoun teks Alquran mengandung kemungkinan
yang tidak terbatas ia menhadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan
pada tingkat yang dasariah,
eksistensi yang absolut dengan demikian selalu
terbuka tak pernah tetap
dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna.[18]
Muhammad Abduh
seperti yang dikatakan oleh muridnya Rasyid Ridha, bahwa urusan keagamaan
(syari’ah) membagi kedalam dua bagian hukum yakni : Yang bersifat defenitif (qath’iyah) dan yang tidak ditetapkan secara pasti (zhanniy) oleh nash dan
ijma.s2 Oleh karena
itu tidak mengherankan bila Muhammad Abduh dalam memaknai (manafsirkan)
ayat-ayat Alquran, berusaha untuk membersihkan pemaknahan Alquran dari
polusi-polusi yang dapat menodai makna yang sebenarnya palin tidak mendekati
apa yang dikehendaki oleh pembuat teks tersebut. Sehingga dikatakan bahwa
sebagai seorang pembarun seperti yang tertuang dalam artikenya yang beijudul “al-Islah
al-Din1
(reformasi keagamaan), mengemukakan pandangannya bahwa diperlukan kehati-hatian
dalam membaca kitab-kitab tafsir karya mufassir masa lalu, dengan latar
belakang kultur dan intelektual masyarakat 'mereka yang belum tentu sama dengan
latar belakang ultur dan intelktua! masyarakat Islam sekarang. Dan yang lebih
penting, belum tentu kemampuan daya dan daya nalar kita akan cocok dengan apa
yang mereka sampaikan.[19]
Sehingga
demikian
kata Abduh bahwa setiap muslim wajib mengetahui makrifat dan
mengamalkannya. Hukum Syariah yang serupa ini terdapat dalam Aturan dan
rinciannya telah dijelaskan oleh Rasulullah melalui perbuatan dan sunnahnya, serta disampaikan oleh kaum muslimin
secara berantai dalam praktek. Ketentuan-ketentuan yang demikian merupaku
hukum-hukum dasar yang telah disepakati (mujma ’alayha) kepastiannya.
Ini bukan lapangan ijtihad dan dalam hukum-hukum yang pasti orang boleh hertaqlid
(ya ’tifiha taqlid al-migallidinf.[20]
Lagi pula dari
segi kandungan Alquran ditemukan kesepahaman dikalangan ulama bahwa jika
dilihat dari sisi kemu’jizatan Alquran maka paling tidak ada tiga aspek yang
dapat dijadikan dasar berargumen sebagai berikut;
1.
Merupakan
isyar ilmiah, berisi informasi tentang ilmu pengetahuan, walaupun hanya dalam
bentuk isyarat ilmiah seperrti infdormasi mengenai alam, antara lain dsikatakan
bahwa bahwa bumi dan langit sebenarnya merupakan suatu yang padu dan setelah
terpisah dijadikan segala sesuatu yang hidup, demikian pula bahwa seluruh
kehidupan bersal dari air. (Q.S.,21 : 30). Sedangkan alam semesta terbentuk
dari gumpalan gas (ai-Dukhan) (Q.S.,41 ; 11)
2.
Merupakan sumber hukum, bahwa Alquran pada
dasarnya memberi andil yang kuat dalam pertumbuhan hukum bahkan Alquran tetap
merupakan produk hukum yang ideal hinga masa kini. Para ahli ushul membagi nas
dari segi dalalah (petunjuk pada
makna) melalui teori :
a.
Qath ’iy
dalalah,
artinya sesuatu nas yang tidak membutuhkan ta
’wil,
seperti dalam surah an-Nur/24: 2
الزَّانِيَةُ
وَ الزَّاني فَاجْلِدُوا كُلَّ واحِدٍ
مِنْهُما
مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِما رَأْفَةٌ في دينِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ
لْيَشْهَدْ عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنينَ
Terjemahnya:
Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.
b.
Zhanniy dalalah, suatu nas
yang memerlukan pemahaman lebih lanjut atau sesuatu yang membutuhkan penakwilan
seperti yang terlihat dalam surah al-Maidah/5: 38
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemahnya:
laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
3.
Menerangkan
sesuatu ibarah (teladan),
berita/ khabar yang sifatnya gaib, kisah-kisah umat seblumnya, dengan segala
reliats sosialnya, disamping informasi masa lalu juga informasi kekinian dan
akan dating, yang sulut untuk dijama olrh kecerdasan intelektual.[21]
Yang kedua
adalah masalah yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga
tidak terdapat consensus ulama tentangnya. Model yang kedua inilah yang menjadi
lapangan Ijtihad {majal
al-ljtihad),
dengan tidak menyangkut soal ibadah atau pokok-pokok agama, namun sangat erat
dengan soal muamalah, semisal masalah kemasyarakatan, politik, kebudayaan dan
semua yang berkaitan dengan kepentingan umum. Karena itu perbedaan pendapat
menurut Muhammad Abduh adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Kesatuan
berpikir dalam semua hal merupakan sesuatu yang tidak mungking dapat
diwujudkan, hal yang demikian ia merujuk pada pernyataan
Tuhan sebagai dasar argumentasinya. (Q.S.,11
: 118-119).
C. Analisa dan Kritik Ulama tentang Qath’iy dan
Zhanniy
Dikalangan
ulama hampir tidak ada perbedaan pendapat tentang adanya qath’iy dan zhanniy sebagai sebuah simbol dan petunjuk dalam upaya
menanngkap makna dari sebuah teks, baik Alquran maupun hadis. Namun justru yang
menjadi perdebatan dikalangan ulama dalam lintas sejarah perkembangan Islam
hingga dewasa ini terletak pada apakah makna-makna ayat Alquran yang masuk
kategori qaih’iy al-dalalah memungkinkan untuk rekonstruksi , diformulasi
kembali sebagai bagian dan tuntutan zaman
Karena itu perlu ditegaskan
bahwa sungguhpun secara syariat redaksional ayat-ayat Alquran itu dalam teks
aslinya bersifat qath ’iy (absolute)
benar adanya dari Tuhan, namun tidak semua ayat mengandung arti pasti dan tegas
terlebih pada hadis Nabi, inilah yang menjadi perdebatan panjang antara
pemaknahan terhadap teks qath'iy al-dalalah dan zhanniy al-dalalah yang berujung pada perbedaan faham di kalangan
ulama, ada yang mengambil arti harfiah dari teks ayat dan ada pula yang mengambil
arti metaforis sesuai dengan kecendrungan atas dasar perubahan kondisi sosial
masyarakat yang mengitarinya .
Atas dasar pemikiran seperti ini
kesannya sangat menggembirakan, namun pada sisi lain malah justru sangat
menghawatirkan mengingat dewasa ini terkesan dikalangan umat terlalu berlebihan
dalam memegang petunjuk yang bersifat aath
’iy
aupun zhanniy dalam melakukan penalaran secara akal tanpa
didukung oleh ilmu- linu bantu yang memadai, sehingga jauh dari subtansi yang
dikehendaki, hal yang demikian boleh jadi disebabkan kondisi sosial masyarakat
dan tuntutan zaman sebagai alat untuk menjustifikasi fakta tersebut, yang
bermuara pada munculnya gerakan baik yang bersifat radikal dan ekstrim maupun
yang bersifat liberal yang menyuarakan sekularisasi, penghapusan hudud,
pembolehan riba dan sebagainya.
Secara
filosofis menurut hemat penulis dapat dikatakan bahwa dalam proses memaknai
teks
yang benar yang bersifat kontemporer maka ushul fikh menjadi penting untuk di kedepankan sebagai
sandaran yang tepat dalam mengkaji serta mendalami setiap persoalan yang ada,
apalagi ushul fiqh menempatkan ijtihad secara khusus dan mendiskusikan
hakekat agama dalam pembahasannya. Apakah ia merupakan yang qath ’iy (defenitif) terpisah dari pemahamn manusia, ataukah
hanya dalam kaitannya dengan kasus-kasus tertentu melalui proses pemahaman
ijtihadi.
D.
Kriteria
Ayat-ayat Qath’i dan Hubungannya dengan Ijtihad
Dalam pandangan Syatibi, jarang sekali dalil-dalil
syara’ bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad) yang qath’i. Pandangan ini
didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu ia tidak
qath’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql
al-luqhah dan pendapat-pendapat ahli perdapat nahwu
(Syatibi 1997:35).
Syatibi bukan berarti
menolak adanya ayat-ayat qath’i dalam al-Qur’an, tetapi ia sesungguhnya ingin
menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qath’i dalalah sebagai istilah
yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat
dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut qath’i dalalah. Menurutnya, kepastian
makna (qath’i dalalah) suatu nash berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad)
yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain
saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan dari himpunan dalil
ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi. Ia menjadi semacam mutawatir maknawi.
Inilah yang kemudian dinamakan qath’i dalalah (Syatibi, 1997:36)
Sehubungan
dengan itu, Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah sholat. Apabila
perintah sholat dipahami hanya dari firman Allah yang potongan nya berbunyi:
aqimu al-sholah, maka ia akan bersifat zanni (Syatibi, 1997: 36). Namun, karena
didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah
bagi orang yang melakukan sholat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya
dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik
ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil lain tentang
sholat. Kumpulan nash yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian
disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qath’i) tentang wajib
sholat.
Dari penjelasan qath’i dalalah di atas, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qath’i dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Ghazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qath’i dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya (Ghazali, t.t: 265).
Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qath’i dalam Qur’an adalah qath’i yang mengandung makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain. Kedua, qath’i dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil.
Dalam ide yang sama al-Ghazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil (Ghazali, t.t: 265)
Dari penjelasan qath’i dalalah di atas, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qath’i dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Ghazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qath’i dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya (Ghazali, t.t: 265).
Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qath’i dalam Qur’an adalah qath’i yang mengandung makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain. Kedua, qath’i dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil.
Dalam ide yang sama al-Ghazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil (Ghazali, t.t: 265)
Dengan berpegang kepada pengertian qathi’i bentuk kedua ini,
cukup banyak ayat-ayat qathi’i terdapat dalam al-Qur’an. Pengertian qathi’i ini
pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Misalnya, Wahbah
al-Zuhaily menyatakan bahwa qath’i dalalah ialah nash qath’i dalalah ialah
lafal yang terdapat di dalam al-Qur’an yang dapat dipahami dengan jelas dan
mengandung makna tunggal (Wahbah, 1986:442)
Dengan maksud yang sama Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan
qath’i dalalah adalah suatu lafal yang dipahami darinya satu makna tertentu dan
tidak mengandung kebolehjadian takwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk
dipahami makna lain selain ditunjukkan lafal itu (Khallaf, 1978: 35).
Beberapa definisi qath’i dalalah di atas, menggambarkan bahwa suatu ayat disebut qath’i manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku.
Beberapa definisi qath’i dalalah di atas, menggambarkan bahwa suatu ayat disebut qath’i manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kategori
qath’i dalalah ialah ayat-ayat yang menyangkut ushul al-syariah yang merupakan
ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu ibadah seperti sholat, zakat dan haji,
perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menegakkan keadilan
dan kewajiban mensucikan diri dari hadas (Syatibi, 1997: 16). Di samping itu
termasuk dalam kelompok ayat qath’i adalah ayat yang berbicara tentang akidah,
akhlak dan sebagian masalah Muamalay
(Thowilah t.t: 42)
Penempatan ayat-ayat
itu dalam kategori qath’i dalalah dilatar belakangi pertimbangan bahwa
ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama
(essensial) yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat
(berubah), karena perubahan zaman dalam kehidupan manusia. Andai kata ayat-ayat
itu termasuk dalam kategori zanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul
ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan.
Oleh sebab itu, tidak pernah dalam sejarah muncul mazhab fiqh dalam ayat-ayat
qathi’i, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.
Lebih jauh Syatibi menyatakan bahwa maqasid syari’ah dalam menetapkan syari’ah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qath’i karena ketiganya merupakan ushul al-syari’ah, bahkan ia adalah ushul ushul al-syari’ah. Logikanya, bila ushul al-syariah ditetapkan dengan dalil qath’i, maka ushul ushul al-syari’ah lebih utama ditetapkan dengan dalil qath’i. Dengan kata lain, ushul ushul al-syari’ah ditetapkan pula dengan ayat-ayat qath’i.
Meskipun Syatibi tidak mengemukakan ayat qath’i mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, namun diasumsikan bahwa ayat-ayat yang mendukung terwujudnya ketiganya yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok, yaitu agama, diri, akal, keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qath’i. Misalnya, ushu al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, sholat, puasa, zakat dan haji yang ditujukan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qath’i.
Lebih jauh Syatibi menyatakan bahwa maqasid syari’ah dalam menetapkan syari’ah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qath’i karena ketiganya merupakan ushul al-syari’ah, bahkan ia adalah ushul ushul al-syari’ah. Logikanya, bila ushul al-syariah ditetapkan dengan dalil qath’i, maka ushul ushul al-syari’ah lebih utama ditetapkan dengan dalil qath’i. Dengan kata lain, ushul ushul al-syari’ah ditetapkan pula dengan ayat-ayat qath’i.
Meskipun Syatibi tidak mengemukakan ayat qath’i mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, namun diasumsikan bahwa ayat-ayat yang mendukung terwujudnya ketiganya yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok, yaitu agama, diri, akal, keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qath’i. Misalnya, ushu al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, sholat, puasa, zakat dan haji yang ditujukan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qath’i.
Beberapa contoh ayat-ayat qath’i dalam Qur’an diantaranya
mengenai sholat, zakat, puasa, haji, waris, hudud dan kaffarat. Mengenai sholat
Allah berfirman: “Dirikanlah sholat dan bayarkanlah zakat” (QS. 2:43). Dalam
memerintahkan haji kepada muslim Allah berfirman: “Merupakan kewajiban manusia
kepada Allah untuk melakukan ibadah haji bagi yang memiliki kemampuan”“
(QS.4:96). Mengenai perintah puasa Allah berfirman: “Diwajibkan atasmu
berpuasa” (QS.2:183).
Ketiga contoh ayat qath’i di atas, tidak dapat sekaligus dipahami dari redaksi ayatnya, melainkan didukung oleh penjelasan ayat lain dan penjelasan dari Nabi sendiri baik melalui perkataan, perbuatan maupun sekaligus gabungan antara perkataan dan perbuatan Nabi sehingga tidak mungkin terdapat kebolehjadian makna lain (Thowilah t.t: 289). Contoh lain tentang ayat qath’i dapat diamati dalam firman Allah tentang warisan berikut: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak” (QS.. 4:12). Begitu pula ayat qath’i ditemukan pula dalam kasus hukuman zina dalam firman Allah berikut: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (QS.24:2).
Ayat qath’i lain yang dapat diangkat sebagai contoh adalah kaffarat sumpah seperti dalam firman Allah berikut: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (QS.5:89).
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, bagian waris “setengah” bagi suami yang meninggal istrinya dan tidak punya anak, “seratus kali” dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa “tiga hari” untuk kaffarat sumpah mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain dari apa yang tertulis dalam auat tersebut.
Ketiga contoh ayat qath’i di atas, tidak dapat sekaligus dipahami dari redaksi ayatnya, melainkan didukung oleh penjelasan ayat lain dan penjelasan dari Nabi sendiri baik melalui perkataan, perbuatan maupun sekaligus gabungan antara perkataan dan perbuatan Nabi sehingga tidak mungkin terdapat kebolehjadian makna lain (Thowilah t.t: 289). Contoh lain tentang ayat qath’i dapat diamati dalam firman Allah tentang warisan berikut: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak” (QS.. 4:12). Begitu pula ayat qath’i ditemukan pula dalam kasus hukuman zina dalam firman Allah berikut: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (QS.24:2).
Ayat qath’i lain yang dapat diangkat sebagai contoh adalah kaffarat sumpah seperti dalam firman Allah berikut: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (QS.5:89).
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, bagian waris “setengah” bagi suami yang meninggal istrinya dan tidak punya anak, “seratus kali” dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa “tiga hari” untuk kaffarat sumpah mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain dari apa yang tertulis dalam auat tersebut.
Dilatar
belakangi ayat-ayat qath’i dalalah dari sisi lafaznya sehingga tidak mengandung
kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung oleh lafal ayat itu, maka jelas
peluang ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qath’i dalalah.
Mempertegas ketentuan ini para ulama merumuskan suatu kaedah fikih yang
berbunyi: “Tidak diperkenankan melakukan ijtihad ketika sudah ada ketetapan
nash
(Zarqa’, 1968: 1008).
Nash yang dimaksud dalam kaidah tersebut adalah nash yang
qath’i dalalah. Dengan kata lain, ayat-ayat yang qath’i dalalah tidak menjadi
majal (ruang lingkup) ijtihad bagi para mujtahid. Mujtahid dan umat Islam
menerima apa adanya seperti yang terdapat dalam ayat. Umat Islam dalam hal ini
tinggal melaksanakan isi kandungan ayat
yang qath’i tersebut.
Al-Ghazali berpendapat bahwa ayat-ayat qath’i bila berupa
lafal umum tidak boleh ditakhsis dengan khabar ahad karena hadis ahad zanni
wurud. Demikian pula ayat-ayat qath’i tidak bisa ditakhsis dengan qiyas karena
qiyas adalah zanni dalalah. Al-Ghazali mengemukakan contoh firman Allah yang
bersifat umum seperti terdapat dalam surat al-An’am ayat 121 berikut: Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik (QS.6:121). Ayat ini tidak boleh ditakhsis
dengan hadis ahad yang berbunyi: “seseorang mukmin dinilai selalu menyembelih
hewan dengan nama Allah, baik disebutkan atau tidak disebutkannya nama Allah
tersebut” (al-Hadis).
Dengan demikian, dalam pandangan al-Ghazali berdasarkan ayat di atas, tetap saja mukmin tidak boleh makan hewan yang tidak disembelih atas nama Allah karena hadis ahad dalam contoh itu tidak dapat mentakhsis keumuman ayat 121 surat al-An’am.
Dengan demikian, dalam pandangan al-Ghazali berdasarkan ayat di atas, tetap saja mukmin tidak boleh makan hewan yang tidak disembelih atas nama Allah karena hadis ahad dalam contoh itu tidak dapat mentakhsis keumuman ayat 121 surat al-An’am.
Meskipun dari sisi lafalnya suatu ayat qathi’i, tetapi dari
sisi makna mungkin saja zanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi bukan
dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun metode untuk
mengembangkannya adalah melalui qiyas, seperti halnya mengqiyaskan keharaman
khamar kepada segala jenis minuman, seperti wiski, brandy, tuak dan narkoba
yang sengaja dibuat untuk memabukan. Pengharaman khamar dalam Qur’an dan Hadis
karena illat memabukkan. Sementara wiski, brandy, tuak dan narkoba dapat
memabukkan, bahkan lebih parah dari hal itu.
Pengembangan makna yang terdapat pada ayat qathi’i dapat dilakukan pada larangan mengucapkan kata kasar kepada orang tua karena dapat menyakiti hati dan perasaan mereka. Dalam kaitan ini, Allah berfirman: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. 17:23).
Pengembangan makna yang terdapat pada ayat qathi’i dapat dilakukan pada larangan mengucapkan kata kasar kepada orang tua karena dapat menyakiti hati dan perasaan mereka. Dalam kaitan ini, Allah berfirman: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. 17:23).
Secara mantûq, ayat ini menegaskan bahwa haram hukumnya
mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Larangan ini dijelaskan oleh
ayat qath’î. Meskipun qath’î, pengertian yang dikandung ayat ini dapat
dikembangkan maknanya kepada larangan memukul orang tua dan meliputi semua
bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya. Pengembangan dengan cara ini dalam
kajian usul fikih disebut mafhûm.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa ayat qathi’ dikembalikan kepada zat al-lafaz ayat al-Qur’an itu, bukan karena ketidakmampuan manusia dalam memahaminya. Bila qathi’i didasarkan atas pertimbangan ketidakmampuan manusia, menempatkan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang tidak relevan dengan kemampuan manusia. Ini merupakan suatu kemustahilan karena al-Qur’an diturunkan Allah untuk dipahami dan dilaksanakan isi petunjuknya.
E. Kriteria Zanni Dalalah dan Hubungannya dengan Ijtihad
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa ayat qathi’ dikembalikan kepada zat al-lafaz ayat al-Qur’an itu, bukan karena ketidakmampuan manusia dalam memahaminya. Bila qathi’i didasarkan atas pertimbangan ketidakmampuan manusia, menempatkan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang tidak relevan dengan kemampuan manusia. Ini merupakan suatu kemustahilan karena al-Qur’an diturunkan Allah untuk dipahami dan dilaksanakan isi petunjuknya.
E. Kriteria Zanni Dalalah dan Hubungannya dengan Ijtihad
Dari uraian tentang qath’i dalalah sebelumnya, secara
implisit dapat dipahami pengertian zanni dalalah. Namun, agar lebih jelas
dikemukakan beberapa definisi zanni dalalah dalam pandangan ahli ushul. Wahbah
al-Zuhaili mengemukakan definisi zanni dalalah: “suatu lafal yang terdapat
dalam al-Qur’an, mengandung kebolehjadian makna lebih dari satu sehingga dapat
ditakwilkan” (Wahbah, 2001:442).
Abd Wahbah Abd al-Salam menyetujui pendapat di atas dan
mendefinisikan zanni dalalah sebagai: “Apabila dilalah suatu lafal tidak
menunjukkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian makna lain, di
mana lafal itu sendiri mengandung dua
makna atau lebih”.
Dari definisi di
atas, jelas bahwa nash atau ayat-ayat zanni dalalah mengandung kemungkinan
lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk
menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan
jalan menafsirkan atau menakwilkannya (Hasballah, 1971:80). Dalam konteks ini,
mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni
dalalah.
Ayat-ayat zanni banyak berkaitan dengan bidang muamalat dan pada umumnya ditetapkan Syari’ dalam bentuk global sehingga dapat ditarik illatnya untuk dikembangkan seiring dengan perubahan masa dan tempat. Dalam hal ini, para ulama menyusun suatu kaidah: “Hukum asal dalam masalah muamalah dapat dipahami maknanya”.
Ayat-ayat zanni banyak berkaitan dengan bidang muamalat dan pada umumnya ditetapkan Syari’ dalam bentuk global sehingga dapat ditarik illatnya untuk dikembangkan seiring dengan perubahan masa dan tempat. Dalam hal ini, para ulama menyusun suatu kaidah: “Hukum asal dalam masalah muamalah dapat dipahami maknanya”.
Biasanya yang menjadi pertimbangan ulama dalam menafsirkan
ayat-ayat zanni adalah kaidah-kaidah bahasa, maqasid al-syari’ah dan
prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Namun, karena perbedaan metode dan kaidah
yang digunakan dalam memahami ayat-ayat zanni sehingga melahirkan perbedaan
pendapat. Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut: Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS. 2:228).
Kata quru’ dalam ayat di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, dapat berarti suci dapat pula berarti haid sehingga wanita yang ditalak suaminya, iddahnya tiga kali suci sebagaimana yang diperpegangi imam Syafi’i atau tiga kali haid sebagaimana yang dipahami imam Abu Hanifah. Contoh ayat zanni yang lain: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan (QS.5:38).
Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Penjelasan apa yang dimaksud dengan kata “tangan” ini ditentukan dalam hadis Nabi SAW.
Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbath hukum yang meliputi qiyas, istihsan, istislah dan urf.
Kata quru’ dalam ayat di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, dapat berarti suci dapat pula berarti haid sehingga wanita yang ditalak suaminya, iddahnya tiga kali suci sebagaimana yang diperpegangi imam Syafi’i atau tiga kali haid sebagaimana yang dipahami imam Abu Hanifah. Contoh ayat zanni yang lain: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan (QS.5:38).
Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Penjelasan apa yang dimaksud dengan kata “tangan” ini ditentukan dalam hadis Nabi SAW.
Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbath hukum yang meliputi qiyas, istihsan, istislah dan urf.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pembahasan
mengenai qath'iy dan zhanniy dalam ke-Islaman merupakan salah satu aspek bahasan
dalam pemikiran Islam yang lebih polpulis di kalangan ulama ushul, meskipun
tidak menjadi salah satu pokok bahasan dalam ulumul qur ’an
2.
Konsep gath’iy azhanniy sebagai sebuah produk ijtihadi tidak mesti
dipandang sebagai dogmatis, sehingga penerapan konsep qath’iy dan zhanniy harus
dipami secara dinamis.
3.
Dengan
kondisi sosial masyarakat, kini jauh lebih maju diperlukan adanya
penafsiran-penafsiran baru terhadap makna-makna teks ayat Alquran maupun hadis
baik yang sifatnya qath'iy maupun zhanniy dengan metode
pemikiran rasional didukung oleh ilmu-ilmu bantu yang memadai, sehingga
subtansi dari makna sebuah teks yang dikehendaki dapat dicapai
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Uways, al~Fiqh
al-Islamy Bayn. ath-Thahawwur wa ats- Tsabat, t.tp
:asy-Syirkah as-Saudiyah, t.th.
Al-Bahy
Muhammad, Al-Fikrul Islam Al-Hadis Was-Shiratul bil Isti ’maril Ghariby, (tetj), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
A. Mas’adi
Gufran, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Press, 1997.
Arkoun Muhammad, Rithingking
Islam, Paris : Maisoneve Carose, 1982
Abu Ishak al-Syatiby, Al-Muwafaqat
Fi Ushul al-Syari 'ah,disunting oleh. Syaikh Abdullah Darras,
Mesir : Al-Maktabah al-Tijariah al-Kubra, t.th.
Ahmad bin Faris bin Zakariyah Abiy Al-Husain, Mu’jam
al-Maqayis fi al-Lughat, ditahqiq oleh,
Syihab al-Din Abu Amer, Cet.I, Beirut Libanon : Dar Al-Fikr, 1994
Ali Abdul Tawwab (et.al) Mahahis
fi Tarikh al-Fiqh al-hlamy, Mesir : Lajnah
Bayan al-Araby, 1962
Abd. Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996
Azyumardi Azara dan Harun Nasution, Perkembangan
Modern Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 1985
A.
E Bosworth E. Van Donzel, The
Incyclopedia Of Islam, New york : E.J.Brill, 1993
Cyril Glasse, Ensiklopedi
Islam, Jakarta : Raja Grafmdo, 1999
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah, 1971.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Inseklopedi
Islam, Cet.III, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1994
Ibnu Taimiyah Bin Abdul Halim Taqyuddin, Ahad
Ushul
al-Fikri Limanahis Shalafiyah, Beirut: Al-Maktabah
Islamiyah, 1995
Toseph
Schaht, An Introduktwn
To Islamic Lem,London : Oxford University Press, 1964
Khalaf abdul Wahab, Ilmu Ushulul
Fiqh, Kuwait; Dar-al-Kutubiyah, 1968
Muhammad
Syah Ismail (ed), Filsafat
Hukum Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1992.
Mukhtar
Efendi, Ensiklopedi
Agama dan filsafat, t.tp. Universitas Sriwijaya,
2001
Muhammad
Amarah, Al-A 'Mal al-Kamilah li al-Imam
Muhammad Abduh, Beirut ; al-Muassat al-Araby, 1972
Nasution Harun, Islam
Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jakarta : UI.
Press, 1984.
(Jardawi yusuf, Al-Ijtihad
al-Muashir bainal Indibath wal-Infirath (terj),
Surabaya : Dunia Ilmu, 1998.
Rahman Jaialuddin, Islam Dalam
Persfektif Pemikiran Kontemporer, Ujung Pandang :
Umitoha Ukhuwa, 1997.
Rasyid Daud, Islam
Dalam Berbagai Dimensi, bandung ; Gema Insani, 1998.
Rusli Nasrun, Konsep
Ijtihad Al-Syaukani, Jakarta: logos Wacana ilmu,
1999.
Rove Simon,(eds), Encyclopedia Of the Modem Middle East, New York
.Simon and Macmillan, 1992
Shihab Quraisy, Membumikan
Al-Qur 'an, Bandung: Mizan, 1994.
----------------- 5 At-Quran,
Tafsir Dan Perubahan Sosial, Orasi
Ilmiah dalam upacara
Dies Natalis ke 34 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1 Juni
1991
Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta: Paramadina, 2002.
W.
Montogomery Watt, What Is Islam, Cet.II, New' York ; Logman Group Ltd, 1979
Zaid Mustafa, Al-Mashalih Fi Tasyriy Islamy, Beimt: Dar
al-Fikr, 1964
[2]Bersifat tetap, absolut, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis,
termasuk dalam ajaran ini sbb ; a). Qath’iy al-wurud, ajaran yang pasti sumber kedatangannya baik dari Allah maupun dari
Rasulullah berupa hadis mutawair. b). Qath’iy
al-Dalalah, ajaran yang pasti maknanya kerena suatu teks (nash) hanya
memliki satu arti, baik dari ayat Aiquran maupun dari hadis mutawair, ajaran
ini sangat sedikit dan biasanya mengenai kata yang menunjuk bilangan, c). Qath’iy
al-tanfizh ajaran yang mesti diberlakukan dan bila tidak dilaksanakan
maka seseorang terbilang melakukan pelanggaran, seperti aqimu
al-shalah. Setiap muslim harus menunaikan apa yang dimaksud ayat
ini,.
[3]yang bersifat non dasar, yakni yang nisbi, relatif tidak tetap boleh
berubah, dan tidak mengikat juga terbagi tiga sbb: a), zanniy
al-wurud, yakni semua ajaran selain ayat Alquran dan hadis mutawalis
disebut ajaran yang tidak dipastikan kedatangannya; ketidak pastian ajaran ini
teijadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorang atau pendapat/ ijtihad
pribadi, termasuk semua hadis ahad (yang diriwayatkan orang perorang)maupun
penafsiran para ulama terhadap Alquran. b). Zanniy
d-dalalah ajaran yang tidak pasti maknanya karena makna yang
dikandung suatu teks (nash) lebih dari Pada satu arti, baik dari Alquran maupun
dari hadis, c), zanniy
al-tanfizh, ajaran yang tidak mesti diberlakukan, misalnya soal
waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya (qa(h’iy al-dalalah), tetapi pemberlakuannya tidak mest, artinya seseorang tidak diasnggap
berdosa bila tidak membagi warisannya satu banding dua seperti tertera dalam
ayat, tetapi ia boleh saja melakukan perdamaian dan membagi satu banding satu
dengan saudara wanitannya.'Lihat Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Persfektif Pemikiran Kontemporer, Ujung Pandang , Umi Thaha, 1997, h. 3.
[5]Tadabbur dalam akar katanya tadabbara dengan huruf dai,
ba ’u, ra ’u,
mengandung arti dasar “bagian belakang sesuatu”dan secara leksikal bermakna
“keluar dari sasaran (panah), pergi, mengikuti, dan menggantikan seseorang
setelah wafatnya”. Lihat Abiy al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu'jamal-Maqayisfial-Lughat, ditahqiq oleh Syihab al-Din Abu
Amer, Cet.I, Beirut Libanon : Dar Af-Fikr, 1994, 4.374. artinya tadabbur yang dimaksudkan dalam tulisan
ini adalah mencari sesuatu dibalik-makna-makna ayat.
[6]H. M. Quraish Shihab, Ai-idur dn, Tafsir dan Perubahan
Sosial, Orasi ilmiah daiam upacara Dies Natalis ke-34 IAIn SyarifHidayatullah Jakarta,
1 Juni 1991, IAIN Jakarta, 1991, h. 9.
[8]Aby al-Husain bin Faris bin
Zakariyah, Mu'jamal-Maqayisfial-Lughat, ditahqiq oleh Syihab al-Din Abu
Amer, h.
893.
[10]Abiy al-Husaen Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam
al-Maqayisfi alLughat, ditahqiq oleh Syihab al-Din Abu
Amer, Cet, I, Beirut Libanan: Dar al-Fikr, 1994, h. 374.
[12]Ali Abdul Tawwab (et al), Mabahisfi Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, Mesir : Lajnah al-Bayan
al-Arabiy, 1962, h. 50.
[15]Yusuf Qardhawi, Al-IjtihadAl-Muasshir
bainal indhibath wal-Infirath, (ter), Surabaya : Dunia Ilmu, 1999, h. 49
[16]Gufran A.Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Pressl997,h. 116
[19]Fungsi Ijma inilah yang
menimbulkan perbedaan pokok (Vital) antara teori hukum klasik dan tesis
asy-Syafi”I memahami ijma’ sebagai sumber hukum material yang tidak begitu
penting.tapi ternyata pada teori klasik, nyatanya ijma’ benar-benar berlaku
sebagai sumber hukum material pada dirinya sendiri. Umpama doktrin
konstitusional tentang pemilihan khalifah,- Hal tersebut tidak berasal dari teb
al-Qur’an dan hadis ataupun hasil analogi terhadap keduanya, melainkan hanyalah
berasal dari praktek umat Islam pertama yang disepakati. Namun pada teori
klasik ijma’ berfungsi sebagai kriteria tertinggi untuk menentukan
otoritas hukum, Lihat, N.J. Coulson, The History Of Islamic Law, Inggeris : Edieburgh University
Press, 1964, h. 90., Lihat .Muctar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat,
T.tp, :Universitas Sriwijaya, 2001, h. 349., Lihat; Rif at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta : Paramadina, 1998, h.
98.
[20]Termasuk yang berhubungan dengan
soal-soal ibadah dan soal halal haram, Lihat, Abdul Wahab Khallaf, Op.
Cit., h. 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar