BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kandungan al-Qur’an disamping berisi
ajaran-ajaran yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan Pencipta, hubungannya dengan sesama manusia, bahkan terhadap
makhluk-makhluk lain ciptaan Allah, yang berwujud akidah, ibadah dan akhlak, juga
berisi kisah-kisah yang dapat dijadikan peringatan dan i’tiba>r bagi manusia.[1]
Kisah-kisah yang terjadi pada masa lalu
melalui al-Qur’an sampai kepada kita terkadang dalam bentuk ams\a>l yang
menarik perhatian, seperti kisah para nabi dan rasul, orang-orang saleh, juga
pendurhaka-pendurhaka. Demikian juga terdapat gambaran peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi di masa datang di dunia ini serta pemandangan dan panorama hari
kiamat. Gambaran yang kontras antara kenikmatan dan penderitaan, kepemurahan
dengan keserakahan, sehingga seakan- akan menyatakan alur pikiran dengan
kenyataan dan menyentuh rasa indrawi yang paling dalam. Pesona bahasa itu
kembali mengisi pemikiran dengan daya imajinasi yang kritis, kreatif dan
dinamis.[2]
1
|
Sekalipun kisah-kisah al-Qur’an begitu
penting artinya dalam rangka pemahaman, penghayatan dan pengamalan
ajaran-ajaran agama, namun pemahaman umat Islam terhadap kisah-kisah al-Qur’an
sangat terbatas. Memahami suatu kisah, utamanya nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya memerlukan penjelasan-penjelasan melalui kajian-kajian dari mereka
yang memiliki kemampuan untuk itu. Dari sekian banyak kisah yang terdapat dalam
al- Qur’an kisah nabi-nabilah yang paling banyak. Misalnya, kisah Nabi Yusuf
sebagai kisah yang paling panjang dan paling sempurna dibanding dengan kisah-
kisah yang lain.[3]
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan,
maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Kisah al-Qur’an?
2. Macam-macam kisah al-Qur’an?
3. Bagaimana Unsur-unsur kisah al-Qur’an?
4. Apa Tujuan Kisah al-Qur’an?
3. Bagaimana Unsur-unsur kisah al-Qur’an?
4. Apa Tujuan Kisah al-Qur’an?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kisah al-Qur’an
Kata “kisah” adalah bentuk masdar dari
kata kerja dasar q, s}, s}, yang berarti ceritera, atau riwayat.
Orang Arab kuno menggunakan kata قصة
(qis}s}}ah)
untuk nama-nama, seperti الخبر (al-khabar) السير (al-siyar)
dan الخرافة
(al-khira>fah).
Dalam perkembangannya orang Arab menggunakan kata ini dalam banyak arti. Salah
satu diantaranya ialah nama bagi salah satu cabang seni sastra. Kisah yang
paling pertama terkodifikasi di kalangan orang Arab adalah kisah kisah yang
dikemukaan olah al-Qur’an terhadap umat-umat terdahulu.[4] Kisah
dalam arti leksikal dapat bermakna الحديث
(cerita) yaitu salah satu bagian dari kesusastraan dan juga dapat berarti melacak
jejak.[5]
Dalam uraian diatas, tampak bahwa kata "qis}s}}ah" mempunyai dua makna leksikal yaitu الحديث (cerita)
dan تتبع الاثر (melacak
jejak). Kedua pengertian bahasa ini tidak bertentangan, bahkan bersesuaian,
mengingat bahwa "qis}s}}ah" berarti
cerita, karena kisah bercerita atas seseorang atau peristiwa. Apakah orang itu
memang pernah ada atau tidak. Apakah peristiwa itu memang pernah terjadi atau
tidak.[6]
3
|
Pengertian bahasa maupun pengertian
istilah seperti disebutkan di atas adalah pengertian qis}s}}ah sebagai
karya sastra ciptaan sastrawan. Pengertian- pengertian tersebut dikemukakan
sebagai acuan perbandingan untuk melihat lebih lanjut bagaimana pengertian dan
wawasan kisah al-Qur’an.
Untuk menetapkan pengertian kisah
menurut al-Qur’an, maka terlebih dahulu kita harus melihat penggunaan kata
qissah yang terdapat dalan al-Qur’an. Sesuai dengan informasi al-Mu’jam al-Mufahras
li al-fa>z} al-Qur’a>n, digunakan kata qis}s}}ah pada 30
tempat atau ayat.[7]
Hampir semua term qissah dalam ayat-ayat tersebut mengacu pada pengertian
cerita atau kisah.
Menurut Manna al-Qat}t}an, yang dimaksud qis}s}}ah al-Qur’an adalah
berita atau sejarah tentang keadaan umat-umat terdahulu dan nabi-nabi yang
telah lalu dan merupakan peristiwa yang benar-banar telah terjadi.[8]
Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi
kumpulan firman Allah adalah bersifat mutlak datang dari Tuhan. Dengan
demikian, apa yang terdapat di dalamnya termasuk yang berbentuk kisah merupakan
kebenaran yang mutlak, meski hal ini berbau keyakinan.
B.
Macam-Macam
Kisah al-Qur’an
Dalam al-Qur’an dijumpai berbagai macam
kisah. Jika diteliti dari 6236 ayat, terdapat sekitar 1600 ayat yang berisi
kisah atau cerita. Jumlah 1600 ayat tersebut hanyalah ayat-ayat yang berisi
kisah sejarah, seperti kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah serta
umat-umat terdahulu. Apabila dimasukan juga kisah-kisah tams\i>liyah atau perumpamaan atau ust}u>rah (legenda) tentu akan
lebih banyak lagi jumlahnya.[9] Yang
paling banyak jumlahnya di antara
kisah tersebut adalah kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Dari segi
pengungkapannya, maka kisah-kisah dalam al-Qur’an dapat dibedakan atas :
1)
Kadang-kadang Allah menyebut suatu
kisah berulang-ulang dalan uslub yang berbeda tanpa memberi kesan yang
membosankan. Bentuk yang seperti ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan
kandungan dan pengajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Hal ini sesuai
dengan fitrah manusia yang kadang-kadang tidak dapat menerima jika hanya satu
kali diajak. Karena itu kadang- kadang dijumpai dalam al-Qur’an kisah seorang
nabi yang disebut dalam banyak surah.[10]
2)
Kadang-kadang pula Allah menyebut suatu
kisah dalam satu surah tertentu, seperti kisah Nabi Yusuf yang hanya disebut
dalam Surah Yusuf (12) yang artinya :
“Biarkanlah
dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan
(dapat) bermain-main, dan Sesungguhnya kami pasti menjaganya.”[11]
Disamping itu, masih ada lagi
bentuk-bentuk lain pengungkapan kisah dalam al-Qur’an, khususnya jika
diperhatikan urutan-urutan permasalahan yang dikemukakan, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sayid Qut}ub.[12]
1)
Pengungkapan kisah dimulai dengan
menyampaikan terlebih dahulu intisari atau ringkasan kisah. Setelah itu,
diuraikan perincian dari awal sampai akhir. Cara yang seperti ini dapat dilihat
dalam kisah As}ha>b al-Kahfi.
2)
Pengungkapan kisah dimulai dari akhir cerita
dan pelajaran yang dapat diambil. Kemudian kisah itu kembali diulang dari awal
hingga akhirnya secara rinci sesuai dengan urutan peristiwanya. Cara seperti
ini dijumpai dalam kisah Nabi Musa dengan Fir’aun dalam surah al-Qas}as}
(28).
3)
Kadang-kadang pula suatu kisah
diuraikan secara langsung tanpa didahului oleh pendahuluan dan kesimpulan.
Metode seperti ini dapat dilihat dalam kisah Maryam di saat kelahiran Nabi Isa al-Masih.
4)
Suatu kisah diungkapkan seperti drama.
Dengan cara ini, al-Qur’an memulai suatu kisah dengan beberapa kata. Setelah
itu, kisah tersebut berbicara sendiri melalui tokoh-tokohnya. Contoh ini dapat
dilihat dalam kisah Nabi Ibrahim dengan Ismail ketika membangun Ka’bah.
Ditinjau dari segi isi dan
kandungannya, kisah yang terdapat dalam al- Qur’an dibedakan atas :
1)
Kisah para nabi dan rasul. Kisah
seperti ini berisi gambaran seruan para nabi dan rasul kepada kaumnya terhadap
kebenaran. Dalam kisah kadang-kadang juga dikemukakan mukjizat yang diberikan
kepada para nabi, sebagai pembuktian kenabian dan kerasulan mereka serta untuk
melumpuhkan kesombongan mereka yang menentang. Dalam kisah juga diungkapkan
pengembaraan para nabi untuk menyebarkan dakwah mereka. Dalam kisah juga
digambarkan keberuntungan bagi mereka yang memperkenankan seruan serta
kebinasaan bagi mereka yang menentang.[13]
2)
Kisah yang berhubungan dengan
kejadian-kejadian masa lampau, khususnya yang menerangkan keadaan orang-orang
yang tidak mematuhi dan tidak mau menerima kepada apa yang dibawa oleh para
nabi dan rasul. Misalnya kisah orang-orang yang mengusir rasul atau nabi dari
tanah air mereka.[14]
3)
Kisah yang ada sangkut pautnya dengan
kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.[15]
C. Unsur-Unsur
Kisah al-Qur’an
Kisah al-Qur’an, seperti juga kisah
sastra murni atau cerita rekaan memiliki unsur-unsur yang merupakan pembangun
cerita. Bahkan, unsur-unsur yang terdapat dalam cerita rekaan sama dengan
unsur-unsur yang terdapat dalam kisah al-Qur’an, sekalipun keadaan masing-masing
unsur kadang-kadang berbeda. Misalnya saja unsur tokoh cerita atau peristiwa
dalan rekaan memang kadang- kadang ada tetapi juga kadang-kadang hanya
merupakan rekaan pengarang. Hal tersebut berbeda dengan unsur-unsur kisah
al-Qur’an. Khususnya yang bercorak sejarah. Unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya memang benar-benar ada dan pernah terjadi.
Jika diteliti pendapat para ahli
menyangkut unsur-unsur kisah al-Qur’an, maka pada umumnya ada tiga unsur yang
terdapat dalam suatu kisah al-Qur’an, yaitu : (1) peristiwa, (2) tokoh dan (3)
dialog.[16]
Pada umumnya, mereka tidak menjadikan tema
dan amanat (الاغراض ) sebagai
satu unsur dalam kisah al-Qur’an. Hal tersebut memang wajar mengingat bahwa
tema dan amanat (الاغراض) itu
bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, seperti
ketiga unsur yang disebut terdahulu, tetapi tema dan amanat merupakan unsur
inti dalam suatu kisah. Tema dan amanat ini dapat terwujud dalam tokoh,
peristiwa dan dialog.
1. Peristiwa dan Alur
Dalam suatu cerita atau kisah, peristiwa
merupakan unsur yang harus ada. Tanpa peristiwa, kisah tidak mungkin akan
terbangun. Peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita tersusun dalam urutan-urutan
tertentu. Urutan-urutan peristiwa tersebut disebut alur cerita. Alur inilah
yang menjadi tulang punggung yang membangun cerita. Oleh karena itu, pembahasan
menyangkut alur dalam suatu kisah atau cerita merupakan hal yang tidak dapat
ditinggalkan, termasuk dalam membicarakan kisah al-Qur’an.
Rene Welk menamakan alur (urutan-urutan
peristiwa) dengan plot, yaitu struktur penceritaan.[17]
Menurut Muchtar Lubis, plot (alur) adalah cara menulis atau menyusun cerita.[18]
Edwin Moyer lebih lanjut mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian
peristiwa-peristiwa di dalam cerita, yang mempunyai hubungan satu dengan lainnya.[19]
Pada umumnya alur atau susunan
peristiwa dalam suatu kisah atau cerita terdiri atas lima fase : (1)situation
(pengarang mulai melukiskan sesuatu); (2) generation circumstance (peristiwa
bersangkut paut mulai bergerak); (3) rising action (keadaan mulai memuncak);
(4) climax (peristiwa mencapai klimaks); (5) devonment (pengarang memberikan
pemecahan dari seluruh masalah).[20]
Demikian kisah al-Qur’an, memang ada
kisah yang dimulai dari awal cerita dengan kelahiran tokoh cerita, kemudian
cerita berjalan secara kronologis sesuai dengan urutan waktu. Misalnya kisah
Nabi Adam a.s. yang dimulai sejak awal dia diciptakan oleh Allah. Kemudian,
diciptakan untuknya hawa dan keduanya menetap di surga. Akhirnya, keduanya
dikeluarkan dari surga dan dibawa ke bumi.
Namun, ada juga cerita atau kisah
al-Qur’an yang tidak mengikuti urutan- urutan kejadian seperti tersebut diatas.
Kadang-kadang misalnya suatu kisah dimulai ketika tokohnya telah beranjak
dewasa. Bahkan, kadang-kadang ada kisah yang dimulai setelah tokoh kiah telah
menjadi tua. Berdasarkan hal tersebut, maka alur atau susunan peristiwa dalam
suatu cerita atau kisah termasuk kisah dalam al- Qur’an tidaklah selalu sama,
bahkan bermacam-macam. Suatu cerita yang mengikuti kronologis tidaklah berarti
semua peristiwa dikemukakan secara lengkap dan menyeluruh. Akan tetapi
peristiwa-peristiwa hanya dipilih dengan memperhatikan kepentingan dalam
pembangun suatu cerita.
Dalam al-Qur’an banyak juga kisah yang
dijumpai tidak berjalan sesuai dengan urutan kronologis waktu. Misalnya saja
kisah Nabi Luth yang langsung dimulai ketika menyeru kaumnya untuk kembali
kepada ajaran yang benar dan meninggalkan perbuatan a-moral yang mereka
lakukan. Demikian juga kisah Nabi Saleh dan Nabi Ya’qub.
Pada prinsipnya, peristiwa dalam kisah
al-Qur’an merupakan sesuatu yang lebih dipentingkan dari pada tokoh dalam
cerita. Oleh karena itu, al-Qur’an mengemukakan peristiwa yang dapat menjaga
dan memelihara pemikiran pokok dan menciptakan suatu iklim yang cocok dengan
jiwa, seperti keutamaan, kekhawatiran, atau ketakutan dan kebencian.
Hal tersebut di atas dapat tercapai
melalui penggambaran peristiwa sebagai berikut :
1)
Peristiwa disifati dengan suatu
penggambaran yang sangat akurat seperti penyifatan Nabi Nuh terhadap
pembangkangan umatnya, sebagaimana terlihat pada Surah Nuh (71) : 7.
“Dan
Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau
mengampuni mereka, mereka memasukan anak jari mereka kedalam telinganya dan
menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan
diri dengan sangat”.[21]
2)
Peristiwa diungkapkan dengan suatu
makna yang sesuai dengan perasaan, rangsangan keadaan jiwa, sebagaimana
terlihat dalam al-Qur’an melalui lidah Maryam pada Surah Maryam (19) : 18 dan
23.
Maryam
berkata : “Sesungguhnya Aku berlindung dari padamu kepadaTuhan yang Maha
pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa.[22]
Maka
rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon
kurma, dia berkata : “Aduhai, alangkah baiknya Aku mati sebelum ini, dan Aku
menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.[23]
3)
Menerangkan pertentangan dengan jelas,
seperti antara kebaikan dan kenyataan, kebenaran dengan kebatilan, sebagaimana
terlihat pada pertentangan antara Nabi Musa a.s. dengan tukang sihir. Juga dalam
bentuk pertentangan seperti yang terjadi pada diri Ibrahim dalam mencari dan
menentukan Tuhan.[24]
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam suatu kisah atau cerita
adalah individu yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai
peristiwa cerita. Dengan demikian, suatu cerita berkisah tentang seorang tokoh
atau beberapa tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dalam kisah sastra maupun kisah
al-Qur’an.
Tokoh dalam suatu cerita pada umumnya
adalah manusia, apakah itu seseorang atau beberapa orang. Namun, kadang-kadang
juga yang menjadi tokoh bukan hanya manusia. Adakalanya, tokoh dalam suatu
cerita adalah binatang atau benda lain yang dimanusiakan.
Dalam kisah sastra maupun al-Qur’an,
manusialah yang merupakan tokoh dominan. Dalam kisah al-Qur’an, tokoh cerita
kadang-kadang manusia, kadang ruh atau makhluk halus, kadang binatang, bahkan
kadang setan dan iblis.
Jika diamati, tokoh yang terdapat dalam
suatu cerita, apakah itu cerita sastra murni atau kisah al-Qur’an, sesuai
dengan fungsinya, dibedakan atas : (1) tokoh sentral dan (2) tokoh bawahan.[25]Tokoh
sentral juga disebut tokoh inti atau tokoh utama. Tokoh sentral adalah tokoh
yang memegang peranan penting dalam cerita dan selalu menjadi pusat sorotan.
Dari segi peran yang dibawakan, maka
tokoh utama dapat dibedakan atas protagonis dan antagonis. Protagonis
adalah tokoh utama dalam suatu cerita yang selalu memerankan sifat-sifat yang
terpuji. Sedangkan Antagonis
adalah tokoh utama dalam suatu cerita yang selalu memerankan sifat tercela.[26]
Adapun yang dimaksud dengan tokoh
bawahan, yaitu tokoh yang kedudukannya tidak sentral. Namun, kehadirannya dalam
cerita juga sangat diperlukan untuk merangsang dan mendukung tokoh utama.
3.
Latar
Suatu cerita tidak hanya memadai dengan tokoh dan masalah tetapi juga
memerlukan ruang yang terdiri atas waktu dan tempat. Waktu dan tempat ini
disebut latar atau setting. Dalam Bahasa Arab latar disebut dengan al-zama>n
wa al-maka>n (الزمان و المكان).
Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abram, 1981 : 175).
Latar memberikan pijakan cerita secara
kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada
pembaca. Karena memberikan pijakan pada cerita, maka dalam suatu cerita pada
awalnya biasanya diperkenalkan kepada pembaca lukisan latar.
Latar pada garis besarnya dibagi
menjadi tiga macam, yaitu : Latar tempat, Latar waktu dan Latar sosial.[27]
Latar tempat menunjukan lokasi
terjadinya suatu cerita. Tempat bisa saja dilukiskan dengan nama jelas, bisa
juga dengan nama tertentu, bisa juga dengan nama inisial. Latar waktu, sesuai
dengan namanya, berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan.
Dengan latar waktu ini, pembaca dapat mengikuti cerita berdasarkan acuan waktu
yang diketahuinya. Latar sosial adalah sesuatu yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat dimana cerita itu diceritakan.
4. Gaya Bahasa dan Dialog
Gaya bahasa adalah alat bagi sastrawan
untuk mengungkapkan perasaannya dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa
sehingga menjadi indah, baik dan jelas agar dapat mempengaruhi jiwa dan
perasaan pembaca atau pendengar.
Jika diamati gaya bahasa yang digunakan
dalam kisah-kisah al-Qur’an, tentu akan tetap diyakini bahwa kata-kata atau
kalimat yang digunakan serta alat gaya yang digunakan merupakan firman Allah.
Jika semuanya itu dianalisis, rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya tetap
tidak dapat diungkap dengan tuntas.
Namun, teori-teori sastra menyangkut
gaya hidup dan uslub dapat digunakan untuk membuktikan betapa kuatnya gaya
bahasa atau uslub yang digunakan al-Qur’an. Dan tentunya hal tersebut
diharapkan lebih menambah kokohnya keyakinan terhadap kebenaran isi al-Qur’an.
Kekuatan uslub al-Qur’an dapat
dibuktikan dengan banyaknya orang masuk Islam, hanya karena mendengar al-Qur’an
dibaca.[28]
Salah satu di antaranya adalah uslub atau gaya
bahasa, khususnya uslub dan gaya bahasa yang digunakan dalam dialog.
Dialog dalam bahasa Arab disebut al-h}iwa>r (الحوار),
yaitu cakapan yang terjadi antara dua tokoh atau lebih,[29]
adalah salah satu unsur yang terdapat dalam satu kisah pada umumnya, dan
khususnya kisah al-Qur’an. Namun, tidaklah pada setiap kisah al-Qur’an mesti
terdapat dialog. Hal tersebut disebabkan
bahwa diantara kisah-kisah al-Qur’an ada kisah yang hanya berisi gambaran
pelaku atau peristiwa semata-mata.
Seperti dalam cerita sastra biasa,
dialog dan monolog kisah al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam
menggambarkan watak tokoh, menghidupkan peristiwa dan menyampaikan kepada
tujuan dan tema cerita. Hal ini juga dapat menjadikan peristiwa dan
pertentangan dalam cerita seolah-olah benar-benar terjadi di hadapan pembaca.
Adapun kisah al-Qur’an yang banyak
berisi dialog adalah kisah-kisah yang mempunyai banyak tokoh. Seperti kisah
Nabi Musa dengan semut dalam surah Thaha (20), kisah Nabi Adam dalam surah
al-A’raf (7), kisah Nabi Hud dalam surah al-Syuara’, kisah Nabi Ibrahim dalam
surah Maryam (19). Demikian juga dalam kisah-kisah yang bertujuan untuk
mengkokohkan dan menjelaskan dasar-dasar dan asas-asas dakwah Islamiyah.
Al-Qur’an dalam menggambarkan dialog
menggunakan jalan (طريقة)
tertentu
yaitu jalan yang berdasar atas riwayat atau percakapan langsung, dengan
mengemukakan kata-kata pelaku dengan ungkapan aslinya.[30]
Sementara itu, yang menjadi objek dialog
dalam kisah al-Qur’an adalah topik-topik keagamaan. Yaitu topik-topik yang
terjadi antara nabi-nabi dan kaumnya yang berwujud pertentangan yang sengit.
Dengan kata lain, semua gaya bahasa dialog dalam kisah-kisah al-Qur’an tunduk
pada gaya bahasa al-Qur’an.[31]
5. Tema dan Amanat
Gagasan atau ide yang menjadi pikiran
utama yang mendasari suatu karya sastra termasuk suatu cerita atau kisah
disebut tema.[32]
Menurut Scharbach, tema berasal dari bahasa latin yang berarti tempat
meletakkan suatu perangkat.[33]
Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga
berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya yang
dihasilkan.
Di samping
tema, amanat juga merupakan hal yang selalu terkandung dalam suatu karya
sastra, termasuk kisah atau cerita. Dimaksudkan dengan amanat adalah pelajaran
moral yang diajukan oleh pengarang yang kemudian dicarikan jalan keluarnya
seperti tema, maka amanat dalam suatu karya sastra dapat ditemukan secara
implisit maupun secara eksplisit. Dengan demikian, amanat adalah pelajaran
moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat dapat pula
merupakan pilihan pribadi pengarang, selera pembaca atau konvesi zaman.[34]
Jika cerita sastra ciptaan manusia
diciptakan dengan ide, gagasan dan amanat yang akan dikembangkan, maka demikian
juga halnya dengan kisah-kisah al-Qur’an. Kisah-kisah yang terdapat di dalam
al-Qur’an memiliki gagasan, ide atau amanat yang mulia, sesuai dengan kamuliaan
al-Qur’an itu. Karena al-Qur’an adalah kitab agama, maka
ide-ide dalam kisah yang terdapat di dalamnya adalah ide-ide, gagasan-gagasan
yang bersifat dan bercorak keagamaan.
Dalam karya sastra bisa, tema yang
banyak dijumpai adalah pertentangan antara yang hak dan yang batil, antara yang
baik dengan yang buruk, antara kejujuran
dan kebohongan dan keadilan melawan kezaliman. Demikian juga halnya dengan
kisah-kisah al-Qur’an. Tema seperti tersebut di atas banyak dijumpai. Karena
al-Qur’an adalah kitab dakwah agama, maka tema-tema dan amanat yang terdapat di
dalam kisah-kisahnya merupakan salah satu sarana pencapaian tujuan dakwah dalam
mengkokohkan ajaran Islam.
Dengan demikian, tema-tema dan amanat
kisah al-Qur’an teramu sedemikian rupa sesuai dengan tujuan-tujuan keagamaan
dalam bentuk renungan, nasehat,tabsyir dan tanzir.
Tujuannya mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya, sehingga dapat berbuat
sesuai dengan tema dan amanat yang terdapat di dalamnya.
D. Tujuan Kisah al-Qur’an
Tujuan-tujuan kisah al-Qur’an
diantaranya adalah sebagai berikut :
1)
Mengokohkan kewahyuan al-Qur’an dan
risalah Muhammad saw. Muhammad adalah
seorang nabi yang tidak tahu menulis dan membaca. Kedatangannya dalam kisah
al-Qur’an menjadi bukti atas kewahyuan al-Qur’an. Hal tersebut kadang-kadang
dinashkan sendiri oleh al-Qur’an pada awal atau akhir kisah. Hal tersebut dapat
dilihat pada beberapa permulaan beberapa kisah, seperti kisah Yusuf pada Surah
Yusuf (12), kisah Nabi Musa pada Surah al-Qashash (23).
2)
Sebagai keterangan bahwa sesungguhnya
semua agama berasal dari Allah. Mulai dari masa Nabi Nuh sampai Muhammad, agama
yang menjadi anutan mereka semuanya berasal dari Allah. Oleh karena itu,
orang-orang yang beriman dari masa Nuh sampai masa sekarang ini merupakan satu
umat yang menyembah hanya satu tuhan yaitu Allah. Hal ini dapat kita lihat pada
Surah al-Anbiya (21) : 48, 49, 50, 51, 52 dan ayat-ayat yang lain.
3)
Sebagai keterangan bahwa semua agama
mempunyai kesatuan asas atau dasar. Hal tersebut banyak digambarkan melalui
kesamaan akidah para rasul Allah, yaitu konsep keimanan kepada Allah. Hal ini
dapat dilihat pada Surah al- A’raf (7) : 59, 65, 73 dan 85 dan ayat-ayat yang
lain.
4)
Menjelaskan bahwa sesungguhnya jalan
atau cara para nabi melaksanakan dakwahnya adalah satu atau sama. Hal ini dapat
dilihat pada Surah Hud (11) : 25, 26, 27, 20 dan 290 dan ayat-ayat yang lain.
5)
Menjelaskan bahwa hubungan antara agama
Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim lebih dekat dan lebih khusus jika
dibandingkan dengan agama- agama yang dibawa oleh nabi-nabi yang lain. Hal ini
dapat disaksikan secara berulang-ulang pada kisah Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan
Nabi Isa.
6)
Menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah
pada akhirnya akan memberi kemenangan kepada para nabi-Nya dalam melawan
penentang-penentangnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan hati Nabi Muhammad
dan pengikut-pengikutnya. Sebagai contoh, hal itu terlihat pada Surah
al-Ankabut (29) : 14- 24 dan beberapa ayat yang lain.
7)
Sebagai pembenar akan hal-hal yang
mengembirakan dan menakutkan. Hal ini dibuktikan dengan mengemukakan kenyataan
sebagai contoh, sebagaimana terlihat pada Surah al-Hijr : 49 dan ayat-ayat yang
lain.
8)
Untuk menjelaskan nikmat Allah kepada
para nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Hal ini dapat dilihat pada kisah
Sulaiman, Kisah Daud, Kisah Ayyub, Kisah Ibrahim, Kisah Yunus dan Kisah Musa.
9)
Untuk memberi peringatan kepada anak
cucu Adam akan bahaya pengaruh setan sebagai musuh yang kekal bagi mereka.[35]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan :
1.
Kandungan al-Qur’an disamping berisi
ajaran-ajaran yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan pencipta, hubungannya dengan sesama manusia.
2.
Dalam al-Qur’an dijumpai berbagai macam
kisah. Jika diteliti dari 6236 ayat, terdapat sekitar 1600 ayat yang berisi
kisah atau cerita. Jumlah 1600 ayat tersebut hanyalah ayat-ayat yang berisi
kisah sejarah, seperti kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah seta umat-umat
terdahulu
3.
Jika diteliti pendapat para ahli
menyangkut unsur-unsur kisah al-Qur’an, maka pada umumnya ada tiga unsur yang
terdapat dalam suatu kisah al-Qur’an, yaitu : (1) peristiwa, (2) tokoh dan (3)
dialog
4.
Tujuan-tujuan kisah al-Qur’an
diantaranya adalah sebagai berikut :
a)
Mengokohkan kewahyuan al-Qur’an dan
risalah Muhammad saw.
b)
Sebagai keterangan bahwa sesungguhnya
semua agama berasal dari Allah.
c)
Sebagai keterangan bahwa semua agama
mempunyai kesatuan asas atau dasar
d)
Menjelaskan bahwa sesungguhnya jalan
atau cara para nabi melaksanakan dakwahnya adalah satu atau sama.
17
|
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin,
Pengantar Apresiasi Sastra, Bandung:
CV. Sinar Baru, 1967.
al-Ba>qi> Fu’ad
Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fa>z} al- Qur’an al-Kari>m, Kairo:
Dar wa Ma abi’ al-Sya’b, 1938.
al-Misri
Mahmud, Qas}as} al Qura>n, Kairo: Maktabah al-Taqwa>, 2001 M/1422H
an-Nahlawi Abdurrahman, Prinsip-prinsip
dan Metode Pendidikan Islam, Bandung : CV. Diponegoro, 1989.
Departemen Agma RI,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang
: CV. Toha Putra, 1989.
Lubis
Muctar, Teknik Mengarang, Cet.
IV; Jakarta : Balai Pustaka, 1960.
Nurgiantoro Burhan, Teori Pengkajian
Sastra , Cet. IV; Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2002.
Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami
al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.
Mustafa Ahmad al-Mara>gi>,
Tafsir al-Mara>gy\i>,
Juz 12, Kairo: Syarikat Maktabah wa Mathba’ah
Mushtafa at Ba>b
al-Halaby, 1963.
Moyer Edwin, Bina>’ al-Riwa>yah t.t. : al-Da>r
al-Mas}ni>
li al-Ta’li>f
wa al-Tarjamah, t.th.
Oemarjati Boen S, Roman Atheis
Achdiat Kartamiharja, Jakarta: Gunung Agung, t. th.
Ridwn
Fath, al-Islam wa al-Maۤzahib al-Hadisah, Kairo: Dar
al-Ma’arif, t.th
Sayid
Qut}ub, al-Tas}wir al-Fanni> fi> al Qur’an, Libanon: Dar
al-Syuruq, 1992.
Syafiq Muhammud Girbal,
al-Mausu’at al-‘Arbiyyat
al-Muyassarah, Cet. I;
Franklin:
Da>r al-Qalam wa Mu’assasah, 1965.
Sudjiman
Panuti, Kamus Istilah Sastra , Jakarta:
Pustaka Raya, 1996.
[1]Lihat
Mahmud al-Mis}ri>, Qas}as} al Qur’an, (Kairo: Maktabat al-Taqwa>, 2001 M/1422 [1] H), h. 4.
[3]Lihat
Ahmad Mustafa al-Mara>gi>, Tafsi>r al-Mara>gi>, Juz 12,
(Kairo: Syarikat Maktabah wa Mat}ba’ah Mushtafa at Ba>b al-Halaby, 1963), h.
111.
[4]Lihat
Muhammad Syafiq Girbal, al-Mausu>
at al-Arbiyyat al-Muyassarah (Cet. I; Franklin: Da>r al-Qalam wa Mu’assasah,
1965), h. 1383.
[5]Lihat
Fath Ridwan, al-Isla>m wa al-Maz\a>hib al-Hadis\ah, (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), h.
100.
[6]Lihat
Muhammad Ahmad Khalf Allah ,op.ci t ., h. 11
[7]Untuk
lebih jelasnya lihat Fu’ad Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li
al-fa>z} al- Qur’an al-Kari>m (Kairo###: Dar wa Ma abi’ al-Sya’b,
1938) h. 546.
[8]Lihat
Manna’ al-Qat}t}a>n, maba>his\ fi> ulu>m al-Qur’an, (Riyad:
Da>r al-Su’udiyyah, 1378), h.151.
[9]Lihat
Hanafi, op. cit., h. 22.
[10]Sebagai
contoh kisah Nabi Musa a.s. yang menurut Sayid Qut}ub disebut pada 30 tempat
dalam al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada : Sayid Qut{ub, op.
cit., h. 156-161.
[11]Al-Qur’an
dan terjemahannya, op. cit., h. 347
[13]Sebagai
contoh dapat kita lihat dalam kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Zakariya,
Nabi Musa, Nabi
Sulaiman, Nabi Harun, Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw.
[14]Sebagai
contoh dapat kita lihat pada kisah Asha>b al-Kahfi, Ahha>b al-Sabt, Talut-Jalut,
Qarun, Kaum ‘A<d, Kaum S|amud, Keluarga Imran, Kisah Musa, Bani Israil dan
lain-lain.
[15]Sebagai
contoh, Kisah Hijrah, Kisah Isra’ dan Mi’raj, Kisah Perang Badar dan Uhud,
Kisah Perang Hunain dan Thabuk, Kisah Perang Ahzab dan lain-lain. Untuk lebih
jelasnya Lihat Manna
[16]Untuk
lebih jelasnya lihat Muhammad Ahmad Khalf Allah, al-Fan al-Qis}a>s}i>
fi> al- Qur’an, op. cit., h. 261-305. Lihat juga
al-Taha>mi> Naqrah, Sikologiyah al- Qis}a>s}i> fi> al-Qur’an,
Disertasi Doktor (Aljazair: Jamiah al-Jaza>’ir, 1971), h. 349-410.
0020
[17]Lihat
Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Kartamiharja (Jakarta : Gunung
Agung, t. th.), h. 94
[19]Edwin
Moyer, Bina> al-Riwa>yah
(t.t. : al-Da>r al-Mas}ni>
li al-Ta’li>f
wa al-Tarjamah, t.th.), h. 110.
[20]Muchtar
Lubis, loc. Cit.
[21]Departemen
Agma RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang : CV. Toha Putra, 1989),
h. 978.
[25]Lihat
Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra (Jakarta : Pustaka Raya, 1996), h.
17. Lihat juga Aminuddin,., Pengantar
Apresiasi Sastra (Bandung : CV. Sinar Baru, 1967) h. 7.
[27]Tempat
dengan nama tertentu yang jelas wilayahnya, seperti nama desa, nama kota, nama
daerah atau negara tertentu. Suatu nama inisial biasanya hanya berupa huruf wal
kapital seperti M, S dan T. Untuk lebih jelasnya lihat Burhan Nurgiantoro, Teori
Pengkajian Sastra (Cet. IV; Yogyakarta : Gajah Mada University Press,
2002), h. 224-235.
[28]Dalam
kitab Ta>ri>kh al-Khulafa>’, h. 103 yang ditulis oleh
al-Sayu>t}i dikemukakan beberapa riwayat yang mengatakan bahwa masuk
Islamnya Umar r.a., karena ia mendengar ayat- ayat al-Qur’an yang dibaca.
[29]Abd
al-Rahma>n al-Nahla>wi>, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan
Islam (Bandung : CV. Diponegoro, 1989), h. 284-285.
[30]Muhammad
Ahmad Khalf Allah, op. cit., h. 303.
[33]Aminuddin Aziz, op.
cit., h. 208.
[34]Lihat
Panuti Sujiaman, op. cit., h. 50-70
[35]Untuk
lebih lengkapnya dapat dilihat pada Sayid Qut}ub, al-Taswi>r al-Fanni> fi>
al- Qur’an, op. cit., h. 144-155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar