R

PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-qur’an,[1]diakui
oleh hampir oleh seluruh umat Islam,[2]
hanya kelompok kecil umat Islam yang menolak hadits sebagai sumber ajran Islam
yang dikenal dengan ingkar al-Sunnah[3].

Oleh karena posisi sunnah yang begitu urgen dalam
agama, maka perhatian para ulama terhadap sunnah sejak masa sahabat sampai
sekarang terus terjaga, baik dalam bentuuk pemeliharaan sunnah dengan
periwayatan kepada orang lain melalui hapalan atau tulisan dalam bentuk
kajian-kaian yang mendalam terhadap metodologi penerimaan dan penyampaian
suunah, penilaian terhadap periwayat hadist dan penyeleksian sunnah dari segi
bisa tidaknya penyandaran suatu ucapan, pebuatan, ataupun ketetapan terhadap
nabi dipertanggungjawabkan keabsahannya. Untuk tujuan pertama kemudian
melahirkan ilmu hadist riwayat, sementara untuk tujuan yang kedua melahirkan
ilmu hadist dirayah.[5]
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan
dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian hadist dan sunnah?
2.
Apa sinonim hadist?
3.
Bagaimana perbedaan pandangan ulama tentang
hadist dan sunnahh?
4.
Apa perbedaan hadist Nabi, hadist Qudsi, dan
Quran?

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadist dan Sunnah
1. Menurut
Bahasa dan Istilah
Manzur mengemukakan bahwa hadist menurut
bahasa adalah sebagia berikut:
a.
Hadist lawan dari kata qadim,[6]
yaitu adanya sesuatu yang sebelumnya tidak ada, misalnya ungkapan yang
mengatakan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan makhluk itu
adalah hadist.
b.
Hadist adalah sesuatu yang baru.[7]
c.
Hadist adalah berita, baik sedikit ataupun
banyak [8]
misalnya firman Allah dalam QS. al-Ghasiyah (88):1 “Sudah datang kepaadamu
berita tentang hari pembalasan?.”
Ar-Razy menyatakan bahwa kata sunnah berarti:
a.
Metode atau jalan,[9] baik itu jalan yang terpuji ataupun jalan
yang tercela seperti pernyataan Rasulullah saw.

b.
Perjanan hidup. [10]
Seperti ucapan Kahlid bin Utbah:
“Maka engkau merasa cemas terhadap perjanan hidup yang telah engkau
lalui, karena pertama merasa puas terhadap perjalanan hidupnya adalahh orang
yang menjalaninnya.”
c.
Penjelasan.[11]
Misalnya sannnalahu ahkama li an-Nasi, maksudnya adalah Allah menjellaskan
hukum-hukumnya kepada manusia.
d.
Contoh yang dipedomani dan iman yang diikuti.
e.
Umat, tabiat, wajah, hukum-hukum Allah,
perintah dan larangannya.
Ismail mengemukakan bahwa kata istilah adalah
kesepekatan sekelompok orang untuk menggunakan satu lafaz, kata atau kelompok
kata dalam makna tertentu di luar yang diletakkan pada kata tersebut pada
asalnya. [12]
Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa hadist adalah segala sabda, perbuatan, taqrir,
dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya sunnah
dari segi syara’ adalah al-Quran dan sunnah.
Kata hadist dengan berbagia derivasinya
disebutkan di dalam al-Quran sebanyak 36 kali dengan berbagai artii,
diantaranya: berita secara umum QS. al-Ghasiyah (88:1), pembicaraan QS.
an-Nisaa (3:140), cerita QS. Taha (20:9), bahkan kata hadist juga ada yang
berarti al-Quran QS. al-Waqi’ah (56:81). Selanjutnya kata sunnah baik dalam
bentuk tunggal ataupun dalam bentuk plural disebutkan dalam al-Quran sebanyak
16 kali. Peynebutran kata sunnah tersebut ada yang disandarkan kepada Allah
swt. Dan ada yang disandarkan kepada makhluk-Nya.
Dengan demikian kata sunnah yang disandarkan
kedapa makhluk, ada yang disandarkan kepada oaring-orang yang saleh dan ada
juga yang disandarkan kepada para penentang agama Allah.
B. sinonim
Hadist
Al-Qasimi menyatakan bahwa hadist menurut para
muhaddisin adalah sinonim dengan khabar dan atsar yang menunjukkan makna
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik yang berupa perkataan, taqrir,
ataupun sifat.[13] Selanjutnya Ibnu Hajar mengemukakan bahwa
hadist adalah apa yang bersumber dari nabi sedangkan khabar adalah apa yang
bersumber selain nabi. Sehingga berdasarkan perbedaan ini, maka ulama yang
banyak berkecimpun dalam bidang sejarah dan semacamnya dinamakan akhbari,
sedangkan orang yang banyak mempelajari sunnah nabi dinamkan muhaddis.
Namun adapula yang membedakan antara hadist
dan kabar dengan mengatakan bahwa hubungan antara keduanya adalah umum dan
khsus secara mutlak, dalam arti semua hadist adalah khabar sementara sebaliknya
tidak seperti itu.[14]
Selanjutnya Fathur Rahman mengemukakan bahwa atsar itu ialah yang datang dari
sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesuadahnya, juga ada pendapat yang menatakan
bahwa istlah atsar itu lebih umum penggunaannya dari pada istilah hadist dan
khabar Karena istilah atsar itu mencakup segala berita dan perilaku para
sahabat, tabi’in dan selanjutnya.[15]
C. Perbedaaan
Pandangan Ulama Tentang Hadist dan Sunnah (subyek,oobyek, dan masa).
Menurut al-Jazairy mengemukakan pengertian
hadist adalah perkataan-perkataan Nabi saw
dan perbuatan-perbuatannya, termasuk bagian dari perbuatan adalah taqrir
yakni tidak adanya penolakan beliau terhadap sesuatu hal yang dilihat atau
disampaikan kepada beliau dari orang tunduk kepada ketentuan syar’i.[16]
Sebagian ulam amenggolongkan bahwa semua yang disandarkan kepada nabi adalah
hadist. Dengan demikian maka hadist adalah perkataan-perkataan nabi, perbuatan,
dan keadaan-keadaanya. Pengertian ini beliau sandarkan kepada para ulama hadist.[17]
Ibnu Hajar, at-Thiby (as-Suyuthi, 1996)
mengemukakan bahwa term hadist bersifat umum yaitu mencakup perbuatan nabi,
sahabat, dan tabi’in perbuatan, dan perkataan mereka.[18]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kata hadist nabi jiaka dipergunakan secara lepas
dimakudkan kepada apa yang diceritakan dari nabi setelah kenabian, baik itu
ucapan, perbuatan, dan ketetapan.[19]
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan
oleh para ulama, maka ada tiga hal yang menjadi perbedaan mereka dalam
mendefinisikan hadist adalah sebagai berikut:
a.
Subyek hadist; apakah hadist hanya terbatas
pada apa yang disanndarkan kepada nabi saja ataukah hadist juga mencakup pada
apa yang disandarakan selain nabi seperti sahabat atau tabi’in.
b.
Obyek hadist; apakah hadist hanya terbatas
pada perkataan, perbuatan, dan ketetapan saja ataukah hadist juga mencakup
keadaan dan sifat.
c.
Periode atau masa hadist; apakah hadist hanya
terbatas pada apa yang disampaikan setelah Muhammad saw. dingkat menjadi nabi,
ataukah juga meliputi apa yyang disandarkan sebelum beliau diangkat menjadi
nabi.
Menurut istilah ahli hadist sunnah adalah semua yang bersumber dari nabi
saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik atau psikis
dan sirah baik sebelum pengangkatan beliau menjadi nabi ataupun sesudahnya.
Dengan demikian sunnah menurut mereka sinonim dengan hadist. Selanjutnya
menurut Ushuliyyun sunnah adalah apa yang dinukilkan dari nabi baik perkataan,
perbuatan, ataupun ketetapan. [20]
Sunnah terkadang juga dimaksudkan untuk menunjukan
sesuatu yang mempunyai landasan atau dalil syar’i, baik dalil itu
terdapat dalam al-Quran atau bersumber dari nabi, bahkan merupakan ijtihad dari
para sahabat, seperti penggunaan mushaf dan perintah untuk membaca al-Quran
dengan qiraah yang sama. Imam Malik ra. ketika beliau ditanya tentang
sunnah, maka beliau mengatakan yaitu semua yang tidak mempunyai nama selain
sunnah, kemudian beliau membaca ayat:[21]Wa
Anna Hazaa Shiraathiy Mustaqiymaa fattabihu walaatattabiuus subula fatafarraqa
bikum an sabilihi (QS.6:153).
"Dan.bahwa yang kami perintahkan ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlahengkau mengikuit
jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu rnenceraikan kamu dari jalannya.”
(QS. al-An’am: 153)
Perbedaan para
ulama dalam mendefinisikan sunnah tersebut disebabkan perbedaan tujuan yang ingin
dicapai. Ketika para ulama hadis mempelajari tentang pribadi Rasulullah saw sebagai
seorang imam, yang seperti diberitakan oleh Allah, diutus ke dunia ini sebagai contoh
dan teladan uswah dan quduwah. maka mereka berupaya untuk meriwayatkan
semua hal yang berkaitan dengan beliau baik itu sirah, akhlak, sifat-sifat fisik,
berita-berita, perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, baik yang memberikan konsekuensi
hukum syar'I ataupun yang tidak.
Demikian
halnya ulama ushul mempelajari pribadi Rasulullah saw sebagai pembuat hukum
syar'i atau musyri' yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya,
menjelaskan kepada manusia aturan-aturan hidup, sehingga mereka memberikan
perhatian terhadap perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan
ketetapan-ketetapan rasul yang mempunyai konsekuensi hukum dan menetapkannya. Di
sisi lain, ulama fikih lebih memfokuskan
bahasan mereka tentang nabi sebagai manusia yang segala aspek dan tingkah lakunya
tidak terlepas dari indikasi terhadap sesuatu hukum, sehingga mereka lebih memfokuskan
bahasan mereka dalam aspek hukum terhadap perbuatan manusia baik yang bersifat
wajib, haram, mubah, dan lain-lain.[22]
Berdasarkan
pada uraian di atas, maka dapat disirnpulkan bahwa perbedaan ulama dalan
mendefinisikan sunnah sesungguhnya bukanlah perbedaan yang sebenarnya atau ikhtilaf
hakiki, tetapi hanyalah perbedaan cara pengungkapan karena perbedaan sudut pandang
atau seperti yang dikernukakan oleh al-Jazairy ikhtlaf al-ibrat li ikhtilaf
al-i’tibarat.[23]
Dengan dernikian
kata hadis dan sunnah dikalangan ulama umunya ulama hadis mengidentikkan di antara
keduanya. Meskipun pada kenyataannya ketika kita mencermati penggunaan keduanva
menunjukkan adanva beberapa perbedaan sebagai berikut:
a.
Hadis adalah segala yang diceritakan atau
diberitakan dari Rasulullah saw. Sunnah, baik dia ceritakan ataupun tidak, adalah
sesuatu yang telah bisa dikerjakan oleh para muslimin sejak dahulu dan tidaklah
selalu sunnah itu sesuai denganh hadis.[24]
Ringkasannya menurut Hasby ash-Shiddiqy’ hadis adalah ‘ilmiyyun nawadhirrun =
berita yang merupakan pengetahuan lagi
merupakan kunci.’[25]
b.
Hadis lebih banyak digunakan dikarangan ahli hadis,
sedangkan sunnah lebih banyak dijumpai dikalangan para ulama ushul dan ulama fikhi..
c. Hadis merupakan registrasi dari
sunnah yang diriwayatkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
D. Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi,dan
al-Qur’an
Subhi Shalih mengernukan
bahwa hadis nabi (biasa) adalah ucapan yang disandarkan secara langsung kepada beliau.[26]
Menurut Fahur Rahman bahwa hadis qutsi adalah sesuatu yang dikabarkan Allah ta'ala
kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan
makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.[27]
Selanjutnya Gufron
menyatakan bahwa hadis qudsi (hadis suci) merupakan perkataanTuhan melalui lisan
nabi Muhammad saw, sebagai pelengkap wahyu yang diturunkan kepadanya.[28]
Sedangkan al-Quran merupakan kalam Ilahi
yang diturunkan kepada Nabi Muhamad saw. dan tertulis dalam mushaf berdasarkan
sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya dan yang dibaca umat Islam
dalam rangka ibadah.[29]
Perbedaan hadis
nabi dengan hadis qudsi adalah hadis qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi
kalimat-kalmat qaala (yaquulu) Allahu, fima yarwihi, anillahi
tabaraka wata'ala, dan lapadh lapadh lain yang semakna dengan apa yang
tersebut. Selanjutnya perbedaan hadis qudsi dengan hadis nabi yaitu hadis qudsi
kalimat yang biasa digunakan seperti Rasulullah saw. bersabda meriwayatkan apa yang
beliau terima dari Tuhannya dan kalimat Allah Ta'ala berfirman seperti yang
telah diceritakan oleh Rasulullah saw. sedangkan hadis nabi tidak ada tanda-tanda
yang demikian.
Abu al-Baqa'
dalam (Subhi Shalih) menyatakan sesungguhnya al-Quran itu lafaz dan maknanya dari
sisi Allah melalui wahyu yang jelas. Adapun hadis qudsi, lafaznya dari
Rasulullah saw. sedangkan maknanya dari Allah lewat ilham atau mimpi.[30]
Perbedaan hadis
qudsi dengan al-Quran adalah sebagai berikut:
a.
Semua lafaz ayat al-Quran adalah mu'jizat dan
mutawatir, sedang hadis qudsi tidak demikian
halnya.
b.
Ketentuan hukumnya yang berlaku bagi al-Quran
tidak berlaku bagia al-Hadis, 'seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang
sedang berhadats kecil, dan pantangan membacanya bagi orang yang berhadas
besar. Sedang untuk hadis qudsi tidak ada pantangannya.
c.
Setiap huruf yang dibaca dari al-Quran
memberikan hak pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.
d.
Meriwayatkan al-Quran tidak boleh dengan
maknanya saja atau mengganti lafaz sinonimnya, berlainan dengan al-Hadis.[31]

PENUTUP
Berdasarkan pada
pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrir,
dan hal-ikhwal yang disandarkan kepada Nabi M uhammad saw.
2.
Sunnah adalah segala sesuatu yang
diperintahkan, dilarang, atau dianjukan oleh Nabi saw. baik berbentuk sabda maupun
perbuatan.
3.
Sinonirm hadis yaitu khabar dan atsar. Khabar
adalah apa yang bersumber selain nabi sedangkan atsar adalah apa yang datang dari
sahabat, tabi’in, dan orang-orang sudahnya.
4.
Perbedaan pandangan ulama tentang hadis dan
sunnah; para ulama hadis megidentikkan keduanya. Hadis lebih banyak digunakan
dikalangan ahli hadis, sunnah lebih banyak dijumpai di kalangan para ulama ushul
dan ulama fikih.
5.
Perbedaan hadis nabi, hadis qudsi, dan
al-Quran yaitu: a ) hadis qudsi kalimat yang biasa digunakan seperti Rasulullah
saw. bersabda meriwayatkan apa yang beliau terima dari Tuhannya dan kalam Allah
Ta’ala berfirman seperti yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. Sedangkan
hadis nabi tidak ada tanda-'tanda demikian b; ) al-Quran adalah lafaz dan
maknanya dari sisi Allah melalui wahyu yang jelas, hadis qudsi, lafaznya dari
Rasulullah saw. sedangkan maknanya dari Allah lewat ilham atau mimpi.
![]() |

Abdil Hadi, Abdul Muhdi bin Abdil
Kadir bin, al-Madkhal ila as-Sunnah an-Nahawiyah t.cet; Cairo: Dar
al-I’tisam,1998
Abu Guddah, Abd. Al-Fattah. Lamhat
min Tarikh as-Sunnah wa Ulum al-Hadits Cet.IV; Beirut: Dar al-Basyair
al-Islamiyya, 1417 H.
Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali bin
Muhammad, Nushah an Nazar (Cet.I; Cairo: ad-Dar ats-Tsaqafiyyah, 1998
Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad
ibnu Mukrim, Lisanul Arab, Jilid II t.cet. Beirut: Dar al-Fikri,t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi
Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press,
1985.
‑‑‑‑‑‑‑. Kaedah Keshahihan sanad
Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Ismail, Yahya. Ma’a al-Hadis wa
Ahlihi wa Naqdihi Cet.I; Munsyiyah Nasr al-fajr al-Jadid, 1992.
al-Jazairy, Tahir bin Salih bin
Ahmad. Taujih an-Nazar ila Ushul al-Asar t.cet; Beirut: Dar al-Ma’arif,
t.th.
al-Katib, Muhammad ajjaj. Ushul
al-Hadis ‘Ulumuh wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr 1395H/1975M.
Mas’adi, Gufron A, Ensiklopedi
Islam (ringkas), Ed.I Cet.II; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,1999
Rahman, Fathur.Ihtisar
Musthalahu Hadis Cet.I; Bandung: PT.al-Ma’arif 1974.
ar-Razy, Muhammad bin Abi Bakar bin
Abdil Qadir, Mukhtar as-Shalih Cet t.tp: Dar al-Manar, t.th.
as-Shalih, Subhi, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Cet IX; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
‑‑‑‑‑‑‑. Membahas Ilmu-Ilmu
Hadis, Cet. V; Pustaka Firdaus, 2002

as-Shiba’I, Mustafa. As-Sunnah
wa Makanatuhu fi at-Tsyri al-Islamy, Cet.I;Cairo: Dar as-Salam, 1998.
ash-Shiddiqy, M. Hasbi. Sejarah
dan Pengatar Ilmu Hadis, Cet.X; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
al-Suyuti, Jalal al-Din Abd.
al-Rahman bin Abi Bakar. Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi al-Sunnah, Cet.III;
al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Rasyid, 1399H/1979M.
‑‑‑‑‑‑‑. Tadrib al-Rawi, Juz
I t.cet; Beirut: Dar al-Kitab al-Araby,1996
as-Syafi’I, Muhammad bin Idris. Al-Umm,
t.tp: Dar al-Syaib,t.th.
al-Qardawi, Yusuf. As-Sunnah
Masdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Cet.II; Mesir: Dar as-Syuruq,1998.
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawaid
al-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadis, t.cet; Cairo;Isa al-Halaby,t.th.
[1] Lihat Subhi al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa
Musthalahuhu, (Cet.IX: Beirut:Darl al-Ilm li al-Malayin, 1977), h.3. Lihat
pula M.Syuhudi Ismai, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press’ 1985),h.3. lihat pula Muhammad
Ajjad al-Katib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikri 1395H/1975M0,h.18-19.
[2] Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi
Bakar al-Suyuthiy, Miftah al-Jannah fi al-Ihyijaj bi al-Sunnah (Cet.
III; al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Rasyid, 1399 H/1979 M), h.5. Lihat
pula M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet
I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 3
[3]
AL-Asyafi’I, membagi ingkar al-Sunnah kepada tiga golongan yaitu: a)
golongan yang menolak seluruh; b) golongan yang menolak sunnah kecuali sunnah
itu memilii kesamaan dengan petunjuk al-Quran; dan c) golongan yang menolak
sunnah yang berstatus ahad. Lihata Muhammad binIdris al-Syafi’I al-Um,
(ttp: Dar al-Sya’ib t.th), h. 250-256.
[4] Lihat
Yusuf al-Qardhawi, as-Suunah Masdhar li al-Ma’rifah wa al Hadharah,
(Cet. II; Mesir: Dar as-Syuruq, 1998) h.8-9
[5]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum al-Hadist, (Cet. III,
Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 25
[6] Jamaluddin Muhammad Ibnu Manzur, Lisanul
arab, Jilid II (Cet. Bairut: Dar al- Fikri, t.th), h.134.
[7] Ibid.,h. 133
[8] Ibid.
[9]
Muhammad bin Abi Bakar bin Abdil Qadir ar-Razy, Mukhtar as-Shahih (Cet.
T.th: Dar al-Manar, t.th), h. 133
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Yahya
Ismail, Ma’a al-Hadist wa Ahlili wa Naqdihi, (Cet. I, Munsyiyah Nasr
al-Fajr al-Jadid, 1992), h. 50.
[13] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid
al-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadist, (t.Cet; Cairo: Isa al-Halaby,
t.th), h. 61.
[14] Ahmad bin Ali bin Muhammad Ibnu Hajar, Nuzhah
an-Nazar, (Cet. I; Cairo: ad- Dar As- Tsaqafiyyah, 1998), h. 21
[15] Fathur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadist, (Cet. I; Bandung PT. al-Ma’arif,
1974), h. 69-70
[16] Tahir
bin Saleh bin Ahmad al-Jazairy, Tujih an-Nazar ila Ushul al-Asar (t. Cet.; Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th), h.2
[17] Ibid
[18] Jalal ad-Din Abd Rahman bin Bakar as-Suyyuthi,
Tadrib ar-Rawi, Juz I (t. Cet; Beirut:
Dar al-Kitab al-Araby, 1996), h. 23
[19] Abd
al-Fattah Abu Guddah, Lamhat min tarikh as-Sunnah wa Ulum al-hadist,
(Cet. IV; Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyya, 1417 H), h. 15
[20]
Musthafa as-Shiba’i, as-Sunnah wa Makanatuhu fi at-Tasyri’ al-Islamy,
(Cet. I; Cairo: Dar asa-Salam, 1988),h. 57
[21] Abdul Muhdi
bin Abdil Kadir bin abdil Hadi, al-Madkhal ila as-sunnah an-Nawawiyah
(t.cet; Cairo: Dar al-I’tisham, 1998),h.23.
[22]Musthafa as-Shiba’I, op.cit.,h.58
[23] Al-jazairy, op.cit.,h.2
[24] M. Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan
pengantar Ilmu Hadits (Cet.X; Jakarta: Bulan Bintang, 1991),h.36.
[25] Tertulis ‘ilmiyyun nawadhirrun’
seharusnya ‘ilmiyyun qizaruyyun = pengetahuan yang bersifat teoretis.’
[27]
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Cet. I; Bandung , PT.
al-Ma’arif, 1974),h.69-70
[28]
Gufron A. Mas'adi, Ensiklopedi
lslam (ringkas), Ed.l (Cet, lI; Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,I 999),h
. I I I
[29]
Subhi as-Shalih, Membahas
llmu-llmu al-Quran,(cet. IX(; Jakarta: Pustaka Firdaus 2002),h.10
[30] Ibid.
[31] Ibid.,h.70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar