BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah Rasulullah saw wafat, sandaran pasti kaum
muslimin untuk menjelaskan al-Qur’an atau menjawab setiap kasus yang muncul di
kalangan masyarakat muslim berpindah kepada hadis yang diwariskan beliau kepada
para sahabatnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Seiring perjalanan waktu, umat Islam semakin merasakan
diri mereka tergantung kepada hadis Rasulullah. Ia menjadi dalil yang tidak
terbantahkan. Hal ini dijadikan semacam peluang di antara pihak-pihak yang
berkepentingan untuk menjadikan hadis sebagai justifikasi atas segala
perbuatannya agar diterima oleh masyarakat Islam saat itu. Mereka tidak
canggung untuk membuat hadis palsu yang sama sekali tidak pernah diucapkan atau
dilakukan oleh Rasulullah saw. Hanya karena pertentangan politik dan teologi. Hadis-hadis
semacam itu hingga kini masih sering ditemukan di kalangan umat Islam. Oleh karena itu
para ulama menggunakan sejarah sebagai senjata melawan para pendusta hadis
nabi.[1]
Bersandar pada hal tersebut maka penelitian tentang rijal
al-hadis yang merupakan salah satu sarana untuk memilah hadis-hadis yang
benar-benar sampai pada Rasul SAW. dengan
hadis-hadis buatan orang yang tidak bertanggung jawab menjadi keharusan. Sebab untuk menentukan kualitas sebuah hadis para ulama
tidak hanya meneliti matan hadis itu saja, tapi juga meneliti setiap
yang berhubungan dengan hadis tersebut seperti periwayat-periwayatnya,
kehidupannya, tempat tinggalnya, perjalanannya mengumpulkan hadis, guru-gurunya.[2]
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis akan mengemukakan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian ilmu
Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jar Wa Al-Ta’dil?
2.
Bagaimana teknik
penetapan Rijal al-Hadis?
3.
Bagaimana kaedah
dan maratib al-Jarh wa Al-Ta’dil?
4.
Bagaimana sikap
kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
5.
Kitab-kitab apa
saja yang dapat dijadikan rujukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jarh
Wa Ta’dil
1. Ilmu Rijal al-Hadis
Secara bahasa ilmu Rijal al-Hadis berasal dari dua
kata yaitu kata “rijal” artinya orang laki, kaum pria,[3]
dan kata hadis artinya Apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
baik berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan.[4]
Sedangkan secara istilah para ulama memberi pengertian
yang berbeda-beda:
Subhi al-Shalih memberikan pengertian Rijal al-Hadis
sebagai berikut:
علم يعرف به روّاة
الحد يث من حيث انّهم رواة للحد يث
Artinya:
Ilmu yang mempelajari para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi
hadis.[5]
TM Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan bahwa rijal
al-hadis adalah:
علم يبحث فيه عن
أحوال الرواة وسيرهم من الصحابة والتابعين وأتباع أتباعهم
Artinya:
Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang keadaan-keadaan
perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat,
golongan tabi’in dan tabi’t-tabi’in.[6]
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Rijal
al-Hadis merupakan ilmu yang mempelajari tentang keadaan-keadaan para rawi,
perjalanan hidup mereka baik dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
dalam kapasitasnya sebagai periwayat hadis.
2. Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Tajrih atau jarah dalam
pengertian bahasa, “melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda
tajam, pisau, pedang dan sebagainya,” luka yang disebabkan kena pisau dan
sebagainya dinamakan juruh. Juruh juga diartikan dengan makian
dan penistaan, baik di muka ataupun di belakang.[7]
Menurut pengertian istilah adalah menyebutkan sesuatu yang mengakibatkan tercecatlah
si perawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayat).[8]
Sedang menurut Mustafa Dib al-Bugha; al-jarh secara terminologi berarti
munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau
mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Tajrih
artinya menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi
penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.[9]
Ta’dil menurut bahasa
adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan
lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil
pada diri seseorang berarti menilainya positif.[10]
Al-‘adl secara terminologi
berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan
keperwiraannya.[11] Atau
mensifati si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang
menjadi puncak penerimaan riwayatnya.[12]
Yang lain memberi pengertian bahwa adil adalah terhindar dari kefasikan dan
keburukan prilaku. Bukti dari keadilan adalah tidak pernah berbuat dosa besar
dan tidak mengerjakan dosa yang kecil terus-menerus.[13]
Ilmu al-Jarh wa
al-Ta’dil
adalah ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolak
riwayatnya.[14] Ilmu ini mempunyai bagian
terpenting dalam mempelajari ilmu hadis, karena dengannya kita bisa membedakan
antara yang sahih dari yang da’if dan yang maqbul dan Mardud.
Oleh karenanya,
ada dua sifat yang harus dimiliki oleh seorang periwayat sehingga riwayatnya
bisa diterima, yaitu adil dan teliti.[15]
Sedangkan ada empat kriteria yang harus dipenuhi seseorang untuk
bisa dikatakan sebagai seorang adil menurut ilmu hadis:[16]
1.
Beragama Islam.
2.
Mukallaf.
3.
Melaksanakan
ketentuan agama.
4.
Memelihara muru’ah.
B.
Teknik Menetapkan Rijal
al-Hadis
Teknik atau metode menetapkan rijal al-hadis
menurut sebagian ulama melalui dua cara:
1.
Dengan
kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang adil
atau orang yang memiliki aib.
2.
Berdasarkan pujian
atau pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya.[17]
Adapun sebagian yang lain memiliki metode lain dalam
menjelaskan hal-ihwal para perawi, yang terpenting adalah:[18]
1.
Jujur dan tuntas
dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif maupun
negatif perawi.
2.
Kecermatan dalam
meneliti dan menilai.
3.
Mematuhi etika al-jarh.
4.
Secara global
menta’dil dan secara rinci dalam mentarjih.
Para ulama hadis dalam melakukan penelitian Rijal
al-hadis menggunakan metode yang beragam. Namun secara umum cabang ilmu ini
terbagi menjadi dua bagian penting,[19]
yaitu:
a.
Ilmu Tarikh al-Ruwat
Ilmu Tarikh al-Ruwat ini mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran perawi,
wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka,
perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya ke
negeri-negeri berbeda-beda, masa belajarnya sebelum atau sesudah mengalami perubahan
pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan
persoalan-persoalan hadis.[20]
Hasil karya tulis dari para ulama hadis dari bidang ilmu
ini sangat banyak, yang menghimpun koleksi-koleksi besar tentang biografi dan
informasi lengkap tentang para rijal al-hadis.
Untuk menulis kitab Tarikh al-Ruwat, ulama hadis menggunakan
beberapa metode yang berbeda sebagai berikut:[21]
1.
Mengelompokkan
perawi berdasarkan Thabaqat-nya. Maka dari metode ini dijelaskan keadaan
perawi yang hidup pada satu masa lalu perawi yang hidup pada masa setelahnya.
Contohnya: at-Thabaqat al-Kubra karya Muhammad bin Sa’ad (168-230 H)
2.
Menyusun periwayat
berdasarkan tahun.
Pada metode ini dijelaskan tahun kelahiran dan wafatnya periwayat lalu
kehidupannya.
3.
Menyusun periwayat
secara alfabetis.Metode
ini paling mudah digunakan oleh para peneliti dalam mencari periwayat.
Contohnya: at-Tarikhul al-Kabir karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari
(194-256 H).
4.
Menyusun periwayat
berdasarkan kota.
Metode ini menyusun para periwayat yang ada pada kota tersebut dan para
periwayat yang pernah masuk ke kota tersebut. Contohnya: Tarikh Nisabur karya
Muhammad al-Hakim al-Nisabur, Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir.
5.
Menyusun
berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kunya, Alqab Ansab (keturunan),
dan berdasar ikhwah dan akhwat (saudara laki-laki dan saudara
perempuan).
b.
Ilmu Al-jarh wa
al-Ta’dil
Ilmu Al-jarh wa al-Ta’dil memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi
integritas kepribadiannya (‘adalah) maupun dari segi kapasitas
intelektualnya (dhabith).
C.
Kaidah dan Maratib
al-Jarh wa Ta’dil
Kaedah-kaedah jarh
dan ta’dil menurut TM. Ash Shiddieqy adalah sebagai berikut:
1.
Bersandar kepada
cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar
kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdun Kharijiyun atau kritik yang
datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
2.
Berpautan dengan
hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan
keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdun Dakhiliyun
atau kritik dari dalam hadis.
Beberapa teori atau kaidah al-jarh wa al-ta’dil menurut
ulama lain:
1. التعديل مقدّم على الجرح
Artinya:
at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.[22]
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh
seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih
adalah kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis
adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang
kemudian. Karenanya, bila sifat dasar
berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah
sifat dasarnya. Pendukung teori ini oleh
an-Nasa’i (w. 303 H/915 M).
2. الجرح مقدّم على التّعديل
Artinya:
al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.[23]
Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh
seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang
didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan. Alasannya adalah kritikus yang
menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan
dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus
hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti
tentang ketercelaan yang dimilikioleh periwayat yang bersangkutan. Pendukung
teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh.
3. اذا تعارض الجارح والعدّل فالحكم
للمعدّل الا اذا ثبت الجرح المفسّر
Artinya:
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji
dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji,
kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang
sebab-sebabnya.[24]
Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang
kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang
harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang
mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang
yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab
ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi
periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap
periwayat yang sama. Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis.[25]
4. اذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جرحه
للثّقة
Artinya:
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah
orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak
diterima.[26]
Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang
tidak tsiqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tsiqah,
maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak. Alasannya,
orang yang bersifat tsiqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat
daripada orang yang tidak tsiqah.
5. لايقبل الجرح الا بعد التّثّبت خشية
الاشباه فى المجروحين
Artinya:
Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan
(diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang
orang-orang yang dicelanya.[27]
Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan
ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat
itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali
telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya
kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasanya, suatu kritikan harus jelas
sasarannya dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik
haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori
ini adalah ulama ahli kritik hadis.
6. الجرح الناشئ عن عداوة دنيويّة لا
يعتدّ به
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami
permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.[28]
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat
tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan
pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus
ditolak. Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat
menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam
masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak
jujur karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing,
maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang
lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan
intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Adapun maratib al-jarh wa al-ta’dil, para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah peringkat yang berlaku untuk al-jarh wa
al-ta’dil, sebagian ulama membagi menjadi empat peringkat; yang lain
membagi menjadi lima peringkat, dan yang lain lagi membagi menjadi enam
peringkat.
Menurut Mustafa Dib al-Bugha, perbedaan jumlah peringkat
bagi para periwayat hadis mengenai al-jarh wa at-ta’dil, sedikitnya
disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) karena terdapat perbedaan pandangan dalam
penetapan bobot kualitas terhadap periwayatan tertentu; (2) karena terdapat
perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang sama; (3) karena dari
kalangan ulama ada yang tidak konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.[29]
Tingkatan al-jarh wa al-ta’dil menurut Abi Hatim:[30]
a.
Tingkatan al-ta’dil
1.
Jika dikatakan kepada
seorang rijal al-hadis ungkapan:
ثقة أو متقن ثبت maka hadisnya dapat dijadikan hujjah.
2.
Jika
dikatakan kepada seorang rijal al-hadis dengan memakai ungkapan: صدوق أو محله الصدق أو لا بأس به maka hadisnya dapat
ditulis dan dijadikan rujukan.
3.
Jika
dikatakan kepada serorang rijal al-hadis dengan memakai ungkapan: شيخ
maka hadisnya dapat dijadikan rujukan cuma ia lebih
rendah satu tingkatan dari tingkat kedua.
4.
Jika
dikatakan kepada serorang rijal al-hadis dengan memakai ungkapan: صالح الحديث maka hadisnya dapat ditulis namun diragukan.
b.
Tingkatan al-jarh.
1.
Dengan ungkapan: لين الحديث , boleh ditulis hadisnya tapi
diragukan untuk dijadikan rujukan.
2.
Dengan ungkapan: ليس بقوي, kata ini sebenarnya menunjukkan
bolehnya ditulis hadisnya tapi masih dibawah tingkatan pertama.
3.
Dengan ungkapan: ضعيف الحديث, tidak sampai ditolak hadisnya tapi
diragukan.
4.
Dengan ungkapan: متروك الحديث أو ذاهب الحديث أو كذاب, maka hadisnya tidak dianggap dan
sama sekali tidak boleh ditulis.
Sedangkan
tingkatan al-jarh wa al-ta’dil menurut Musthofa Dib al-Bugha:[31]
a.
Tingkatan
al-ta’dil.
1.
Seluruh
kata yang bermakna hiperbola yang dilekatkan kepada periwayat yang berkaitan
dengan sifat al-ta’dil , contoh: أوثق الناس، و
أضبط الناس، و ليس له نظير .
2.
Dengan
ungkapan: فلان لا يسأل عنه، فلان لا يسأل عن مثله dan lain sebagainya.
3.
Dengan
ungkapan yang menguatkan kekuatan hapalannya dan keterpercayaannya dalam
periwayatannya, contoh: ثقة ثقة، ثقة مأمون، ثقة حافظ.
4.
Dengan
menyifatinya seorang yang terpercaya dan sebagainya, contoh: ثقة، حافظ،
dan sebagainya.
5.
Jika
dikatakan kepada seorang rijal al-hadis bahwa ia seorang
terpercaya, jujur namun agak lemah ketelitiannya, contoh dengan memakai ungkapan: صدوق أو مأمون.
6.
Dengan memakai
ungkapan yang hampir mendekati al-tajrih, contoh: صدوق
إن شاء الله.
b.
Tingkatan
al-jarh.
1.
Seluruh
kata yang bermakna hiperbola yang dilekatkan kepada periwayat yang berkaitan
dengan sifat al-jarh , contoh: أﻛﻧ ب الناس.
2.
Dengan
menggunakan ungkapan yang menyatakan al-jarh
contoh: ﻛﻧﺍب
3.
Dengan
menggunakan ungkapan yang menunjukan dicurigai berbohong atau pemalsu hadis, contoh: اتهامه باﻠﻛﻧ ب، اتهامه
بالوضع
4.
Dengan
menggunakan ungkapan yang menunjukkan bahwa ia sangat lemah, contoh: رد
حديثه، ضعيف جدا
5.
Dengan
menggunakan yang menunjukkan kelemahan perawi, contoh: ضعيف .
6.
Dengan
menggunakan ungkapan yang menyatakan kelemahan perawi namun lebih dekat kepada al-ta’dil,
contoh:القوي، فيه ضعف ليس
ﺑﻧﺍﻚ
F. Sikap
Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik
hadis ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahul),
dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (tawasut).[32]
Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun
mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan
ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis.
An-Nasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di
al-Madini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai
kesigatan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M)
dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi
(wafat 748 H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai periwayat
dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap
penelitian yang mereka hasilkan.[33]
Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam
menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian
hadis yang dinilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para
kritikusnya, dan sekiranya terjadi perbedaan dalam mengeritik, maka sikap
kritikus harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang
lebih obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa
syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jaarih wal-mu’addil;
1. Berilmu
pengetahuan.
2. Bertaqwa
3. Wara’
4. Jujur
6. Tidak fanatik terhadap sebagai perawi
G. Kitab-kitab Rujukan
Adapun kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Kitab-kitab tarikh
Al-Ruwat.[35]
1.
Ath-Thabaqat al-Kubra
karya Muhammad ibn Sa’d.
2.
Ath-Thabaqat ar-Ruwat
karya Khalifah ibn Khayyath al-‘Ushfuriy.
3.
Tarikh al-Islam karya
adz-Dzahabiy.
4.
At-Tarikh al-Kabir karya
Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari.
5.
Tahdzib at-Tahdzib karya
al-Hafidz ibn Hajar al-‘Asqalaniy.
6.
Tarikh Naisabur
karya Imam Muhammad ibn Abdillah al-Hikam al-Nisaburi.
7.
Tarikh Bagdad karya
Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Bagdadiy.
8.
Tarikh Dimasyqi karya
al-Hafidz al-Mu’arrikh Ali ibn al-Hasan.
9.
Al-Asamiy wa al-Kuna
karya Ali ibn Abdillah al-Madaniy.
10.
Al-Kuna wa al-Asamiy
karya Abu Bisyr Muhammad ibn Ahmad ad-Daulabiy.
11.
Al-Ikmal fi Raf’ al-Irtiyab
‘An al-Mu’talif wa al-Mukhtalif min al-Asma wa al-Kuna wa al-Ansab karya ibn Ma’kula
al-Bagdadiy.
12.
Al-Musytabih fi Asma’
ar-Rijal karya al-Hafidz Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman adz-Dzahabiy.
13.
Nuzhah al-Albab fi
al-Alqab karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalaniy.
14.
Al-Ansab karya Taj al-Islam
Abdul Karim ibn Muhammad as-Sam’aniy.
15.
Al-Lubb karya Ali ibn
Muhammad asy-Syaibaniy al-Jazariy.
b.
Kitab-kitab AL-jarh
wa AL-Ta’dil[36]
1.
Ma’rifat
al-Rijal karya Yahya ibn Ma’in.
2.
Adh-Dhu’afa’
karya Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari.
3.
Adh-Dhu’afa’
wa al-Matruk karya Imam Ahmad ibn Syu’aib Ali an-Nasa’iy.
4.
Al-Jarh
wa al-Ta’dil karya Abdurrahman ibn Abu Hatim ar-Raziy.
5.
At-Tsiqat
karya Abu Hatim ibn Hibban al-Bustiy.
6.
Al-Kamil
fi Ma’rifat Dhu’afa’ al-Muhadditsin wa ‘Ilal al-Hadits karya al-Hafidz Abdullah
ibn Muhammad al-Jurjaniy.
7.
Mizan
al-I’tidal karya Imam Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad adz-Dzahabiy.
8.
Lisan
al-Mizan karya al-Hafidz Syihabuddin Ahmad ibn Ali (ibn Hajar) al-‘Asqalaniy
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Ilmu
rijal al-hadis adalah ilmu yang mempelajari
tentang keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka baik dari
golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in dalam
kapasitasnya sebagai periwayat hadis. Sedangkan ilmu al-jarh wa al- ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan periwayat-periwayat
hadis dari segi baik buruknya yang menyebabkan riwayatnya dapat diterima atau
ditolak.
2.
Ada
dua teknik penetapan rijal al-hadis yaitu, berdasarkan kepopulerannya di
kalangan ahli ilmu dan berdasarkan ta’dil atau tajrih dari orang
yang tsiqah.
3.
Penelitian
terhadap rijal al hadis melingkupi tarikh al-ruwat dan al-jarh
wa al-ta’dil mereka.
4.
Kaedah
al-jarh wa ta’dil terdiri dari naqdun kharijiyun dan naqdun
dakhiliyun.
5.
Para
perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat dari
segi keadilan dan kedhabitan. Diantara mereka ada yang kurang dari hafalan, dan
ada pula yang sering lupa dan salah. Karena itu, para ulama ahli kritik
menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil beserta lafal-lafalnya untuk
menentukan hadis yang dapat dijadikan hujjah.
6.
Sikap
kritikus hadis dalam menilai rijal al hadis berbeda-beda, ada yang
“ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahul), dan ada yang
“moderat” (tawasut).
7.
Kitab-kitab
rujukan rijal al-hadis sebagai dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj
Khatib lebih dari empat puluh macam dan seluruh kitab tersebut termasuk lengkap
dan ideal untuk meneliti para periwayat hadis dari berbagai aspeknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad, Abdul Adzim ibn Abdil qawiyyi AL-Mundzir, Risalah fi Al-Jarh wa Al-Ta’dil, Cet.
1; Kuwait: Maktabah Dar Al-Aqsha, 1406 H.
Al-Bugha, Mustafa Dib, Buhuts fi
Ulumil Hadis wa Nususihi Cet. I;
Damaskus: Darul Mustafa, 2009.
Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalalul Hadis. Cet.I; Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1974.
Ismail, M. Syuhudi, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. Cet.I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulumil Hadis, Cet. 28; Damaskus: Darul Fikr, 2007.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthidahuhu.
Beirut: Darul Fikr, 2006.
Muhammad az-Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah, Cet.2; Damaskus: Darul
Makrifah, 2005.
Munawwir, Ahmad Warson, al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar Studi Hadis, diterjemahkan oleh Agus
Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Cet. 1; Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa’idu
al-Tahdis min Fununi Mustalahi al-Hadis, Cet. 4; Beirut: Dar an-Nafais,
2006.
Al-Shahih, Subhi Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh. Beirut: Dar
al-Ilmu al Malayin, t.t.
Al-Shiddieqy, TM. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis. Cet.IV; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.
Al-Syahrazuri, Abdu al-Rahman, Ulumul
Hadis li Ibni al-Sholah. Cet. 13; Damaskus: Darul Fikr, 2008.
Al-Tahanawaiy, Ahmad al-Utsman, Qawaid fi ‘Ulum al-Hadis, Cet. 5; Riyadh:
t. Tp., 1984.
[1]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Cet. I;
Beirut: Darul Fikr, 2006), h. 164.
[2]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu(Cet. I;
Beirut: Darul Fikr, 2006), h. 164.
[3] Ahmad Warson Munawwir, al- Munawwir Kamus
Arab-Indonesia, (Cet.
14; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 479.
[4] Muhammad az-Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah, (Cet.2; Damaskus: Darul Makrifah,
2005),
h. 211.
[5] Subhi
al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, (Cet. 17; Beirut: Dar al-Ilmu
al -Malayin,
1988), h.110.
[6]
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, (Cet. 1; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
h. 230-231.
[7] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Cet. I;
Beirut: Darul Fikr, 2006), h. 168.
[8] Mustafa
Dib al-Bugha, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi (Cet. I; Damaskus: Darul Mustafa, 2009), h. 79.
[10]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 168.
[11]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 168.
[12] Mustafa Dib al-Bugha, Buhuts
fi Ulumil Hadis wa Nususihi, h. 79.
[13] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar
Studi Hadis, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, (Cet.
1; Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 119.
[14] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 168.
[15] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd
fi ‘Ulumil Hadis, (Cet. 28; Damaskus: Darul Fikr, 2007), h. 78.
[16] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd
fi ‘Ulumil Hadis, h. 79.
[18]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 172-173.
[19]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 164.
[20]Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 164.
[21]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 165-167.
[22]M. Syuhudi
Ismail, Metodolodi Penelitian
Hadits Nabi. (Cet.I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
73.
[23]M. Syuhudi
Ismail, Metodolodi Penelitian
Hadits Nabi, h. 74.
[24]Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’idu
al-Tahdis min Fununi Mustalahi al-Hadis, (Cet. 4; Beirut: Dar an-Nafais,
2006), h. 196.
[25]
Abu Amru Usman bin
Abdurrahman al-Syahrazuri, ‘Ulumul Hadis li Ibni al-Sholah, (Cet. 13; Damaskus: Darul Fikr, 2008) h.
109-110.
[27]M. Syuhudi
Ismail, Metodolodi Penelitian
Hadits Nabi, h. 76.
[28]Ahmad
AL-Utsman Al-Tahanawiy, Qawaid fi ‘Ulum al-Hadis, (Cet. 5; Riyadh: t.
Tp., 1984), h. 414.
[30] Abdul Adzim ibn Abdil Qawiyyi al-Mundzir Abu Muhammad, Risalah
fi Al-Jarh wa Al-Ta’dil, (Cet. 1; Kuwait: Maktabah Dar Al-Aqsha, 1406 H), h.
28.
[35]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 165-167.
[36]
Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 179-180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar