AKAN SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERBUAT

Safaruddinufe1121@gmail.com

TRANSLATE



JapaneseGermanEnglishFrenchSpainChinese SimplifiedArabicRussian

Translate

visitor

Kamis, 20 Februari 2014

AJARAN-AJARAN DASAR DAN NON DASAR (QATH’IY DAN ZHANNIY)



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Secara normatif ajaran Islam disebut sebagai rahmat bagi seru sekalian alam, karena di bawah oleh seorang yang dinyatakan oleh Allah sebagai Rahmatan lil Alamin. Ini berarti bahwa ajaran Islam bersifat aflikatif dan dapat diwujudkan secara nyata dalam keseharian. Informasi impun menunjukkan bahwa ajaran Islam haruslah selalu sejalan dan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Menurut pemahaman kebanyakan umat Islam bahwa agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, yakni ajaran akidah dan syariah, kalau akidah mengenai keyakinan dan kepercayaan, maka syariah mengenai selainnya, syariah dalam hal ini dimaksudkan mencakup ibadah, muamalah (kehidupan) dan akhlak.[1]
1
 
Dalam pada itu dipihak lain menyebutkan bahwa Islam terdiri atas dua bentuk ajaran, yakni ajaran dasar[2] dan ajaran non dasar[3] (qath ’iy dan zhanniy), yang masing- masing mencakup tiga bentuk ajaran yakni, al-Wurud, ul-Dilalah dan al-Tanfizh. Sedang Quraisy Syihab menyebutkannya dua bagian yaitu; al-Stubut (kebenaran sumber) dan al-Dalalah (kandungan makna).[4]
Untuk mewujudkan agar ajaran Islam tetap sesuai dengan tingkat perkembangan kecerdasan dan kebutuhan manusia disetiap zamannya, maka diperlukan pemahaman yang memadai tentang kandungan al-Qur’an, dalam hal seperti ini perlu dilakukan tadabbur[5]. Karena itu apa yang dikatakan oleh Quraisy Shihab bahwa, perkembangan dan kemajuan dalam upaya memahami dan memaknai al-Qur’an tidak terhenti sampai dengan datangnya abad ke-20, dengan lahirnya karya-karya tafsir yang muncul di dalamnya, tetapi akan terus berlanjut di masa-masa depan, karena dorongan al-Qur’an untuk merenungkan kandungan ayat-ayatnya, dalam arti menafsirkanya, sebenarnya ditujukan kepada semua generasi umat Islam, dulu, kini dan mendatang, dan bahwa al-Qur’an berdialog dengan seluruh generasi manusia hingga akhir zaman, merupakan suatu axioma dikalangan para ulama.[6]
Sehubungan dengan hal tersebut, memunculkan adanya pola pikir di kalangan masyarakat Islam bahwa yang berkaitan dengan ajaran yang absolute, normatif, bahkan ibadah mahdah tidak boleh berubah-ubah,[7] namun selain dan itu, ada pala yang memungkinkan untuk direvisi, dirumuskan ulang sepanjang hal tersebut masuk kategori zhanniy.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam memahami dan memaknai teks berlatar beiakang pada pendekatan yang digunakan dengan cara sudut pandang yang berbeda terdahap sebuah redaksi nash, oleh karena itu maka pokok masalah yang menjadi titik tekan dalam makalah ini adalah bagaimana konsep qath’iy dan zhanniy dalam persfektif pemikiran Islam. Dengan menjadikan Alquran sebagai obyek kajian melalui pendapat para ulama dengan sistimatika pembahasan ; Terminologi qath'iy dan zhanniy, sekitar kandungan Alquran serta beberapa pandangan para ulama tentang konsep qth ’iy dan zhanniy.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana terminologi Qath’iy dan Zhanniy?
2.    Bagaimana pandangan ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy?
3.    Bagaimana analisa dan kritik ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy?





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Terminologi Qath’iy dan Zhanniy
Kata “qath’iy” adalah bentuk mashdar dari fiil madhiqatha'a” yang terambil dari akar kata dengan huruf-huruf “qaf tha’u, ayn” yang mengandung arti dasar menajamkan atau menjadikan sesuatu dengan lainnya jelas, memotong, pasti, dan secara leksikal bermakna “sesuatu yang sudah jelas dan pasti.”[8] Dengan demikian maka kata qath'iy yang memperoleh imbuhan “ya’u al-nisbah” yang menunjuk kepada istilah khusus dan atau berfungsi sebagai kata sifat yang bermakna “sesuatu yang jelas atau sesuatu yang pasti.
Sedangkan kata “zhanny” juga adalah bentuk masdhar dari akar kata dengan huruf-huruf “zha ’u, aun, nun” yang menunjuk pada dua makna yang berbeda seperti yakin dan ragu ragu.[9] Dari sinilah terbentuk kata zhanniy” yang mendapat imbuhan “ya’u al-nisbah’ sehingga bermakna sesuatu yang tidak pasti, tidak jelas dan atau menimbulkan keraguan.
Bila didasarkan pada makna lugwi tersebut di atas, maka melahirkan term- term yang sifatnya qath ’iy al-wurud (ayat yang sifatnya defenitif bersifat absolute, benar datangnya dari Allah), maupun qath’iy al-dalalah (ayat yang mengandung makna satu, jelas dan absolut), sementara zhanny al-dalalah yaitu ayat-ayat yang muatan maknannya tidak jelas dan memunkingkan untuk di formulasi kembali karena ia mengandung makna lebih dari satu.
Disatu pihak ada kalangan yang mengatakan bahwa dalam suatu teks atau nash mengandung dua dalalah (kemungkinan arti) bagi pengucap teks tersebut. Jika sebuah redaksi hanya mengandung satu arti saja . Hal yang demikian dimaksudkan sebagai dalalah qath'iyah atau dalalah haqiqiyah, walaupun demikian bagi para pendengar dan pembaca teks tersebut tentulah dalalahnya bersifat nisbi (relatif). Tentulah tidak dapat dipastikan apa yang dimaksud dari pembicara tersebut. Pemahaman terhadap nash atau redaksi sebuah teks sangat dipengaruhi oleh banyak hal. Karena itu ada yang berbeda pendapat dan yang masuk ketegori beda kesepahaman disebut dengan dalalah zhanniyah atau dalalah nisbiyah.[10]
Al-Syathibiy menegaskan bahwa “tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara’ yang sesuai dengan penggunaan istilah yang populer.[11] Istilah yang dimaksudkan seperti dalam uraian tersebut di atas adalah qath ’iy al-dalalah, atau semakna seperti yang dijelaskan oleh Ali Abd. Al-Tawwab bahwa tidak ada kemungkinan dari suatu lafadz kecuali makna dasar yang dikandungnya.[12]
Yang dimaksudkan oleh al-Syathibiy dalam hal tersebut adalah bahwa sangat tipis kemungkinan adanya sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara, karena apabila dalil tersebut bersifat mutawatir lafadznya, maka untuk mendapatkan makna yang pasti dan jelas dibutuhkan premis-premis (muqaddimah) yang bersifat (qath’iy) pula. Dalam hal yang demikian premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir.Persoalan seperti ini tidaklah mudah ditemukan dalam suatu realitas karena dibutuhkan pembuktian bahwa premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besar bersifat ahad, dalam arti zhanniy. Sesuatu yang didasarakan pada zhanniy maka makna apapun yang dihasilkan maka sifatnyapun akan zhanniy pula.

B.  Pandangan Ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy
Discursus qath ’iy dan zhanniy merupakan terminologi populis dalam wacana yurisprodensi Islam (ushul fiqh), senantiasa dipergunakan dalam memahami Alquran dan hadis. Kategorisasi ayat Alquran maupun hadis tidak ditemukan, namun hal ini merupakan kreasi para ulama belakangan di pandang sebagai produk ijtiahdi. Tidak diketahui secara pasti siapa pertama kali yang mengentrodusir kateorisasi ini dalam diskursus doktrin Islam.
Sebagai sebuah produk Ijtihad, konsep qath’iy dan zhanniy tidak mesti dipandang dogmatis, karena ia merupakan produk Ijtihad yang sifatnya relatif bukan bersifat defenitif, absolut. Sehingga pengertian dan penerapan konsep qath’iy dan zhanniy harus dipahami dalam arti yang dinamis. Karena itu sebagian dikalangan ulama tidak setuju bila dikatakan bahwa persoalan qath’iy dan zhanniy hanya dibahas secara khusus oleh kalangan ulama ushul fiqhi, karena seorang mufassir maka seyogyanyalah harus banyak mengerti dan mengetahui kaedah-kaedah ushul dalam rangka mengkaji dalil-dalil hukum, meskipun qath’iy dan zhanniy tidak secara tekstual dinyatakan dalam al-Qur’an.
Menurut Arkoun, Abdullah Darras, termasuk Quraisy Syihab salah sorang pakar tafsir kontemporer di Indonesia, mereka sependapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Karena keluasan dan kedalamannya itu, orang dapat mengetahui secuil atau sebagian dari makna yang dikandungnya, karena itu ayat al-Qur’an tidak hanya mengandung satu makna, tapi bahkan lebih. Itulah sebabnya secara redaksional tidak ada ayat yang disebut qa(h’iy al-dalalah. Akan tetapi hal tersebut ada pada adanya kesepahaman dan kesepakatan sesorang dalam memaknai suatu teks (mujma alaihy), sehingga tidak mungkin timbul makna lain.[13]
Walaupun demikian perlu digaris bawahi bahwa seklipun para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma sebagai sebuah dalil, namun agaknya tidak diragukan bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada abad abad pertama tentu jriempunyai banyak alasan untuk sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya ia menjadi qath'iyu al-dalalah, karena itu mengabaikan persepakatan mereka dapat menimbulkan kebingunan dan kesimpansiuran dikalangan umat Islam.[14]
Dasar inilah yang melatar belakangi masih adanya pemikiran di kalangan ulama termasuk di Indonesia yang tidak membolehkan pintu ijtihad dalam hal yang diteta apkan nash yang sifatnya qath’iy, seperti kewajiban salat, puasa haramnya minuman keras, riba, potong tangan termasuk pembagian harta warisan bagi anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan yang dikemukakan dalam firman Allah QS an-Nisa/4:11.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)

Terjemahannya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Argumentasi yang dijadikan pijakan pemikiran ini bahwa ayat-ayat muhkam menjadi tempat kembalinya ayat-ayat mutasyabihat dan dalil-dalil zhanniy sehingga dikatakan bahwa ayat-ayat yang sifatnya qath’iy sebagai sandaran bila terjadi perdebatan dan silang pendapat, sebab bila tidak ada format seperti ini maka berarti upaya dalam proses istimbath hukum bisa menjadi rancu.[15] Namun bukan lalu berarti seseorang harus terbelenggu dalam taqlid dan mengikatkan diri pada salah satu mazhab tertentu dengan tidak peduli pada prospek pembaharuan dalam pemikiran Islam, Bukankah fatwa akan senantiasa berubah seiring dengan dinamika social masyarakat.
Bagi Fazlur Rahman tidak terlalu mepersoalkan apakah itu teks 'qath’iy atau zhanniy. Alasan yang di kemukakan bahwa tidak mungkin seseorang dapat mengetahui secara pasti apa hakekat makna teks yang dikehendaki oleh pembuat teks, apalagi teks-teks Alquran berasal dari Allah dalam bentuk ‘ide kata” tidak dalam bentuk kata-kata yang bersuara.[16] Jika Alquran menurut fakta dari sudut pandang Tuhan sendiri dengan cara apakah pemaknahan (penafsir) modem dapat memahaminya dan juga penafsir klasik atau bahkan setiap penafsir dari kalangan umat manusia, Bagaimanakah ia memahaminya sedang keadaan dirinya sendiri adalah imperfect. Bagaimanakah ia mampu memahami Alquran secara utuh dari sisi pandang Tuhan, oleh karena itu Alquran dalam batasan fakta membentuk dirinya sesuai dengan koheren dengan sisi pandang manusia, dengan demikian Nabi Muhammad saw. sebagai seorang duta primordial terhadap pengalaman, baik itu bahasa, tempat, zaman dengan cara pandang dunia yang diklenali oleh umat manusia. Sehingga kalau tidak demikian misalnya, maka Alquran tidak mungking dapat dimengerti.[17]
Hal yang demikian dapat dikatakan bahwa dalam Alquran bersatu dua unsur, artinya Alquran seluruhnya merupakan kata-kata Tuhan, namun dalam pengertian biasa, ia merupakan perkataan Nabi Muhammad Saw (Q.S., 42 : 52 dan Q.S., 26 ; 193-194), bahwa Alquran diturunkan kedalam hati melalui wahyu (inspirasi). Dengan demikan ada teks Alquran yang merupakan perkataan Muhammad sehingga kalau argumentasi ini diterima, maka itu berarti makna yang terkandung dalam teks Alquran menjadi tidak terbatas adanya.
Arkoun nampaknya sependapat dalam masalah ini, bagi Arkoun teks Alquran mengandung kemungkinan yang tidak terbatas ia menhadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat yang dasariah, eksistensi yang absolut dengan demikian selalu terbuka tak pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna.[18]
Muhammad Abduh seperti yang dikatakan oleh muridnya Rasyid Ridha, bahwa urusan keagamaan (syari’ah) membagi kedalam dua bagian hukum yakni : Yang bersifat defenitif (qath’iyah) dan yang tidak ditetapkan secara pasti (zhanniy) oleh nash dan ijma.s2 Oleh karena itu tidak mengherankan bila Muhammad Abduh dalam memaknai (manafsirkan) ayat-ayat Alquran, berusaha untuk membersihkan pemaknahan Alquran dari polusi-polusi yang dapat menodai makna yang sebenarnya palin tidak mendekati apa yang dikehendaki oleh pembuat teks tersebut. Sehingga dikatakan bahwa sebagai seorang pembarun seperti yang tertuang dalam artikenya yang beijudul “al-Islah al-Din1 (reformasi keagamaan), mengemukakan pandangannya bahwa diperlukan kehati-hatian dalam membaca kitab-kitab tafsir karya mufassir masa lalu, dengan latar belakang kultur dan intelektual masyarakat 'mereka yang belum tentu sama dengan latar belakang ultur dan intelktua! masyarakat Islam sekarang. Dan yang lebih penting, belum tentu kemampuan daya dan daya nalar kita akan cocok dengan apa yang mereka sampaikan.[19]
Sehingga demikian kata Abduh bahwa setiap muslim wajib mengetahui makrifat dan mengamalkannya. Hukum Syariah yang serupa ini terdapat dalam Aturan dan rinciannya telah dijelaskan oleh Rasulullah melalui perbuatan dan sunnahnya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dalam praktek. Ketentuan-ketentuan yang demikian merupaku hukum-hukum dasar yang telah disepakati (mujma ’alayha) kepastiannya. Ini bukan lapangan ijtihad dan dalam hukum-hukum yang pasti orang boleh hertaqlid (ya ’tifiha taqlid al-migallidinf.[20]
Lagi pula dari segi kandungan Alquran ditemukan kesepahaman dikalangan ulama bahwa jika dilihat dari sisi kemu’jizatan Alquran maka paling tidak ada tiga aspek yang dapat dijadikan dasar berargumen sebagai berikut;
1.      Merupakan isyar ilmiah, berisi informasi tentang ilmu pengetahuan, walaupun hanya dalam bentuk isyarat ilmiah seperrti infdormasi mengenai alam, antara lain dsikatakan bahwa bahwa bumi dan langit sebenarnya merupakan suatu yang padu dan setelah terpisah dijadikan segala sesuatu yang hidup, demikian pula bahwa seluruh kehidupan bersal dari air. (Q.S.,21 : 30). Sedangkan alam semesta terbentuk dari gumpalan gas (ai-Dukhan) (Q.S.,41 ; 11)
2.       Merupakan sumber hukum, bahwa Alquran pada dasarnya memberi andil yang kuat dalam pertumbuhan hukum bahkan Alquran tetap merupakan produk hukum yang ideal hinga masa kini. Para ahli ushul membagi nas dari segi dalalah (petunjuk pada makna) melalui teori :
a.       Qath ’iy dalalah, artinya sesuatu nas yang tidak membutuhkan ta ’wil, seperti dalam surah an-Nur/24: 2
   الزَّانِيَةُ وَ الزَّاني‏ فَاجْلِدُوا كُلَّ واحِدٍ مِنْهُما مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِما رَأْفَةٌ في‏ دينِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ لْيَشْهَدْ عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنينَ
Terjemahnya:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
b.      Zhanniy dalalah, suatu nas yang memerlukan pemahaman lebih lanjut atau sesuatu yang membutuhkan penakwilan seperti yang terlihat dalam surah al-Maidah/5: 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 
Terjemahnya:
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
3.      Menerangkan sesuatu ibarah (teladan), berita/ khabar yang sifatnya gaib, kisah-kisah umat seblumnya, dengan segala reliats sosialnya, disamping informasi masa lalu juga informasi kekinian dan akan dating, yang sulut untuk dijama olrh kecerdasan intelektual.[21]
Yang kedua adalah masalah yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat consensus ulama tentangnya. Model yang kedua inilah yang menjadi lapangan Ijtihad {majal al-ljtihad), dengan tidak menyangkut soal ibadah atau pokok-pokok agama, namun sangat erat dengan soal muamalah, semisal masalah kemasyarakatan, politik, kebudayaan dan semua yang berkaitan dengan kepentingan umum. Karena itu perbedaan pendapat menurut Muhammad Abduh adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Kesatuan berpikir dalam semua hal merupakan sesuatu yang tidak mungking dapat diwujudkan, hal yang demikian ia merujuk pada pernyataan Tuhan sebagai dasar argumentasinya. (Q.S.,11 : 118-119).

C.  Analisa dan Kritik Ulama tentang Qath’iy dan Zhanniy
Dikalangan ulama hampir tidak ada perbedaan pendapat tentang adanya qath’iy dan zhanniy sebagai sebuah simbol dan petunjuk dalam upaya menanngkap makna dari sebuah teks, baik Alquran maupun hadis. Namun justru yang menjadi perdebatan dikalangan ulama dalam lintas sejarah perkembangan Islam hingga dewasa ini terletak pada apakah makna-makna ayat Alquran yang masuk kategori qaih’iy al-dalalah memungkinkan untuk rekonstruksi , diformulasi kembali sebagai bagian dan tuntutan zaman
Karena itu perlu ditegaskan bahwa sungguhpun secara syariat redaksional ayat-ayat Alquran itu dalam teks aslinya bersifat qath ’iy (absolute) benar adanya dari Tuhan, namun tidak semua ayat mengandung arti pasti dan tegas terlebih pada hadis Nabi, inilah yang menjadi perdebatan panjang antara pemaknahan terhadap teks qath'iy al-dalalah dan zhanniy al-dalalah yang berujung pada perbedaan faham di kalangan ulama, ada yang mengambil arti harfiah dari teks ayat dan ada pula yang mengambil arti metaforis sesuai dengan kecendrungan atas dasar perubahan kondisi sosial masyarakat yang mengitarinya .
Atas dasar pemikiran seperti ini kesannya sangat menggembirakan, namun pada sisi lain malah justru sangat menghawatirkan mengingat dewasa ini terkesan dikalangan umat terlalu berlebihan dalam memegang petunjuk yang bersifat aath ’iy
aupun zhanniy dalam melakukan penalaran secara akal tanpa didukung oleh ilmu- linu bantu yang memadai, sehingga jauh dari subtansi yang dikehendaki, hal yang demikian boleh jadi disebabkan kondisi sosial masyarakat dan tuntutan zaman sebagai alat untuk menjustifikasi fakta tersebut, yang bermuara pada munculnya gerakan baik yang bersifat radikal dan ekstrim maupun yang bersifat liberal yang menyuarakan sekularisasi, penghapusan hudud, pembolehan riba dan sebagainya.
Secara filosofis menurut hemat penulis dapat dikatakan bahwa dalam proses memaknai teks yang benar yang bersifat kontemporer maka ushul fikh menjadi penting untuk di kedepankan sebagai sandaran yang tepat dalam mengkaji serta mendalami setiap persoalan yang ada, apalagi ushul fiqh menempatkan ijtihad secara khusus dan mendiskusikan hakekat agama dalam pembahasannya. Apakah ia merupakan yang qath ’iy (defenitif) terpisah dari pemahamn manusia, ataukah hanya dalam kaitannya dengan kasus-kasus tertentu melalui proses pemahaman ijtihadi.

D.      Kriteria Ayat-ayat Qath’i dan Hubungannya dengan Ijtihad
Dalam pandangan Syatibi, jarang sekali dalil-dalil syara’ bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad) yang qath’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu ia tidak qath’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-luqhah dan pendapat-pendapat ahli perdapat nahwu (Syatibi 1997:35).
               Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat qath’i dalam al-Qur’an, tetapi ia sesungguhnya ingin menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qath’i dalalah sebagai istilah yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut qath’i dalalah. Menurutnya, kepastian makna (qath’i dalalah) suatu nash berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi. Ia menjadi semacam mutawatir maknawi. Inilah yang kemudian dinamakan qath’i dalalah (Syatibi, 1997:36)
 Sehubungan dengan itu, Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah sholat. Apabila perintah sholat dipahami hanya dari firman Allah yang potongan nya berbunyi: aqimu al-sholah, maka ia akan bersifat zanni (Syatibi, 1997: 36). Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah bagi orang yang melakukan sholat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil lain tentang sholat. Kumpulan nash yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qath’i) tentang wajib sholat.
Dari penjelasan qath’i dalalah di atas, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qath’i dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Ghazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qath’i dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya (Ghazali, t.t: 265).
              Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qath’i dalam Qur’an adalah qath’i yang mengandung makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain. Kedua, qath’i dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil.
Dalam ide yang sama al-Ghazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil (Ghazali, t.t:
265)
Dengan berpegang kepada pengertian qathi’i bentuk kedua ini, cukup banyak ayat-ayat qathi’i terdapat dalam al-Qur’an. Pengertian qathi’i ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Misalnya, Wahbah al-Zuhaily menyatakan bahwa qath’i dalalah ialah nash qath’i dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam al-Qur’an yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal (Wahbah, 1986:442)
Dengan maksud yang sama Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan qath’i dalalah adalah suatu lafal yang dipahami darinya satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehjadian takwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain selain ditunjukkan lafal itu (Khallaf, 1978: 35).
Beberapa definisi qath’i dalalah di atas, menggambarkan bahwa suatu ayat disebut qath’i manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu.
Dalam hal ini takwil tidak berlaku.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kategori qath’i dalalah ialah ayat-ayat yang menyangkut ushul al-syariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu ibadah seperti sholat, zakat dan haji, perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas (Syatibi, 1997: 16). Di samping itu termasuk dalam kelompok ayat qath’i adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak dan sebagian masalah Muamalay (Thowilah t.t: 42)
 Penempatan ayat-ayat itu dalam kategori qath’i dalalah dilatar belakangi pertimbangan bahwa ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (essensial) yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat (berubah), karena perubahan zaman dalam kehidupan manusia. Andai kata ayat-ayat itu termasuk dalam kategori zanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan. Oleh sebab itu, tidak pernah dalam sejarah muncul mazhab fiqh dalam ayat-ayat qathi’i, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.
Lebih jauh Syatibi menyatakan bahwa maqasid syari’ah dalam menetapkan syari’ah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qath’i karena ketiganya merupakan ushul al-syari’ah, bahkan ia adalah ushul ushul al-syari’ah. Logikanya, bila ushul al-syariah ditetapkan dengan dalil qath’i, maka ushul ushul al-syari’ah lebih utama ditetapkan dengan dalil qath’i. Dengan kata lain, ushul ushul al-syari’ah ditetapkan pula dengan ayat-ayat qath’i.
Meskipun Syatibi tidak mengemukakan ayat qath’i mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, namun diasumsikan bahwa ayat-ayat yang mendukung terwujudnya ketiganya yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok, yaitu agama, diri, akal, keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qath’i. Misalnya, ushu al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, sholat, puasa, zakat dan haji yang ditujukan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qath’i.
Beberapa contoh ayat-ayat qath’i dalam Qur’an diantaranya mengenai sholat, zakat, puasa, haji, waris, hudud dan kaffarat. Mengenai sholat Allah berfirman: “Dirikanlah sholat dan bayarkanlah zakat” (QS. 2:43). Dalam memerintahkan haji kepada muslim Allah berfirman: “Merupakan kewajiban manusia kepada Allah untuk melakukan ibadah haji bagi yang memiliki kemampuan”“ (QS.4:96). Mengenai perintah puasa Allah berfirman: “Diwajibkan atasmu berpuasa” (QS.2:183).
Ketiga contoh ayat qath’i di atas, tidak dapat sekaligus dipahami dari redaksi ayatnya, melainkan didukung oleh penjelasan ayat lain dan penjelasan dari Nabi sendiri baik melalui perkataan, perbuatan maupun sekaligus gabungan antara perkataan dan perbuatan Nabi sehingga tidak mungkin terdapat kebolehjadian makna lain
(Thowilah t.t: 289). Contoh lain tentang ayat qath’i dapat diamati dalam firman Allah tentang warisan berikut: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak” (QS.. 4:12). Begitu pula ayat qath’i ditemukan pula dalam kasus hukuman zina dalam firman Allah berikut: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (QS.24:2).
Ayat qath’i lain yang dapat diangkat sebagai contoh adalah kaffarat sumpah seperti dalam firman Allah berikut: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (QS.5:89).
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, bagian waris “setengah” bagi suami yang meninggal istrinya dan tidak punya anak, “seratus kali” dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa “tiga hari” untuk kaffarat sumpah mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain dari apa yang tertulis dalam
auat tersebut.
 Dilatar belakangi ayat-ayat qath’i dalalah dari sisi lafaznya sehingga tidak mengandung kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung oleh lafal ayat itu, maka jelas peluang ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qath’i dalalah. Mempertegas ketentuan ini para ulama merumuskan suatu kaedah fikih yang berbunyi: “Tidak diperkenankan melakukan ijtihad ketika sudah ada ketetapan nash
(Zarqa’, 1968: 1008).
Nash yang dimaksud dalam kaidah tersebut adalah nash yang qath’i dalalah. Dengan kata lain, ayat-ayat yang qath’i dalalah tidak menjadi majal (ruang lingkup) ijtihad bagi para mujtahid. Mujtahid dan umat Islam menerima apa adanya seperti yang terdapat dalam ayat. Umat Islam dalam hal ini tinggal melaksanakan isi kandungan ayat yang qath’i tersebut.
Al-Ghazali berpendapat bahwa ayat-ayat qath’i bila berupa lafal umum tidak boleh ditakhsis dengan khabar ahad karena hadis ahad zanni wurud. Demikian pula ayat-ayat qath’i tidak bisa ditakhsis dengan qiyas karena qiyas adalah zanni dalalah. Al-Ghazali mengemukakan contoh firman Allah yang bersifat umum seperti terdapat dalam surat al-An’am ayat 121 berikut: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik (QS.6:121). Ayat ini tidak boleh ditakhsis dengan hadis ahad yang berbunyi: “seseorang mukmin dinilai selalu menyembelih hewan dengan nama Allah, baik disebutkan atau tidak disebutkannya nama Allah tersebut” (al-Hadis).
Dengan demikian, dalam pandangan al-Ghazali berdasarkan ayat di atas, tetap saja mukmin tidak boleh makan hewan yang tidak disembelih atas nama Allah karena hadis ahad dalam contoh itu tidak dapat mentakhsis keumuman ayat 121 surat al-An’am.
Meskipun dari sisi lafalnya suatu ayat qathi’i, tetapi dari sisi makna mungkin saja zanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi bukan dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun metode untuk mengembangkannya adalah melalui qiyas, seperti halnya mengqiyaskan keharaman khamar kepada segala jenis minuman, seperti wiski, brandy, tuak dan narkoba yang sengaja dibuat untuk memabukan. Pengharaman khamar dalam Qur’an dan Hadis karena illat memabukkan. Sementara wiski, brandy, tuak dan narkoba dapat memabukkan, bahkan lebih parah dari hal itu.
Pengembangan makna yang terdapat pada ayat qathi’i dapat dilakukan pada larangan mengucapkan kata kasar kepada orang tua karena dapat menyakiti hati dan perasaan mereka. Dalam kaitan ini, Allah berfirman: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. 17:23).
Secara mantûq, ayat ini menegaskan bahwa haram hukumnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Larangan ini dijelaskan oleh ayat qath’î. Meskipun qath’î, pengertian yang dikandung ayat ini dapat dikembangkan maknanya kepada larangan memukul orang tua dan meliputi semua bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya. Pengembangan dengan cara ini dalam kajian usul fikih disebut mafhûm.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa ayat qathi’ dikembalikan kepada zat al-lafaz ayat al-Qur’an itu, bukan karena ketidakmampuan manusia dalam memahaminya. Bila qathi’i didasarkan atas pertimbangan ketidakmampuan manusia, menempatkan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang tidak relevan dengan kemampuan manusia. Ini merupakan suatu kemustahilan karena al-Qur’an diturunkan Allah untuk dipahami dan dilaksanakan isi petunjuknya.

E. Kriteria Zanni Dalalah dan Hubungannya dengan Ijtihad
Dari uraian tentang qath’i dalalah sebelumnya, secara implisit dapat dipahami pengertian zanni dalalah. Namun, agar lebih jelas dikemukakan beberapa definisi zanni dalalah dalam pandangan ahli ushul. Wahbah al-Zuhaili mengemukakan definisi zanni dalalah: “suatu lafal yang terdapat dalam al-Qur’an, mengandung kebolehjadian makna lebih dari satu sehingga dapat ditakwilkan” (Wahbah, 2001:442).
Abd Wahbah Abd al-Salam menyetujui pendapat di atas dan mendefinisikan zanni dalalah sebagai: “Apabila dilalah suatu lafal tidak menunjukkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian makna lain, di mana lafal itu sendiri mengandung dua makna atau lebih”.
 Dari definisi di atas, jelas bahwa nash atau ayat-ayat zanni dalalah mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya (Hasballah, 1971:80). Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni dalalah.
Ayat-ayat zanni banyak berkaitan dengan bidang muamalat dan pada umumnya ditetapkan Syari’ dalam bentuk global sehingga dapat ditarik illatnya untuk dikembangkan seiring dengan perubahan masa dan tempat. Dalam hal ini, para ulama menyusun suatu kaidah: “Hukum asal dalam masalah muamalah dapat dipahami maknanya”.
Biasanya yang menjadi pertimbangan ulama dalam menafsirkan ayat-ayat zanni adalah kaidah-kaidah bahasa, maqasid al-syari’ah dan prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Namun, karena perbedaan metode dan kaidah yang digunakan dalam memahami ayat-ayat zanni sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS. 2:228).
Kata quru’ dalam ayat di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, dapat berarti suci dapat pula berarti haid sehingga wanita yang ditalak suaminya, iddahnya tiga kali suci sebagaimana yang diperpegangi imam Syafi’i atau tiga kali haid sebagaimana yang dipahami imam Abu Hanifah. Contoh ayat zanni yang lain: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan (QS.5:38).
Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Penjelasan apa yang dimaksud dengan kata “tangan” ini ditentukan dalam hadis Nabi SAW.
Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbath hukum yang meliputi qiyas, istihsan, istislah dan urf.























BAB III
KESIMPULAN

1.     Pembahasan mengenai qath'iy dan zhanniy dalam ke-Islaman merupakan salah satu aspek bahasan dalam pemikiran Islam yang lebih polpulis di kalangan ulama ushul, meskipun tidak menjadi salah satu pokok bahasan dalam ulumul qur ’an
2.      Konsep gath’iy azhanniy sebagai sebuah produk ijtihadi tidak mesti dipandang sebagai dogmatis, sehingga penerapan konsep qath’iy dan zhanniy harus dipami secara dinamis.
3.     Dengan kondisi sosial masyarakat, kini jauh lebih maju diperlukan adanya penafsiran-penafsiran baru terhadap makna-makna teks ayat Alquran maupun hadis baik yang sifatnya qath'iy maupun zhanniy dengan metode pemikiran rasional didukung oleh ilmu-ilmu bantu yang memadai, sehingga subtansi dari makna sebuah teks yang dikehendaki dapat dicapai






DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Uways, al~Fiqh al-Islamy Bayn. ath-Thahawwur wa ats- Tsabat, t.tp :asy-Syirkah as-Saudiyah, t.th.
Al-Bahy Muhammad, Al-Fikrul Islam Al-Hadis Was-Shiratul bil Isti ’maril Ghariby, (tetj), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
A. Mas’adi Gufran, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Press, 1997.
Arkoun Muhammad, Rithingking Islam, Paris : Maisoneve Carose, 1982
Abu Ishak al-Syatiby, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari 'ah,disunting oleh. Syaikh Abdullah Darras, Mesir : Al-Maktabah al-Tijariah al-Kubra, t.th.
Ahmad bin Faris bin Zakariyah Abiy Al-Husain, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughat, ditahqiq oleh, Syihab al-Din Abu Amer, Cet.I, Beirut Libanon : Dar Al-Fikr, 1994
Ali Abdul Tawwab (et.al) Mahahis fi Tarikh al-Fiqh al-hlamy, Mesir : Lajnah Bayan al-Araby, 1962
Abd. Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996
Azyumardi Azara dan Harun Nasution, Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985
A.       E Bosworth E. Van Donzel, The Incyclopedia Of Islam, New york : E.J.Brill, 1993
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Raja Grafmdo, 1999
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah, 1971.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Inseklopedi Islam, Cet.III, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1994
Ibnu Taimiyah Bin Abdul Halim Taqyuddin, Ahad Ushul al-Fikri Limanahis Shalafiyah, Beirut: Al-Maktabah Islamiyah, 1995
Toseph Schaht, An Introduktwn To Islamic Lem,London : Oxford University Press, 1964
Khalaf abdul Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, Kuwait; Dar-al-Kutubiyah, 1968
Muhammad Syah Ismail (ed), Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1992.
Mukhtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan filsafat, t.tp. Universitas Sriwijaya, 2001
Muhammad Amarah, Al-A 'Mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh, Beirut ; al-Muassat al-Araby, 1972
Nasution Harun, Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jakarta : UI. Press, 1984.
(Jardawi yusuf, Al-Ijtihad al-Muashir bainal Indibath wal-Infirath (terj), Surabaya : Dunia Ilmu, 1998.
Rahman Jaialuddin, Islam Dalam Persfektif Pemikiran Kontemporer, Ujung Pandang : Umitoha Ukhuwa, 1997.
Rasyid Daud, Islam Dalam Berbagai Dimensi, bandung ; Gema Insani, 1998.
Rusli Nasrun, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Jakarta: logos Wacana ilmu, 1999.
Rove Simon,(eds), Encyclopedia Of the Modem Middle East, New York .Simon and Macmillan, 1992
Shihab Quraisy, Membumikan Al-Qur 'an, Bandung: Mizan, 1994.
----------------- 5 At-Quran, Tafsir Dan Perubahan Sosial, Orasi Ilmiah dalam upacara
Dies Natalis ke 34 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1 Juni 1991
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta: Paramadina, 2002.
W. Montogomery Watt, What Is Islam, Cet.II, New' York ; Logman Group Ltd, 1979
Zaid Mustafa, Al-Mashalih Fi Tasyriy Islamy, Beimt: Dar al-Fikr, 1964


[1]Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Jakarta : Gema Insani, 1998, h. 19.
[2]Bersifat tetap, absolut, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis, termasuk dalam ajaran ini sbb ; a). Qathiy al-wurud, ajaran yang pasti sumber kedatangannya baik dari Allah maupun dari Rasulullah berupa hadis mutawair. b). Qathiy al-Dalalah, ajaran yang pasti maknanya kerena suatu teks (nash) hanya memliki satu arti, baik dari ayat Aiquran maupun dari hadis mutawair, ajaran ini sangat sedikit dan biasanya mengenai kata yang menunjuk bilangan, c). Qath’iy al-tanfizh ajaran yang mesti diberlakukan dan bila tidak dilaksanakan maka seseorang terbilang melakukan pelanggaran, seperti aqimu al-shalah. Setiap muslim harus menunaikan apa yang dimaksud ayat ini,.
[3]yang bersifat non dasar, yakni yang nisbi, relatif tidak tetap boleh berubah, dan tidak mengikat juga terbagi tiga sbb: a), zanniy al-wurud, yakni semua ajaran selain ayat Alquran dan hadis mutawalis disebut ajaran yang tidak dipastikan kedatangannya; ketidak pastian ajaran ini teijadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorang atau pendapat/ ijtihad pribadi, termasuk semua hadis ahad (yang diriwayatkan orang perorang)maupun penafsiran para ulama terhadap Alquran. b). Zanniy d-dalalah ajaran yang tidak pasti maknanya karena makna yang dikandung suatu teks (nash) lebih dari Pada satu arti, baik dari Alquran maupun dari hadis, c), zanniy al-tanfizh, ajaran yang tidak mesti diberlakukan, misalnya soal waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya (qa(h’iy al-dalalah), tetapi pemberlakuannya tidak mest, artinya seseorang tidak diasnggap berdosa bila tidak membagi warisannya satu banding dua seperti tertera dalam ayat, tetapi ia boleh saja melakukan perdamaian dan membagi satu banding satu dengan saudara wanitannya.'Lihat Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Persfektif Pemikiran Kontemporer, Ujung Pandang , Umi Thaha, 1997, h. 3.
[4]Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur 'an, Bandung : Mizan, 1999, h. 137.
[5]Tadabbur dalam akar katanya tadabbara dengan huruf dai, ba ’u, ra ’u, mengandung arti dasar “bagian belakang sesuatu”dan secara leksikal bermakna “keluar dari sasaran (panah), pergi, mengikuti, dan menggantikan seseorang setelah wafatnya”. Lihat Abiy al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu'jamal-Maqayisfial-Lughat, ditahqiq oleh Syihab al-Din Abu Amer, Cet.I, Beirut Libanon : Dar Af-Fikr, 1994, 4.374. artinya tadabbur yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah mencari sesuatu dibalik-makna-makna ayat.
[6]H. M. Quraish Shihab, Ai-idur dn, Tafsir dan Perubahan Sosial, Orasi ilmiah daiam upacara Dies Natalis ke-34 IAIn SyarifHidayatullah Jakarta, 1 Juni 1991, IAIN Jakarta, 1991, h. 9.
[7]Ibid., h. 7.
[8]Aby al-Husain bin Faris bin Zakariyah, Mu'jamal-Maqayisfial-Lughat, ditahqiq oleh Syihab al-Din Abu Amer, h. 893.
[9]Ibid., h. 639.
[10]Abiy al-Husaen Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam al-Maqayisfi alLughat, ditahqiq oleh Syihab al-Din Abu Amer, Cet, I, Beirut Libanan: Dar al-Fikr, 1994, h. 374.
nAbu Ishak al-Syathibiy, Al-Muwafaqatfi Ushul al-Syari 'ah, disunting oleh al-Syaikh Abdullah Darras, Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.th, h. 29.
[12]Ali Abdul Tawwab (et al), Mabahisfi Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, Mesir : Lajnah al-Bayan al-Arabiy, 1962, h. 50.
[13]Nasrun Rusli, Konsep ijtihad at-Syauqani, Jakarta : logos Wacana, 1999, h. 100
[14]Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur 'an,, h. 142.
[15]Yusuf Qardhawi, Al-IjtihadAl-Muasshir bainal indhibath wal-Infirath, (ter), Surabaya : Dunia Ilmu, 1999, h. 49
[16]Gufran A.Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Pressl997,h. 116
3('Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada 1999, h. 332
[18]Muhammad Arkoun, Rethingfdng Islam, Paris : Maisonave Larose, 1982, h. 66.
[19]Fungsi Ijma inilah yang menimbulkan perbedaan pokok (Vital) antara teori hukum klasik dan tesis asy-Syafi”I memahami ijma’ sebagai sumber hukum material yang tidak begitu penting.tapi ternyata pada teori klasik, nyatanya ijma’ benar-benar berlaku sebagai sumber hukum material pada dirinya sendiri. Umpama doktrin konstitusional tentang pemilihan khalifah,- Hal tersebut tidak berasal dari teb al-Qur’an dan hadis ataupun hasil analogi terhadap keduanya, melainkan hanyalah berasal dari praktek umat Islam pertama yang disepakati. Namun pada teori klasik ijma’ berfungsi sebagai kriteria tertinggi untuk menentukan otoritas hukum, Lihat, N.J. Coulson, The History Of Islamic Law, Inggeris : Edieburgh University Press, 1964, h. 90., Lihat .Muctar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, T.tp, :Universitas Sriwijaya, 2001, h. 349., Lihat; Rif at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta : Paramadina, 1998, h. 98.
[20]Termasuk yang berhubungan dengan soal-soal ibadah dan soal halal haram, Lihat, Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit., h. 34
[21]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cii, h. 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar