AKAN SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERBUAT

Safaruddinufe1121@gmail.com

TRANSLATE



JapaneseGermanEnglishFrenchSpainChinese SimplifiedArabicRussian

Translate

visitor

Jumat, 22 November 2013

RIJALUL HADITS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setelah Rasulullah saw wafat, sandaran pasti kaum muslimin untuk menjelaskan al-Qur’an atau menjawab setiap kasus yang muncul di kalangan masyarakat muslim berpindah kepada hadis yang diwariskan beliau kepada para sahabatnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Seiring perjalanan waktu, umat Islam semakin merasakan diri mereka tergantung kepada hadis Rasulullah. Ia menjadi dalil yang tidak terbantahkan. Hal ini dijadikan semacam peluang di antara pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjadikan hadis sebagai justifikasi atas segala perbuatannya agar diterima oleh masyarakat Islam saat itu. Mereka tidak canggung untuk membuat hadis palsu yang sama sekali tidak pernah diucapkan atau dilakukan oleh Rasulullah saw. Hanya karena pertentangan politik dan teologi. Hadis-hadis semacam itu hingga kini masih sering ditemukan di kalangan umat Islam. Oleh karena itu para ulama menggunakan sejarah sebagai senjata melawan para pendusta hadis nabi.[1]
Bersandar pada hal tersebut maka penelitian tentang rijal al-hadis yang merupakan salah satu sarana untuk memilah hadis-hadis yang benar-benar sampai pada Rasul SAW. dengan hadis-hadis buatan orang yang tidak bertanggung jawab menjadi keharusan. Sebab untuk menentukan kualitas sebuah hadis para ulama tidak hanya meneliti matan hadis itu saja, tapi juga meneliti setiap yang berhubungan dengan hadis tersebut seperti periwayat-periwayatnya, kehidupannya, tempat tinggalnya, perjalanannya mengumpulkan hadis, guru-gurunya.[2]

B.  Rumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis akan mengemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jar Wa Al-Ta’dil?
2.      Bagaimana teknik penetapan Rijal al-Hadis?
3.      Bagaimana kaedah dan maratib al-Jarh wa Al-Ta’dil?
4.      Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
5.      Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan rujukan?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
1.    Ilmu Rijal al-Hadis
Secara bahasa ilmu Rijal al-Hadis berasal dari dua kata yaitu kata “rijal” artinya orang laki, kaum pria,[3] dan kata hadis artinya Apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan.[4]  
Sedangkan secara istilah para ulama memberi pengertian yang berbeda-beda:
Subhi al-Shalih memberikan pengertian Rijal al-Hadis sebagai berikut:

علم يعرف به روّاة الحد يث من حيث انّهم رواة للحد يث
Artinya:
Ilmu yang mempelajari para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.[5]
TM Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan bahwa rijal al-hadis adalah:
علم يبحث فيه عن أحوال الرواة وسيرهم من الصحابة والتابعين وأتباع أتباعهم
Artinya:
Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’t-tabi’in.[6]
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Rijal al-Hadis merupakan ilmu yang mempelajari tentang keadaan-keadaan para rawi, perjalanan hidup mereka baik dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in dalam kapasitasnya sebagai periwayat hadis.

2.    Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Tajrih atau jarah dalam pengertian bahasa, “melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan sebagainya,” luka yang disebabkan kena pisau dan sebagainya dinamakan juruh. Juruh juga diartikan dengan makian dan penistaan, baik di muka ataupun di belakang.[7]
Menurut pengertian istilah adalah menyebutkan sesuatu yang mengakibatkan tercecatlah si perawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayat).[8] Sedang menurut Mustafa Dib al-Bugha; al-jarh secara terminologi berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Tajrih artinya menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.[9]
Ta’dil menurut bahasa adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.[10]
Al-‘adl secara terminologi berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[11] Atau mensifati si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.[12] Yang lain memberi pengertian bahwa adil adalah terhindar dari kefasikan dan keburukan prilaku. Bukti dari keadilan adalah tidak pernah berbuat dosa besar dan tidak mengerjakan dosa yang kecil terus-menerus.[13]
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayatnya.[14] Ilmu ini mempunyai bagian terpenting dalam mempelajari ilmu hadis, karena dengannya kita bisa membedakan antara yang sahih dari yang da’if dan yang maqbul dan Mardud.
Oleh karenanya, ada dua sifat yang harus dimiliki oleh seorang periwayat sehingga riwayatnya bisa diterima, yaitu adil dan teliti.[15] Sedangkan ada empat kriteria yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa dikatakan sebagai seorang adil menurut ilmu hadis:[16]
1.    Beragama Islam.
2.    Mukallaf.
3.    Melaksanakan ketentuan agama.
4.    Memelihara muru’ah.

B.     Teknik Menetapkan Rijal al-Hadis
Teknik atau metode menetapkan rijal al-hadis menurut sebagian ulama melalui dua cara:
1.    Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang adil atau orang yang memiliki aib.
2.    Berdasarkan pujian atau pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya.[17]
Adapun sebagian yang lain memiliki metode lain dalam menjelaskan hal-ihwal para perawi, yang terpenting adalah:[18]
1.    Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif maupun negatif perawi.
2.    Kecermatan dalam meneliti dan menilai.
3.    Mematuhi etika al-jarh.
4.    Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentarjih.

Para ulama hadis dalam melakukan penelitian Rijal al-hadis menggunakan metode yang beragam. Namun secara umum cabang ilmu ini terbagi menjadi dua bagian penting,[19] yaitu:

a.    Ilmu Tarikh al-Ruwat
Ilmu Tarikh al-Ruwat ini mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran perawi, wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya ke negeri-negeri berbeda-beda, masa belajarnya sebelum atau sesudah mengalami perubahan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan persoalan-persoalan hadis.[20]
Hasil karya tulis dari para ulama hadis dari bidang ilmu ini sangat banyak, yang menghimpun koleksi-koleksi besar tentang biografi dan informasi lengkap tentang para rijal al-hadis.
Untuk menulis kitab Tarikh al-Ruwat, ulama hadis menggunakan beberapa metode yang berbeda sebagai berikut:[21]
1.    Mengelompokkan perawi berdasarkan Thabaqat-nya. Maka dari metode ini dijelaskan keadaan perawi yang hidup pada satu masa lalu perawi yang hidup pada masa setelahnya. Contohnya: at-Thabaqat al-Kubra karya Muhammad bin Sa’ad (168-230 H)
2.    Menyusun periwayat berdasarkan tahun. Pada metode ini dijelaskan tahun kelahiran dan wafatnya periwayat lalu kehidupannya.
3.    Menyusun periwayat secara alfabetis.Metode ini paling mudah digunakan oleh para peneliti dalam mencari periwayat. Contohnya: at-Tarikhul al-Kabir karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
4.    Menyusun periwayat berdasarkan kota. Metode ini menyusun para periwayat yang ada pada kota tersebut dan para periwayat yang pernah masuk ke kota tersebut. Contohnya: Tarikh Nisabur karya Muhammad al-Hakim al-Nisabur, Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir.
5.    Menyusun berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kunya, Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar ikhwah dan akhwat (saudara laki-laki dan saudara perempuan).

b.    Ilmu Al-jarh wa al-Ta’dil
Ilmu Al-jarh wa al-Ta’dil memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya (‘adalah) maupun dari segi kapasitas intelektualnya (dhabith).

C.    Kaidah dan Maratib al-Jarh wa Ta’dil
Kaedah-kaedah jarh dan ta’dil menurut TM. Ash Shiddieqy adalah sebagai berikut:
1.    Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdun Kharijiyun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
2.    Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdun Dakhiliyun atau kritik dari dalam hadis.


Beberapa teori atau kaidah al-jarh wa al-ta’dil menurut ulama lain:

1. التعديل مقدّم على الجرح                                                                                    
Artinya:
at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.[22]

Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian.  Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.  Pendukung teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303 H/915 M).

2. الجرح مقدّم على التّعديل                                                                                    
Artinya:
al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.[23]
Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan. Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimilikioleh periwayat yang bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh.

3. اذا تعارض الجارح والعدّل فالحكم للمعدّل الا اذا ثبت الجرح المفسّر
Artinya:
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.[24]

Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis.[25]

4. اذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جرحه للثّقة

Artinya:
Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima.[26]

Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak tsiqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tsiqah, maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak. Alasannya, orang yang bersifat tsiqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak tsiqah.

5. لايقبل الجرح الا بعد التّثّبت خشية الاشباه فى المجروحين
Artinya:
Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.[27]

Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasanya, suatu kritikan harus jelas sasarannya dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.

6. الجرح الناشئ عن عداوة دنيويّة لا يعتدّ به
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.[28]

Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak. Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Adapun maratib al-jarh wa al-ta’dil, para ulama berbeda pendapat tentang  jumlah peringkat yang berlaku untuk al-jarh wa al-ta’dil, sebagian ulama membagi menjadi empat peringkat; yang lain membagi menjadi lima peringkat, dan yang lain lagi membagi menjadi enam peringkat.
Menurut Mustafa Dib al-Bugha, perbedaan jumlah peringkat bagi para periwayat hadis mengenai al-jarh wa at-ta’dil, sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) karena terdapat perbedaan pandangan dalam penetapan bobot kualitas terhadap periwayatan tertentu; (2) karena terdapat perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang sama; (3) karena dari kalangan ulama ada yang tidak konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.[29]

Tingkatan al-jarh wa al-ta’dil menurut Abi Hatim:[30]
a.         Tingkatan al-ta’dil
1.      Jika dikatakan kepada seorang rijal al-hadis ungkapan:    ثقة أو متقن ثبت  maka hadisnya dapat dijadikan hujjah.
2.      Jika dikatakan kepada seorang rijal al-hadis dengan memakai ungkapan: صدوق أو محله الصدق أو لا بأس به maka hadisnya dapat ditulis dan dijadikan rujukan.
3.      Jika dikatakan kepada serorang rijal al-hadis dengan memakai ungkapan: شيخ maka hadisnya dapat dijadikan rujukan cuma ia lebih rendah satu tingkatan dari tingkat kedua.
4.      Jika dikatakan kepada serorang rijal al-hadis dengan memakai ungkapan: صالح الحديث maka hadisnya dapat ditulis namun diragukan.



b.        Tingkatan al-jarh.
1.      Dengan ungkapan: لين الحديث , boleh ditulis hadisnya tapi diragukan untuk dijadikan rujukan.
2.      Dengan ungkapan: ليس بقوي, kata ini sebenarnya menunjukkan bolehnya ditulis hadisnya tapi masih dibawah tingkatan pertama.
3.      Dengan ungkapan: ضعيف الحديث, tidak sampai ditolak hadisnya tapi diragukan.
4.      Dengan ungkapan: متروك الحديث أو ذاهب الحديث أو كذاب, maka hadisnya tidak dianggap dan sama sekali tidak boleh ditulis.

Sedangkan tingkatan al-jarh wa al-ta’dil menurut Musthofa Dib al-Bugha:[31]
a.         Tingkatan al-ta’dil.
1.      Seluruh kata yang bermakna hiperbola yang dilekatkan kepada periwayat yang berkaitan dengan sifat al-ta’dil , contoh: أوثق الناس، و أضبط الناس، و ليس له نظير .         
2.      Dengan ungkapan: فلان لا يسأل عنه، فلان لا يسأل عن مثله  dan lain sebagainya.
3.      Dengan ungkapan yang menguatkan kekuatan hapalannya dan keterpercayaannya dalam periwayatannya, contoh: ثقة ثقة، ثقة مأمون، ثقة حافظ.
4.      Dengan menyifatinya seorang yang terpercaya dan sebagainya, contoh: ثقة، حافظ،  dan sebagainya.
5.      Jika dikatakan kepada seorang rijal al-hadis bahwa ia seorang terpercaya, jujur namun agak lemah ketelitiannya, contoh dengan memakai ungkapan: صدوق أو مأمون.
6.       Dengan memakai ungkapan yang hampir mendekati al-tajrih, contoh: صدوق إن شاء الله.
     
b.        Tingkatan al-jarh.
1.      Seluruh kata yang bermakna hiperbola yang dilekatkan kepada periwayat yang berkaitan dengan sifat al-jarh , contoh: أﻛﻧ ب الناس.
2.      Dengan menggunakan ungkapan yang menyatakan al-jarh  contoh: ﻛﻧﺍب
3.      Dengan menggunakan ungkapan yang menunjukan dicurigai berbohong atau pemalsu hadis, contoh:   اتهامه باﻠﻛﻧ ب، اتهامه بالوضع
4.      Dengan menggunakan ungkapan yang menunjukkan bahwa ia sangat lemah, contoh: رد حديثه، ضعيف جدا
5.      Dengan menggunakan yang menunjukkan kelemahan perawi, contoh: ضعيف .
6.      Dengan menggunakan ungkapan yang menyatakan kelemahan perawi namun lebih dekat kepada al-ta’dil, contoh:القوي، فيه ضعف   ليس ﺑﻧﺍﻚ

F.  Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahul), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (tawasut).[32]
Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. An-Nasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di al-Madini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai kesigatan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian  yang mereka hasilkan.[33]
Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian hadis yang dinilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi perbedaan dalam mengeritik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jaarih wal-mu’addil;
1.   Berilmu pengetahuan.
2.   Bertaqwa
3.   Wara’
4.   Jujur
6.   Tidak fanatik terhadap sebagai perawi
7.   Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh dan ta’dil.[34]

G. Kitab-kitab Rujukan
Adapun kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.    Kitab-kitab tarikh Al-Ruwat.[35]
1.        Ath-Thabaqat al-Kubra karya Muhammad ibn Sa’d.
2.        Ath-Thabaqat ar-Ruwat karya Khalifah ibn Khayyath al-‘Ushfuriy.
3.        Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabiy.
4.        At-Tarikh al-Kabir karya Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari.
5.        Tahdzib at-Tahdzib karya al-Hafidz ibn Hajar al-‘Asqalaniy.
6.        Tarikh Naisabur karya Imam Muhammad ibn Abdillah al-Hikam al-Nisaburi.
7.        Tarikh Bagdad karya Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Bagdadiy.
8.        Tarikh Dimasyqi karya al-Hafidz al-Mu’arrikh Ali ibn al-Hasan.
9.        Al-Asamiy wa al-Kuna karya Ali ibn Abdillah al-Madaniy.
10.    Al-Kuna wa al-Asamiy karya Abu Bisyr Muhammad ibn Ahmad ad-Daulabiy.
11.    Al-Ikmal fi Raf’ al-Irtiyab ‘An al-Mu’talif wa al-Mukhtalif min al-Asma wa al-Kuna wa al-Ansab karya ibn Ma’kula al-Bagdadiy.
12.    Al-Musytabih fi Asma’ ar-Rijal karya al-Hafidz Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman adz-Dzahabiy.
13.    Nuzhah al-Albab fi al-Alqab karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalaniy.
14.    Al-Ansab karya Taj al-Islam Abdul Karim ibn Muhammad as-Sam’aniy.
15.    Al-Lubb karya Ali ibn Muhammad asy-Syaibaniy al-Jazariy.

b.      Kitab-kitab AL-jarh wa AL-Ta’dil[36]
1.        Ma’rifat al-Rijal karya Yahya ibn Ma’in.
2.        Adh-Dhu’afa’ karya Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari.
3.        Adh-Dhu’afa’ wa al-Matruk karya Imam Ahmad ibn Syu’aib Ali an-Nasa’iy.
4.        Al-Jarh wa al-Ta’dil karya Abdurrahman ibn Abu Hatim ar-Raziy.
5.        At-Tsiqat karya Abu Hatim ibn Hibban al-Bustiy.
6.        Al-Kamil fi Ma’rifat Dhu’afa’ al-Muhadditsin wa ‘Ilal al-Hadits karya al-Hafidz Abdullah ibn Muhammad al-Jurjaniy.
7.        Mizan al-I’tidal karya Imam Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad adz-Dzahabiy.
8.        Lisan al-Mizan karya al-Hafidz Syihabuddin Ahmad ibn Ali (ibn Hajar) al-‘Asqalaniy



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.      Ilmu rijal al-hadis adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka baik dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in dalam kapasitasnya sebagai periwayat hadis. Sedangkan ilmu al-jarh wa al- ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan periwayat-periwayat hadis dari segi baik buruknya yang menyebabkan riwayatnya dapat diterima atau ditolak.
2.      Ada dua teknik penetapan rijal al-hadis yaitu, berdasarkan kepopulerannya di kalangan ahli ilmu dan berdasarkan ta’dil atau tajrih dari orang yang tsiqah.
3.      Penelitian terhadap rijal al hadis melingkupi tarikh al-ruwat dan al-jarh wa al-ta’dil mereka.
4.      Kaedah al-jarh wa ta’dil terdiri dari naqdun kharijiyun dan naqdun dakhiliyun.
5.      Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Diantara mereka ada yang kurang dari hafalan, dan ada pula yang sering lupa dan salah. Karena itu, para ulama ahli kritik menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil beserta lafal-lafalnya untuk menentukan hadis yang dapat dijadikan hujjah.
6.      Sikap kritikus hadis dalam menilai rijal al hadis berbeda-beda, ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahul), dan ada yang “moderat” (tawasut).
7.      Kitab-kitab rujukan rijal al-hadis sebagai dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj Khatib lebih dari empat puluh macam dan seluruh kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal untuk meneliti para periwayat hadis dari berbagai aspeknya.



DAFTAR  PUSTAKA

Abu Muhammad, Abdul Adzim ibn Abdil qawiyyi AL-Mundzir, Risalah fi Al-Jarh wa Al-Ta’dil, Cet. 1; Kuwait: Maktabah Dar Al-Aqsha, 1406 H.
Al-Bugha, Mustafa Dib, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi Cet. I;  Damaskus: Darul Mustafa, 2009.
Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalalul Hadis. Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974.
Ismail, M. Syuhudi, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulumil Hadis, Cet. 28; Damaskus: Darul Fikr, 2007.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthidahuhu. Beirut: Darul Fikr, 2006.
Muhammad az-Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah, Cet.2; Damaskus: Darul Makrifah, 2005.
Munawwir, Ahmad Warson, al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar Studi Hadis, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Cet. 1; Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa’idu al-Tahdis min Fununi Mustalahi al-Hadis, Cet. 4; Beirut: Dar an-Nafais, 2006.
Al-Shahih, Subhi Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh. Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin, t.t.
Al-Shiddieqy, TM. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.IV; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.
Al-Syahrazuri, Abdu al-Rahman, Ulumul Hadis li Ibni al-Sholah. Cet. 13; Damaskus: Darul Fikr, 2008.
Al-Tahanawaiy, Ahmad al-Utsman, Qawaid fi ‘Ulum al-Hadis, Cet. 5; Riyadh: t. Tp., 1984.






[1] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Cet. I;  Beirut: Darul Fikr, 2006), h. 164.

[2] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu(Cet. I;  Beirut: Darul Fikr, 2006), h. 164.
[3] Ahmad Warson Munawwir, al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 479.
[4] Muhammad az-Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah, (Cet.2; Damaskus: Darul Makrifah, 2005), h. 211.
[5] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, (Cet. 17; Beirut: Dar al-Ilmu al -Malayin, 1988), h.110.
[6] TM Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Cet. 1; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 230-231.
[7] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Cet. I;  Beirut: Darul Fikr, 2006), h. 168.
[8] Mustafa Dib al-Bugha, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi (Cet. I;  Damaskus: Darul Mustafa, 2009), h. 79.
[9] Mustafa Dib al-Bugha, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi, h. 79.
[10] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 168.
[11] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 168.
[12] Mustafa Dib al-Bugha, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi, h. 79.
[13] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, (Cet. 1; Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 119.
[14] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 168.
[15] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulumil Hadis, (Cet. 28; Damaskus: Darul Fikr, 2007), h. 78.
[16] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulumil Hadis, h. 79.

[17] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 173-174.
[18] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 172-173.
[19] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 164.
[20]Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 164.
[21] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 165-167.
[22]M. Syuhudi Ismail,  Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 73.
[23]M. Syuhudi Ismail,  Metodolodi Penelitian Hadits Nabi, h. 74.
[24]Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’idu al-Tahdis min Fununi Mustalahi al-Hadis, (Cet. 4; Beirut: Dar an-Nafais, 2006), h. 196.
[25] Abu Amru Usman bin Abdurrahman al-Syahrazuri, ‘Ulumul Hadis li Ibni al-Sholah,  (Cet. 13; Damaskus: Darul Fikr, 2008) h. 109-110.
[26]M. Syuhudi Ismail,  Metodolodi Penelitian Hadits Nabi, h. 76.
[27]M. Syuhudi Ismail,  Metodolodi Penelitian Hadits Nabi, h. 76.
[28]Ahmad AL-Utsman Al-Tahanawiy, Qawaid fi ‘Ulum al-Hadis, (Cet. 5; Riyadh: t. Tp., 1984), h. 414.
[29] Mustafa Dib al-Bugha, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi, h. 92.
[30] Abdul Adzim ibn Abdil Qawiyyi al-Mundzir Abu Muhammad, Risalah fi Al-Jarh wa Al-Ta’dil, (Cet. 1; Kuwait: Maktabah Dar Al-Aqsha, 1406 H), h. 28.
[31] Mustafa Dib al-Bugha, Buhuts fi Ulumil Hadis wa Nususihi, h. 92-95.
[32]M. Syuhudi Ismail, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi, h.71.
[33]M. Syuhudi Ismail, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. h.75
[34]Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalalul Hadis. (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), h. 311.
[35] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 165-167.

[36] Muhammad ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 179-180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar