AKAN SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERBUAT

Safaruddinufe1121@gmail.com

TRANSLATE



JapaneseGermanEnglishFrenchSpainChinese SimplifiedArabicRussian

Translate

visitor

Kamis, 20 Februari 2014

KISAH DALAM AL-QUR'AN



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Kandungan al-Qur’an disamping berisi ajaran-ajaran yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Pencipta, hubungannya dengan sesama manusia, bahkan terhadap makhluk-makhluk lain ciptaan Allah, yang berwujud akidah, ibadah dan akhlak, juga berisi kisah-kisah yang dapat dijadikan peringatan dan i’tiba>r  bagi manusia.[1]
Kisah-kisah yang terjadi pada masa lalu melalui al-Qur’an sampai kepada kita terkadang dalam bentuk ams\a>l yang menarik perhatian, seperti kisah para nabi dan rasul, orang-orang saleh, juga pendurhaka-pendurhaka. Demikian juga terdapat gambaran peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang di dunia ini serta pemandangan dan panorama hari kiamat. Gambaran yang kontras antara kenikmatan dan penderitaan, kepemurahan dengan keserakahan, sehingga seakan- akan menyatakan alur pikiran dengan kenyataan dan menyentuh rasa indrawi yang paling dalam. Pesona bahasa itu kembali mengisi pemikiran dengan daya imajinasi yang kritis, kreatif dan dinamis.[2]
1
Ayat-ayat tentang kisah, jika dikaji secara mendalam, bukan saja akan mengungkapkan rahasia pesona bahasa yang memiliki daya tarik yang begitu kuat, tetapi juga dapat mengungkapkan banyak hal, berupa nilai-nilai yang  berharga yang terkandung dalam kisah tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berfungsi sebagai petunjuk, peringatan, rahmat, penawar penderitaan serta i’tiba>r  keteladanan dan pada akhirnya menambah kayakinan akan kebenaran al-Qur’an dan risalah Muhammad saw.
Sekalipun kisah-kisah al-Qur’an begitu penting artinya dalam rangka pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran agama, namun pemahaman umat Islam terhadap kisah-kisah al-Qur’an sangat terbatas. Memahami suatu kisah, utamanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memerlukan penjelasan-penjelasan melalui kajian-kajian dari mereka yang memiliki kemampuan untuk itu. Dari sekian banyak kisah yang terdapat dalam al- Qur’an kisah nabi-nabilah yang paling banyak. Misalnya, kisah Nabi Yusuf sebagai kisah yang paling panjang dan paling sempurna dibanding dengan kisah- kisah yang lain.[3]
B.  Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Kisah al-Qur’an?
2. Macam-macam kisah al-Qur’an?
3. Bagaimana Unsur-unsur kisah al-Qur’an?
4. Apa Tujuan Kisah al-Qur’an?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kisah al-Qur’an
Kata “kisah” adalah bentuk masdar dari kata kerja dasar q, s}, s}, yang berarti ceritera, atau riwayat. Orang Arab kuno menggunakan kata قصة (qis}s}}ah) untuk nama-nama, seperti الخبر (al-khabar) السير (al-siyar) dan الخرافة  (al-khira>fah). Dalam perkembangannya orang Arab menggunakan kata ini dalam banyak arti. Salah satu diantaranya ialah nama bagi salah satu cabang seni sastra. Kisah yang paling pertama terkodifikasi di kalangan orang Arab adalah kisah kisah yang dikemukaan olah al-Qur’an terhadap umat-umat terdahulu.[4] Kisah dalam arti leksikal dapat bermakna الحديث (cerita) yaitu salah satu bagian dari kesusastraan dan juga dapat berarti melacak jejak.[5]
Dalam uraian diatas, tampak bahwa kata "qis}s}}ah" mempunyai dua makna leksikal yaitu الحديث (cerita) dan تتبع الاثر (melacak jejak). Kedua pengertian bahasa ini tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, mengingat bahwa "qis}s}}ah" berarti cerita, karena kisah bercerita atas seseorang atau peristiwa. Apakah orang itu memang pernah ada atau tidak. Apakah peristiwa itu memang pernah terjadi atau tidak.[6]
3
Demikian juga pengertian melacak jejak, karena yang diceritakan oleh seorang pencerita dalam suatu kisah, pada umumnya merupakan suatu gambaran kejadian yang pernah terjadi di masa lampau. Karya ini merupakan suatu penelusuran atau pelacakan akan orang-orang atau tokoh-tokoh serta peristiwa- peristiwa atau kejadian-kejadian masa lampau, khususnya cerita atau kisah yang bercorak kesejarahan.
Pengertian bahasa maupun pengertian istilah seperti disebutkan di atas adalah pengertian qis}s}}ah sebagai karya sastra ciptaan sastrawan. Pengertian- pengertian tersebut dikemukakan sebagai acuan perbandingan untuk melihat lebih lanjut bagaimana pengertian dan wawasan kisah al-Qur’an.
Untuk menetapkan pengertian kisah menurut al-Qur’an, maka terlebih dahulu kita harus melihat penggunaan kata qissah yang terdapat dalan al-Qur’an. Sesuai dengan informasi al-Mu’jam al-Mufahras li al-fa>z} al-Qur’a>n, digunakan kata qis}s}}ah pada 30 tempat atau ayat.[7] Hampir semua term qissah dalam ayat-ayat tersebut mengacu pada pengertian cerita atau kisah.
Menurut Manna al-Qat}t}an, yang dimaksud qis}s}}ah al-Qur’an adalah berita atau sejarah tentang keadaan umat-umat terdahulu dan nabi-nabi yang telah lalu dan merupakan peristiwa yang benar-banar telah terjadi.[8]
Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi kumpulan firman Allah adalah bersifat mutlak datang dari Tuhan. Dengan demikian, apa yang terdapat di dalamnya termasuk yang berbentuk kisah merupakan kebenaran yang mutlak, meski hal ini berbau keyakinan.
B.            Macam-Macam Kisah al-Qur’an
Dalam al-Qur’an dijumpai berbagai macam kisah. Jika diteliti dari 6236 ayat, terdapat sekitar 1600 ayat yang berisi kisah atau cerita. Jumlah 1600 ayat tersebut hanyalah ayat-ayat yang berisi kisah sejarah, seperti kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah serta umat-umat terdahulu. Apabila dimasukan juga kisah-kisah tams\i>liyah atau perumpamaan atau ust}u>rah (legenda) tentu akan lebih banyak lagi jumlahnya.[9] Yang paling banyak jumlahnya di antara kisah tersebut adalah kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Dari segi pengungkapannya, maka kisah-kisah dalam al-Qur’an dapat dibedakan atas :
1)        Kadang-kadang Allah menyebut suatu kisah berulang-ulang dalan uslub yang berbeda tanpa memberi kesan yang membosankan. Bentuk yang seperti ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan kandungan dan pengajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang kadang-kadang tidak dapat menerima jika hanya satu kali diajak. Karena itu kadang- kadang dijumpai dalam al-Qur’an kisah seorang nabi yang disebut dalam banyak surah.[10]
2)        Kadang-kadang pula Allah menyebut suatu kisah dalam satu surah tertentu, seperti kisah Nabi Yusuf yang hanya disebut dalam Surah Yusuf (12) yang artinya :
“Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan Sesungguhnya kami pasti menjaganya.”[11]

Disamping itu, masih ada lagi bentuk-bentuk lain pengungkapan kisah dalam al-Qur’an, khususnya jika diperhatikan urutan-urutan permasalahan yang dikemukakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayid Qut}ub.[12]

1)        Pengungkapan kisah dimulai dengan menyampaikan terlebih dahulu intisari atau ringkasan kisah. Setelah itu, diuraikan perincian dari awal sampai akhir. Cara yang seperti ini dapat dilihat dalam kisah As}ha>b al-Kahfi.
2)        Pengungkapan kisah dimulai dari akhir cerita dan pelajaran yang dapat diambil. Kemudian kisah itu kembali diulang dari awal hingga akhirnya secara rinci sesuai dengan urutan peristiwanya. Cara seperti ini dijumpai dalam kisah Nabi Musa dengan Fir’aun dalam surah al-Qas}as} (28).
3)        Kadang-kadang pula suatu kisah diuraikan secara langsung tanpa didahului oleh pendahuluan dan kesimpulan. Metode seperti ini dapat dilihat dalam kisah Maryam di saat kelahiran Nabi Isa al-Masih.
4)        Suatu kisah diungkapkan seperti drama. Dengan cara ini, al-Qur’an memulai suatu kisah dengan beberapa kata. Setelah itu, kisah tersebut berbicara sendiri melalui tokoh-tokohnya. Contoh ini dapat dilihat dalam kisah Nabi Ibrahim dengan Ismail ketika membangun Ka’bah.
Ditinjau dari segi isi dan kandungannya, kisah yang terdapat dalam al- Qur’an dibedakan atas :
1)      Kisah para nabi dan rasul. Kisah seperti ini berisi gambaran seruan para nabi dan rasul kepada kaumnya terhadap kebenaran. Dalam kisah kadang-kadang juga dikemukakan mukjizat yang diberikan kepada para nabi, sebagai pembuktian kenabian dan kerasulan mereka serta untuk melumpuhkan kesombongan mereka yang menentang. Dalam kisah juga diungkapkan pengembaraan para nabi untuk menyebarkan dakwah mereka. Dalam kisah juga digambarkan keberuntungan bagi mereka yang memperkenankan seruan serta kebinasaan bagi mereka yang menentang.[13]
2)      Kisah yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa lampau, khususnya yang menerangkan keadaan orang-orang yang tidak mematuhi dan tidak mau menerima kepada apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Misalnya kisah orang-orang yang mengusir rasul atau nabi dari tanah air mereka.[14]
3)      Kisah yang ada sangkut pautnya dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.[15]

C.        Unsur-Unsur Kisah al-Qur’an
Kisah al-Qur’an, seperti juga kisah sastra murni atau cerita rekaan memiliki unsur-unsur yang merupakan pembangun cerita. Bahkan, unsur-unsur yang terdapat dalam cerita rekaan sama dengan unsur-unsur yang terdapat dalam kisah al-Qur’an, sekalipun keadaan masing-masing unsur kadang-kadang berbeda. Misalnya saja unsur tokoh cerita atau peristiwa dalan rekaan memang kadang- kadang ada tetapi juga kadang-kadang hanya merupakan rekaan pengarang. Hal tersebut berbeda dengan unsur-unsur kisah al-Qur’an. Khususnya yang bercorak sejarah. Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya memang benar-benar ada dan pernah terjadi.
Jika diteliti pendapat para ahli menyangkut unsur-unsur kisah al-Qur’an, maka pada umumnya ada tiga unsur yang terdapat dalam suatu kisah al-Qur’an, yaitu : (1) peristiwa, (2) tokoh dan (3) dialog.[16]
Pada umumnya, mereka tidak menjadikan tema dan amanat  (الاغراض ) sebagai satu unsur dalam kisah al-Qur’an. Hal tersebut memang wajar mengingat bahwa tema dan amanat (الاغراض) itu bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, seperti ketiga unsur yang disebut terdahulu, tetapi tema dan amanat merupakan unsur inti dalam suatu kisah. Tema dan amanat ini dapat terwujud dalam tokoh, peristiwa dan dialog.



1.       Peristiwa dan Alur
Dalam suatu cerita atau kisah, peristiwa merupakan unsur yang harus ada. Tanpa peristiwa, kisah tidak mungkin akan terbangun. Peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita tersusun dalam urutan-urutan tertentu. Urutan-urutan peristiwa tersebut disebut alur cerita. Alur inilah yang menjadi tulang punggung yang membangun cerita. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut alur dalam suatu kisah atau cerita merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan, termasuk dalam membicarakan kisah al-Qur’an.
Rene Welk menamakan alur (urutan-urutan peristiwa) dengan plot, yaitu struktur penceritaan.[17] Menurut Muchtar Lubis, plot (alur) adalah cara menulis atau menyusun cerita.[18] Edwin Moyer lebih lanjut mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa di dalam cerita, yang mempunyai hubungan satu dengan lainnya.[19]
Pada umumnya alur atau susunan peristiwa dalam suatu kisah atau cerita terdiri atas lima fase : (1)situation (pengarang mulai melukiskan sesuatu); (2) generation circumstance (peristiwa bersangkut paut mulai bergerak); (3) rising action (keadaan mulai memuncak); (4) climax (peristiwa mencapai klimaks); (5) devonment (pengarang memberikan pemecahan dari seluruh masalah).[20]
Demikian kisah al-Qur’an, memang ada kisah yang dimulai dari awal cerita dengan kelahiran tokoh cerita, kemudian cerita berjalan secara kronologis sesuai dengan urutan waktu. Misalnya kisah Nabi Adam a.s. yang dimulai sejak awal dia diciptakan oleh Allah. Kemudian, diciptakan untuknya hawa dan keduanya menetap di surga. Akhirnya, keduanya dikeluarkan dari surga dan dibawa ke bumi.
Namun, ada juga cerita atau kisah al-Qur’an yang tidak mengikuti urutan- urutan kejadian seperti tersebut diatas. Kadang-kadang misalnya suatu kisah dimulai ketika tokohnya telah beranjak dewasa. Bahkan, kadang-kadang ada kisah yang dimulai setelah tokoh kiah telah menjadi tua. Berdasarkan hal tersebut, maka alur atau susunan peristiwa dalam suatu cerita atau kisah termasuk kisah dalam al- Qur’an tidaklah selalu sama, bahkan bermacam-macam. Suatu cerita yang mengikuti kronologis tidaklah berarti semua peristiwa dikemukakan secara lengkap dan menyeluruh. Akan tetapi peristiwa-peristiwa hanya dipilih dengan memperhatikan kepentingan dalam pembangun suatu cerita.
Dalam al-Qur’an banyak juga kisah yang dijumpai tidak berjalan sesuai dengan urutan kronologis waktu. Misalnya saja kisah Nabi Luth yang langsung dimulai ketika menyeru kaumnya untuk kembali kepada ajaran yang benar dan meninggalkan perbuatan a-moral yang mereka lakukan. Demikian juga kisah Nabi Saleh dan Nabi Ya’qub.
Pada prinsipnya, peristiwa dalam kisah al-Qur’an merupakan sesuatu yang lebih dipentingkan dari pada tokoh dalam cerita. Oleh karena itu, al-Qur’an mengemukakan peristiwa yang dapat menjaga dan memelihara pemikiran pokok dan menciptakan suatu iklim yang cocok dengan jiwa, seperti keutamaan, kekhawatiran, atau ketakutan dan kebencian.
Hal tersebut di atas dapat tercapai melalui penggambaran peristiwa sebagai berikut :
1)      Peristiwa disifati dengan suatu penggambaran yang sangat akurat seperti penyifatan Nabi Nuh terhadap pembangkangan umatnya, sebagaimana terlihat pada Surah Nuh (71) : 7.
“Dan Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukan anak jari mereka kedalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat”.[21]
2)      Peristiwa diungkapkan dengan suatu makna yang sesuai dengan perasaan, rangsangan keadaan jiwa, sebagaimana terlihat dalam al-Qur’an melalui lidah Maryam pada Surah Maryam (19) : 18 dan 23.
Maryam berkata : “Sesungguhnya Aku berlindung dari padamu kepadaTuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa.[22]

Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata : “Aduhai, alangkah baiknya Aku mati sebelum ini, dan Aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.[23]
3)      Menerangkan pertentangan dengan jelas, seperti antara kebaikan dan kenyataan, kebenaran dengan kebatilan, sebagaimana terlihat pada pertentangan antara Nabi Musa a.s. dengan tukang sihir. Juga dalam bentuk pertentangan seperti yang terjadi pada diri Ibrahim dalam mencari dan menentukan Tuhan.[24]

2.  Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam suatu kisah atau cerita adalah individu yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Dengan demikian, suatu cerita berkisah tentang seorang tokoh atau beberapa tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dalam kisah sastra maupun kisah al-Qur’an.
Tokoh dalam suatu cerita pada umumnya adalah manusia, apakah itu seseorang atau beberapa orang. Namun, kadang-kadang juga yang menjadi tokoh bukan hanya manusia. Adakalanya, tokoh dalam suatu cerita adalah binatang atau benda lain yang dimanusiakan.
Dalam kisah sastra maupun al-Qur’an, manusialah yang merupakan tokoh dominan. Dalam kisah al-Qur’an, tokoh cerita kadang-kadang manusia, kadang ruh atau makhluk halus, kadang binatang, bahkan kadang setan dan iblis.
Jika diamati, tokoh yang terdapat dalam suatu cerita, apakah itu cerita sastra murni atau kisah al-Qur’an, sesuai dengan fungsinya, dibedakan atas : (1) tokoh sentral dan (2) tokoh bawahan.[25]Tokoh sentral juga disebut tokoh inti atau tokoh utama. Tokoh sentral adalah tokoh yang memegang peranan penting dalam cerita dan selalu menjadi pusat sorotan.
Dari segi peran yang dibawakan, maka tokoh utama dapat dibedakan atas protagonis dan antagonis. Protagonis adalah tokoh utama dalam suatu cerita yang selalu memerankan sifat-sifat yang terpuji. Sedangkan Antagonis adalah tokoh utama dalam suatu cerita yang selalu memerankan sifat tercela.[26]
Adapun yang dimaksud dengan tokoh bawahan, yaitu tokoh yang kedudukannya tidak sentral. Namun, kehadirannya dalam cerita juga sangat diperlukan untuk merangsang dan mendukung  tokoh utama.

3.  Latar    
   Suatu cerita tidak hanya memadai dengan tokoh dan masalah tetapi juga memerlukan ruang yang terdiri atas waktu dan tempat. Waktu dan tempat ini disebut latar atau setting. Dalam Bahasa Arab latar disebut dengan al-zama>n wa al-maka>n (الزمان و المكان). Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abram, 1981 : 175).
Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Karena memberikan pijakan pada cerita, maka dalam suatu cerita pada awalnya biasanya diperkenalkan kepada pembaca lukisan latar.
Latar pada garis besarnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu : Latar tempat, Latar waktu dan Latar sosial.[27]
Latar tempat menunjukan lokasi terjadinya suatu cerita. Tempat bisa saja dilukiskan dengan nama jelas, bisa juga dengan nama tertentu, bisa juga dengan nama inisial. Latar waktu, sesuai dengan namanya, berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan. Dengan latar waktu ini, pembaca dapat mengikuti cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya. Latar sosial adalah sesuatu yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat dimana cerita itu diceritakan.
4. Gaya Bahasa dan Dialog
Gaya bahasa adalah alat bagi sastrawan untuk mengungkapkan perasaannya dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa sehingga menjadi indah, baik dan jelas agar dapat mempengaruhi jiwa dan perasaan pembaca atau pendengar.
Jika diamati gaya bahasa yang digunakan dalam kisah-kisah al-Qur’an, tentu akan tetap diyakini bahwa kata-kata atau kalimat yang digunakan serta alat gaya yang digunakan merupakan firman Allah. Jika semuanya itu dianalisis, rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya tetap tidak dapat diungkap dengan tuntas.
Namun, teori-teori sastra menyangkut gaya hidup dan uslub dapat digunakan untuk membuktikan betapa kuatnya gaya bahasa atau uslub yang digunakan al-Qur’an. Dan tentunya hal tersebut diharapkan lebih menambah kokohnya keyakinan terhadap kebenaran isi al-Qur’an.
Kekuatan uslub al-Qur’an dapat dibuktikan dengan banyaknya orang masuk Islam, hanya karena mendengar al-Qur’an dibaca.[28] Salah satu di antaranya adalah uslub atau gaya bahasa, khususnya uslub dan gaya bahasa yang digunakan dalam dialog.
Dialog dalam bahasa Arab disebut al-h}iwa>r (الحوار), yaitu cakapan yang terjadi antara dua tokoh atau lebih,[29] adalah salah satu unsur yang terdapat dalam satu kisah pada umumnya, dan khususnya kisah al-Qur’an. Namun, tidaklah pada setiap kisah al-Qur’an mesti terdapat dialog. Hal tersebut disebabkan bahwa diantara kisah-kisah al-Qur’an ada kisah yang hanya berisi gambaran pelaku atau peristiwa semata-mata.
Seperti dalam cerita sastra biasa, dialog dan monolog kisah al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam menggambarkan watak tokoh, menghidupkan peristiwa dan menyampaikan kepada tujuan dan tema cerita. Hal ini juga dapat menjadikan peristiwa dan pertentangan dalam cerita seolah-olah benar-benar terjadi di hadapan pembaca.
Adapun kisah al-Qur’an yang banyak berisi dialog adalah kisah-kisah yang mempunyai banyak tokoh. Seperti kisah Nabi Musa dengan semut dalam surah Thaha (20), kisah Nabi Adam dalam surah al-A’raf (7), kisah Nabi Hud dalam surah al-Syuara’, kisah Nabi Ibrahim dalam surah Maryam (19). Demikian juga dalam kisah-kisah yang bertujuan untuk mengkokohkan dan menjelaskan dasar-dasar dan asas-asas dakwah Islamiyah.
Al-Qur’an dalam menggambarkan dialog menggunakan jalan (طريقة) tertentu yaitu jalan yang berdasar atas riwayat atau percakapan langsung, dengan mengemukakan kata-kata pelaku dengan ungkapan aslinya.[30]
Sementara itu, yang menjadi objek dialog dalam kisah al-Qur’an adalah topik-topik keagamaan. Yaitu topik-topik yang terjadi antara nabi-nabi dan kaumnya yang berwujud pertentangan yang sengit. Dengan kata lain, semua gaya bahasa dialog dalam kisah-kisah al-Qur’an tunduk pada gaya bahasa al-Qur’an.[31]
5.  Tema dan Amanat
Gagasan atau ide yang menjadi pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra termasuk suatu cerita atau kisah disebut tema.[32] Menurut Scharbach, tema berasal dari bahasa latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat.[33] Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya yang dihasilkan.
Di samping tema, amanat juga merupakan hal yang selalu terkandung dalam suatu karya sastra, termasuk kisah atau cerita. Dimaksudkan dengan amanat adalah pelajaran moral yang diajukan oleh pengarang yang kemudian dicarikan jalan keluarnya seperti tema, maka amanat dalam suatu karya sastra dapat ditemukan secara implisit maupun secara eksplisit. Dengan demikian, amanat adalah pelajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat dapat pula merupakan pilihan pribadi pengarang, selera pembaca atau konvesi zaman.[34]
Jika cerita sastra ciptaan manusia diciptakan dengan ide, gagasan dan amanat yang akan dikembangkan, maka demikian juga halnya dengan kisah-kisah al-Qur’an. Kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Qur’an memiliki gagasan, ide atau amanat yang mulia, sesuai dengan kamuliaan al-Qur’an itu. Karena al-Qur’an adalah kitab agama, maka ide-ide dalam kisah yang terdapat di dalamnya adalah ide-ide, gagasan-gagasan yang bersifat dan bercorak keagamaan.
Dalam karya sastra bisa, tema yang banyak dijumpai adalah pertentangan antara yang hak dan yang batil, antara yang baik dengan yang buruk, antara kejujuran dan kebohongan dan keadilan melawan kezaliman. Demikian juga halnya dengan kisah-kisah al-Qur’an. Tema seperti tersebut di atas banyak dijumpai. Karena al-Qur’an adalah kitab dakwah agama, maka tema-tema dan amanat yang terdapat di dalam kisah-kisahnya merupakan salah satu sarana pencapaian tujuan dakwah dalam mengkokohkan ajaran Islam.
Dengan demikian, tema-tema dan amanat kisah al-Qur’an teramu sedemikian rupa sesuai dengan tujuan-tujuan keagamaan dalam bentuk renungan, nasehat,tabsyir dan tanzir. Tujuannya mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya, sehingga dapat berbuat sesuai dengan tema dan amanat yang terdapat di dalamnya.

D. Tujuan Kisah al-Qur’an
Tujuan-tujuan kisah al-Qur’an diantaranya adalah sebagai berikut :
1)      Mengokohkan kewahyuan al-Qur’an dan risalah Muhammad saw.  Muhammad adalah seorang nabi yang tidak tahu menulis dan membaca. Kedatangannya dalam kisah al-Qur’an menjadi bukti atas kewahyuan al-Qur’an. Hal tersebut kadang-kadang dinashkan sendiri oleh al-Qur’an pada awal atau akhir kisah. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa permulaan beberapa kisah, seperti kisah Yusuf pada Surah Yusuf (12), kisah Nabi Musa pada Surah al-Qashash (23).
2)      Sebagai keterangan bahwa sesungguhnya semua agama berasal dari Allah. Mulai dari masa Nabi Nuh sampai Muhammad, agama yang menjadi anutan mereka semuanya berasal dari Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman dari masa Nuh sampai masa sekarang ini merupakan satu umat yang menyembah hanya satu tuhan yaitu Allah. Hal ini dapat kita lihat pada Surah al-Anbiya (21) : 48, 49, 50, 51, 52 dan ayat-ayat yang lain.
3)      Sebagai keterangan bahwa semua agama mempunyai kesatuan asas atau dasar. Hal tersebut banyak digambarkan melalui kesamaan akidah para rasul Allah, yaitu konsep keimanan kepada Allah. Hal ini dapat dilihat pada Surah al- A’raf (7) : 59, 65, 73 dan 85 dan ayat-ayat yang lain.
4)      Menjelaskan bahwa sesungguhnya jalan atau cara para nabi melaksanakan dakwahnya adalah satu atau sama. Hal ini dapat dilihat pada Surah Hud (11) : 25, 26, 27, 20 dan 290 dan ayat-ayat yang lain.
5)      Menjelaskan bahwa hubungan antara agama Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim lebih dekat dan lebih khusus jika dibandingkan dengan agama- agama yang dibawa oleh nabi-nabi yang lain. Hal ini dapat disaksikan secara berulang-ulang pada kisah Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa.
6)      Menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah pada akhirnya akan memberi kemenangan kepada para nabi-Nya dalam melawan penentang-penentangnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan hati Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Sebagai contoh, hal itu terlihat pada Surah al-Ankabut (29) : 14- 24 dan beberapa ayat yang lain.
7)      Sebagai pembenar akan hal-hal yang mengembirakan dan menakutkan. Hal ini dibuktikan dengan mengemukakan kenyataan sebagai contoh, sebagaimana terlihat pada Surah al-Hijr : 49 dan ayat-ayat yang lain.
8)      Untuk menjelaskan nikmat Allah kepada para nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Hal ini dapat dilihat pada kisah Sulaiman, Kisah Daud, Kisah Ayyub, Kisah Ibrahim, Kisah Yunus dan Kisah Musa.
9)      Untuk memberi peringatan kepada anak cucu Adam akan bahaya pengaruh setan sebagai musuh yang kekal bagi mereka.[35]







BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan :
1.    Kandungan al-Qur’an disamping berisi ajaran-ajaran yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan pencipta, hubungannya dengan sesama manusia.
2.    Dalam al-Qur’an dijumpai berbagai macam kisah. Jika diteliti dari 6236 ayat, terdapat sekitar 1600 ayat yang berisi kisah atau cerita. Jumlah 1600 ayat tersebut hanyalah ayat-ayat yang berisi kisah sejarah, seperti kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah seta umat-umat terdahulu
3.    Jika diteliti pendapat para ahli menyangkut unsur-unsur kisah al-Qur’an, maka pada umumnya ada tiga unsur yang terdapat dalam suatu kisah al-Qur’an, yaitu : (1) peristiwa, (2) tokoh dan (3) dialog
4.    Tujuan-tujuan kisah al-Qur’an diantaranya adalah sebagai berikut :
a)      Mengokohkan kewahyuan al-Qur’an dan risalah Muhammad saw.
b)      Sebagai keterangan bahwa sesungguhnya semua agama berasal dari Allah.
c)      Sebagai keterangan bahwa semua agama mempunyai kesatuan asas atau dasar
d)     Menjelaskan bahwa sesungguhnya jalan atau cara para nabi melaksanakan dakwahnya adalah satu atau sama.



17
 
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, Bandung: CV. Sinar Baru, 1967.
al-Ba>qi> Fu’ad Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fa>z} al- Qur’an al-Kari>m, Kairo: Dar wa Ma abi’ al-Sya’b, 1938.
al-Misri Mahmud, Qas}as} al Qura>n, Kairo: Maktabah al-Taqwa>, 2001 M/1422H
an-Nahlawi Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung : CV. Diponegoro, 1989.
Departemen Agma RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra, 1989.
Lubis Muctar, Teknik Mengarang, Cet. IV; Jakarta : Balai Pustaka, 1960.
Nurgiantoro Burhan, Teori Pengkajian Sastra , Cet. IV; Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2002.
Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.
Mustafa Ahmad al-Mara>gi>, Tafsir al-Mara>gy\i>, Juz 12, Kairo: Syarikat Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa at Ba>b al-Halaby, 1963.
Moyer Edwin, Bina>’ al-Riwa>yah t.t. : al-Da>r al-Mas}ni> li al-Tali>f  wa al-Tarjamah, t.th.
Oemarjati Boen S, Roman Atheis Achdiat Kartamiharja, Jakarta: Gunung Agung, t. th.
Ridwn Fath, al-Islam wa al-Maۤzahib al-Hadisah, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th
Sayid Qut}ub, al-Tas}wir al-Fanni> fi> al Qur’an, Libanon: Dar al-Syuruq, 1992.
Syafiq Muhammud Girbal, al-Mausu’at al-‘Arbiyyat al-Muyassarah, Cet. I;
Franklin: Da>r al-Qalam wa Mu’assasah, 1965.
Sudjiman Panuti, Kamus Istilah Sastra , Jakarta: Pustaka Raya, 1996. 



[1]Lihat Mahmud al-Mis}ri>, Qas}as} al Qur’an, (Kairo: Maktabat al-Taqwa>, 2001 M/1422 [1] H), h. 4.

[2]Lihat Sayid Qut}ub, al-Tashwi>r al-Fanny fi al Qur’an, (Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1992), h. 241.


[3]Lihat Ahmad Mustafa al-Mara>gi>, Tafsi>r al-Mara>gi>, Juz 12, (Kairo: Syarikat Maktabah wa Mat}ba’ah Mushtafa at Ba>b al-Halaby, 1963), h. 111.


[4]Lihat Muhammad Syafiq Girbal, al-Mausu> at al-Arbiyyat al-Muyassarah (Cet. I; Franklin: Da>r al-Qalam wa Mu’assasah, 1965), h. 1383.

[5]Lihat Fath Ridwan, al-Isla>m wa al-Maz\a>hib al-Hadis\ah, (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), h. 100.

[6]Lihat Muhammad Ahmad Khalf Allah ,op.ci t ., h. 11

[7]Untuk lebih jelasnya lihat Fu’ad Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fa>z} al- Qur’an al-Kari>m (Kairo###: Dar wa Ma abi’ al-Sya’b, 1938) h. 546.

[8]Lihat Manna’ al-Qat}t}a>n, maba>his\ fi> ulu>m al-Qur’an, (Riyad: Da>r al-Su’udiyyah, 1378), h.151.

[9]Lihat Hanafi, op. cit., h. 22.
                 
[10]Sebagai contoh kisah Nabi Musa a.s. yang menurut Sayid Qut}ub disebut pada 30 tempat dalam al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada : Sayid Qut{ub, op. cit., h. 156-161.

[11]Al-Qur’an dan terjemahannya, op. cit., h. 347

[12]Sayid Qut}ub, al-Ta’wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’an, op. cit., h. 180-183.


[13]Sebagai contoh dapat kita lihat dalam kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Zakariya,
Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Harun, Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw.

[14]Sebagai contoh dapat kita lihat pada kisah Asha>b al-Kahfi, Ahha>b al-Sabt, Talut-Jalut, Qarun, Kaum ‘A<d, Kaum S|amud, Keluarga Imran, Kisah Musa, Bani Israil dan lain-lain.

[15]Sebagai contoh, Kisah Hijrah, Kisah Isra’ dan Mi’raj, Kisah Perang Badar dan Uhud, Kisah Perang Hunain dan Thabuk, Kisah Perang Ahzab dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya Lihat Manna

[16]Untuk lebih jelasnya lihat Muhammad Ahmad Khalf Allah, al-Fan al-Qis}a>s}i> fi> al- Qur’an, op. cit., h. 261-305. Lihat juga al-Taha>mi> Naqrah, Sikologiyah al- Qis}a>s}i> fi> al-Qur’an, Disertasi Doktor (Aljazair: Jamiah al-Jaza>’ir, 1971), h. 349-410.
0020

[17]Lihat Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Kartamiharja (Jakarta : Gunung Agung, t. th.), h. 94

[18]Muchtar Lubis, Teknik Mengarang (Cet. IV; Jakarta : Balai Pustaka, 1960), h. 16.  

[19]Edwin Moyer, Bina> al-Riwa>yah (t.t. : al-Da>r al-Mas}ni> li al-Tali>f wa al-Tarjamah, t.th.), h. 110.

[20]Muchtar Lubis, loc. Cit.

[21]Departemen Agma RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), h. 978.

[22]Alquran dan Terjemahannya,op.cit ., h. 464.
 
[23]Ibid., h. 465.
[24]Al-Taha>mi> Nuqrah, op,cit., h. 350.

[25]Lihat Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra (Jakarta : Pustaka Raya, 1996), h. 17. Lihat juga  Aminuddin,., Pengantar Apresiasi Sastra (Bandung : CV. Sinar Baru, 1967) h. 7.

[26]Lihat Panuti Sudjiman, op. cit., h. 19.




[27]Tempat dengan nama tertentu yang jelas wilayahnya, seperti nama desa, nama kota, nama daerah atau negara tertentu. Suatu nama inisial biasanya hanya berupa huruf wal kapital seperti M, S dan T. Untuk lebih jelasnya lihat Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Sastra (Cet. IV; Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2002), h. 224-235.

[28]Dalam kitab Ta>ri>kh al-Khulafa>’, h. 103 yang ditulis oleh al-Sayu>t}i dikemukakan beberapa riwayat yang mengatakan bahwa masuk Islamnya Umar r.a., karena ia mendengar ayat- ayat al-Qur’an yang dibaca.

[29]Abd al-Rahma>n al-Nahla>wi>, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung : CV. Diponegoro, 1989), h. 284-285.
[30]Muhammad Ahmad Khalf Allah, op. cit., h. 303.

[31]Lihat Hanafi., op. cit., h. 65.
 
[32]Panuti Sujiman, op. cit., h. 50.
 
[33]Aminuddin Aziz, op. cit., h. 208.

[34]Lihat Panuti Sujiaman, op. cit., h. 50-70

[35]Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Sayid Qut}ub, al-Taswi>r al-Fanni> fi> al- Qur’an, op. cit., h. 144-155.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar