AKAN SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERBUAT

Safaruddinufe1121@gmail.com

TRANSLATE



JapaneseGermanEnglishFrenchSpainChinese SimplifiedArabicRussian

Translate

visitor

Jumat, 22 November 2013

SEJARAH PEMIKIRAN PADA MASA TABIIN

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Ajaran Islam yang sumbernya berupa al-Qur’an dan as-Sunnah diyakini pemeluknya dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman. Islam itu satu, tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu beragam. Misalnya, ada komunitas yang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang senang pemerintahan republik, bahkan ada juga yang ingin kembali menggunakan sistem kekhalifahan. Ada yang sangat terikat dengan teks al Qur’an dan al Hadis  dalam memahami hukum Islam, ada pula yang longgar melihat konteks nash tersebut.
Hukum Islam dari masa ke masa mulai zaman Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan masalah hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada beliau dan dalam menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Setelah beliau wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadis  sebagai dasar penyelesaian masalah hukum, juga berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat dalam masalah hukum juga menjadi salah satu sumber hukum dalam menjawab persoalan umat. Begitu juga masa tabi’it tabi’in ijma’ yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya menjadi pertimbangan dan dasar hukum dalam member solusi atas problem-problem baru yang muncul.
Pada bahasan kali ini, penulis akan mencoba membahas keadaan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in khususnya pada masa dinasti umayyah yang mempunyai masa pemerintahan lebih kurang 91 tahun. Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran-pemikiran yang timbul dari sekte-sekte yang timbul pada masa ini dan yang terkait di dalamnya.

B.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.    Apakah tabi’in itu?
2.    Bagaimanakah pemikiran islam pada masa tabi’in?














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Tabi’in
Sebelum kita membahas tentang kondisi hukum Islam pada masa tabi’in, maka seyogyanya kita ketahui terlebih dahulu apa itu sahabat tabi’in. Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah SAW. Selain itu juga tidak diisyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dikuatkan oleh ulama hadis, tidak diisyaratkan harus meriwayatkan hadis dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia sudah berusia tamyiz (baligh).
Al-Quran telah memberikan isyarat tentang adanya tabi’in dalam firman Allah SWT :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At- Taubah : 100)
Firman Allah SWT ”Dan orang-orang yang mengikuti mereka” merupakan isyarat yang jelas akan keberadaan tabi’in. Merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia yang datang ingin mendengar fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
Al Quran telah mengabadikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam ayat di atas di mana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in. Tabi’in dibagi ke dalam 3 bagian[1]:
1.    Kibar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang mengambil ilmu dan meriwayatkan hadis dari kibar as-Sahabah, sebagian mereka lahir ketika Nabi Muhammad SAW. hidup akan tetapi mereka tidak melihatnya.
2.    Mutawassit at-Tabi’in
Yaitu mereka yang semasa dengan kibar at-tabi’in, mereka meriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
3.    Sigar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang mengambil periwayatan dari sigar as-sahabah dan kebanyakan terhadap tabi’in terdahulu.

Para tabi’in ini tersebar di berbagai daerah islam, dan yang paling pertama wafat dari tabi’in adalah Abu Zaid mu’amar bin Yazid pada tahun 35 H, dan yang tearkhir wafat adalah Khalaf bin Khalifah yang meninggal pada tahun 181 H[2].

B.       Biografi Beberapa Tabi’in
a.    Penduduk Madinah
1.    Sa’id bin Musayyab
Sa’id bin musayyab mempunyai nama lengkap Abu Muhammad Sa’id bin al-Musayyab bin Huzni al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani. Bapak dan kakeknya merupakan sahabat Rasulullah yang masuk islam pada hari pembebasan kota Mekkah.  Beliau dilahirkan dua tahun sesudah kekhalifahan Umar, ketika ia dewasa ia tekun mempelajari pemikiran Umar bin Khattab. Beliau adalah orang yang paling hafal terhadap keputusan atau ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum Umar hingga beliau disebut perawi umar dan dia juga hafal Musnad dari Abu Hurairah, karena ia menikahi putrinya abu hurairah, dia juga meriwayatkan hadis  dari Utsman, Ali, Sa’ad bin waqas, dan sahabat terkemuka lainnya. Beliau termasuk pembesar tabi’in dalam bidang fikih, agama, ibadah, dan lain dan sebagainya hingga dia di juluki Faqihul Fuqaha (ahli fikih di kalangan ulama fikih). Beliau juga di sebut pemberani karena keberaniannya berfatwa dengan keluasan ilmu dan hafalannya. Abdul malik bin marwan pernah menetapkan beliau untuk membaiat putra mahkota pada waktu itu, yaitu al-walid dan sulaiman akan tetapi beliau tidak bersedia dan berkata: “Rasululluah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang tentang baiat, lalu Abdul malik menyuruh agar dia dicambuk dan diarak dengan memutari pasar-pasar Madinah kemudian beliau disodorkan pedagang akan tetapi beliau tetap dengan pendiriannya dalam ketidakmauannya membaiat. Beliau adalah orang yang paling mengetahui ta’bir mimpi dan paling mengetahui nasab silsilah Quraisy, ia juga memberikan fatwa padahal pada waktu itu para sahabat masih banyak. Beliau mengetahui berita-berita tentang kaum jahiliyah dan Islam, kesungguhannya dalam ijtihad, ibadah, amar ma’ruf, kemuliaannya dalam pandangan para pemimpin dan pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Beliau wafat pada tahun 94 Hijriah, pada masa khalifah al-Walid. Pada tahun ini disebut juga tahun fuqaha karena pada tahun ini banyak para ahli fikih yang wafat[3].

2.    Nafi’ Maula Abdullah bin Umar bin Khattab
Nafi’ Maula Abdullah bin Umar bun Khattab termasuk Ahli Fikih dan Hadis terkemuka di Madinah, beliau mempelajari agama dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Ummu Salamah dan lainnya. Diantara murid-muridnya Salih bin Kisan, az-Zuhri, al-Awza’I, Malik bin Anas. Beliau adalah salah seorang ahli fikih Madinah sehingga  Umar bin Abdul Aziz mengutusnya ke Mesir untuk mengajarkan Sunnah pada penduduknya.. Nafi mendapatkan kehormatan yang besar dan kedudukan yang tinggi disisi Ibnu Umar. Ia melayani Abdullah bin Umar selama 30 tahun. Nafi’ berasal dari Dailami dan meninggal pada tahun 117 H[4].

b.    Penduduk Kuffah
3.    Al-Qamah bin Qais an-Nakha’i
Nama lengkap beliau adalah Al-Qamah bin Qais bin Malik An-Nakha’I Al-Kufi, beliau lahir semasa hidup Rasulullah SAW. dan  banyak meriwayatkan hadis  yang bersumber dari Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Mas’ud karenanya beliau disebut Al-Qamah Ar-Rawi lantaran banyak hadis  yang diriwayatkan darinya.
Adz-Dzahabi berkata: Al-qamah adalah ahli fikih, pemimpin, pintar, bagus suaranya dalam membaca al-Qur’an, menyerupai Ibnu Mas’ud dalam petunjuk, keluasan ilmu dan keutamaannya. Beliau wafat pada tahun 61 H namun ada juga yang mengatakan pada tahun 62 H[5].

4.    Ibrahim an-Nakah’i
Nama lengkap beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais An-Nakha’i al-kufi al-Faqih. Seorang ahli fikih Irak, ia meriwayatkan hadis  dari Al-Qamah, Masruq, Asward dan lain-lainnya. Beliau adalah Guru Hamid bin Abi Sulaiman, gurunya Abu Hanifah. Beliau wafat di kediaman Al-Hajaj bin Yusuf pada tahun 96 H dalam usia 49 tahun[6].
c.    Penduduk Basrah
5.    Hasan al-Basri
Beliau adalah Abi Hasan Yasar Maula Zaid bin Tsabit, dilahirkan dua tahun terakhir dari pemerintah Umar. Beliau dibesarkan di Madinah dan Hafal al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman, setelah besar ia terus berjuang mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Beliau salah seorang alim yang tinggi derajat, terpercaya, ahli hujah, ahli ibadah, tinggi ilmunya, fasih, tampan dan nyata, dalam kebaikan. Beliau meninggal tahun 110 H[7].

C.      Kondisi Politik Islam Pada Masa Tabi’in dan Perkembangannya
Periode ini dimulai ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 hijriah, dan berakhir pada awal abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriah.
Zaman ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fikih, dan pergolakan politik karena sejak zaman awal berdirinya dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan:
1.         Syiah, yaitu orang-orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap khilafah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan dari Nabi Muhammad SAW dan bukan dengan cara bai’at[8].
2.         Khawarij, yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim (perdamaian) pada zaman Khalifah Muawiyah lalu mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab[9].
3.         Jumhur kaum muslimin, yaitu kaum moderat yang memilki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih oleh kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perjalanan aliran fikih yang berkembang pada zaman berikutnya.

Pada permulaan periode ini, perkembangan tasyri’ dan fikih masih sama dengan apa yang ada pada zaman sahabat, dimana tidak ada ulama yang secara khusus membahas tentang fikih, seorang alim mengajarkan masyarakat Al-Qur’an, menafsirkannya, meriwayatkan sunnah, dan memberi fatwa jika ada masalah. Namun ketika sudah masuk zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan kita bisa menemukan sekelompok ulama yang dikhususkan untuk memberi fatwa halal dan haram, lalu setelah itu mulailah bermunculan para Mujtahidin dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga pada akhirnya berimbas pada adanya perbedaan fikih seperti yang pernah terjadi pada zaman sahabat.



D.      Perpecahan Politik dan Aliran Pemikiran
Perbedaan antara kaum muslimin tentang masalah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Talib ra telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok.
Walaupun perpecahan yang terjadi di antara kelompok-kelompok di atas yang merupakan perpecahan politik, namun juga berimbas kepada aliran-aliran fikih. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mereka tentang sumber-sumber hukum fikih, karena ada beberapa masalah fikih yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) politik.

1)        Khawarij
Istilah ini merujuk pada aksi desersi sebagian pasukan dari kubu Ali dalam Perang Shiffin pada tahun 27 hijriah antara pasukan Ali dan Muawiyah. Ketika itu Muawiyah sudah merasa akan kalah, kemudian tentaranya mengangkat mushaf sebagai tanda agar mereka mengembalikan keputusan kepada Alquran dan Ali bin Abi Thalib pun menerimanya. Hal tersebut kemudian berimbas kepada keluarnya sebagian kaum muslimin dari pasukan Ali karena mereka menolak persetujuan damai dan inilah sebab dari dinamakannya kelompok ini sebagai khawarij atau karena mereka keluar berjihad di jalan Allah. Mereka dipimpin oleh seorang dari mereka, yaitu Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi.
Kelompok ini memiliki beberapa doktrin penting, di antaranya sebagai berikut:
a.       Mereka menjadikan khilafah sebagai hak bagi setiap muslim, tidak hanya terbatas untuk kelompok tertentu seperti Ahli Bait atau orang-orang Quraisy atau Arab bahkan gelar khalifah boleh disandang oleh siapa saja bahkan hamba sahaya sekalipun. Pemilihan harus dilakukan secara umum dan terbuka dari semua kalangan dan khalifah boleh lebih dari satu jika ada pendukungnya[10].
b.      Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim[11].
c.       Orang-orang Khawarij mengingkari qiyas dan tidak menganggapnya sebagai sumber hukum syariat. Mereka yang menolak ijma’ dan tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang menjadi dasar adalah sandaran ijma’ jika memang tampak, dan jika tidak tampak maka ijma’ tidak dapat dijadikan dalil.
d.      Sebagian mereka ada yang mengingkari hukum-hukum syariat yang telah ditetapkan berdasarkan ijma’ seperti menggugurkan hukuman rajam bagi seorang pezina, padahal Rasulullah SAW dan para sahabat pernah melakukan itu dan mereka juga menggugurkan hukuman qazaf bagi kaum laki-laki, padahal mereka tahu hukuman qazaf telah ditetapkan kepada orang yang menuduh berzina kaum musliman dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mereka juga mewajibkan memotong tangan seorang pencuri, baik barang yang dicuri sedikit atau banyak, dan tidak menetapkan batasan (nisab) tertentu terhadap harta yang dicuri.
Kaum Khawarij telah terpecah-pecah menjadi sekte-sekte kecil yang cukup banyak jumlahnya, namun yang paling terkenal dan dekat dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah sekte Ibadhiyyah, yaitu pengikut Abdullah bin Ibadh, sekte lainnya adalah an-Najdat pengikut Najdah bin Uwaimar,  as-Safariyah pengikut Ziyad bin al-Asfar, dan Azariqah, pengikut Nafi’bin Azraq[12].

2.         Syiah
Para pengikut setia Ali menilai bahwa Ali adalah orang yang paling berhak dengan khilafah daripada yang lainnya setelah baginda Rasulullah SAW wafat. Namun, hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk mengakui kepemimpinan siapa-siapa yang dipilih oleh kaum muslimin seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan setelah Ali meninggal karena pemberontakan maka kelompok yang mengatasnamakan cinta Ali bin Abi Thalib semakin bertambah yang kemudian berubah menjadi sebuah fanatisme yang berlebih-lebihan, sehingga ada yang mengatakan khilafah setelah Ali harus diwariskan kepada anak keturunannya dan jika tidak diberikan kepada mereka, berarti berbuat zalim dan berpura-pura tidak tahu. Pemahaman seperti ini sudah menyebar dan dianut oleh sebagian kaum muslimin, dan sejalan dengan perkembangannya, orang-orang yang mengatasnamakan Ali ini kemudian dinamakan Syiah.
Kaum Syiah terpecah menjadi beberapa kelompok, dan diantara yang paling terkenal adalah :
a.       Zaidiyyah, yaitu mereka yang dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Al-Husen bin Ali bin Abi Thalib dan kelompok ini lebih dekat dengan Ahli Sunnah wal jama’ah[13].
b.      Imamiyah Itsna’asyariyah, dinamakan begitu karena mereka membatasi imam (pemimpin) kepada dua belas orang, yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi yang belum mati, bersembunyi, dan akan muncul di akhir zaman untuk memenuhi bumi ini dengan keadilan yang sebelumnya penuh dengan kezaliman[14].
c.       Isma’iliyah, mereka berpendapat bahwa kepemimpinan setelah Ja’far bin Muhammad bin Ash-Shadiq hanya terbatas pada anaknya yang besar, Ismail, kemudian diteruskan oleh anak-anaknya[15].
Kalangan Syiah juga mempunyai beberapa aliran fikih yang berbeda dengan kaum muslimin, di antaranya sebagai berikut :
Membolehkan nikah mut’ah dengan dalil firman Allah SWT: Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), dan kita tahu bahwa mayoritas ulama Islam mengharamkan nikah ini dan menilai ayat ini ditujukan untuk nikah yang sudah diketahui umum sesuai dengan susunan redaksi ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang akad yang sudah biasa dilakukan, setelah sebelumnya ayat membahas tentang wanita yang haram dinikahi. Dan mahar dinamakan upah juga disebutkan dalam ayat yang lain, firman Allah SWT: Maka nikahilah wanita-wanita itu dengan izin walinya dan berikanlah upah mereka, yaitu mahar, artinya mahar mereka dan jumhur ulama mengatakan haram nikah mut’ah karena Rasulullah sudah mengharamkannya berdasarkan riwayat terakhir dari beliau.
Orang Syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab berdasarkan firman Allah SWT: Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) wanita-wanita yang kafir, dan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang membolehkannya berdasarkan Firman Allah SWT: Dan makanan orang-orang yang diberi kitab adalah halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.
Dalam pemakaian sunnah sebagai sumber hukum, orang Syiah tidak mengambilnya kecuali hadis-hadis yang datang dari periwayatan ahli bait dan para pengikutnya. Adapun ijma’, mereka menolaknya sebagai sumber hukum bagi perundang-undangan Islam karena mengamalkan ijma’, sama artinya dengan mengamalkan pendapat sahabat yang lain atau tabi’in[16].
Mayoritas orang Syiah menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak dikaji dengan pendapat pribadi, namun diambil dari Allah dan Rasul-Nya serta para imam yang maksum[17].

3.         Jumhur Kaum Muslimin
Yaitu orang-orang yang bersikap abstain dan tidak ikut-ikutan terjun ke dalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan Ali dan para lawan politiknya.
Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran syariat berdasarkan penjelasan Alquran dan sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah yang terjadi di antara sahabat di akhir Khalifah Ali.
Metode yang dipakai oleh jumhur kaum muslimin ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam meng-istinbat hukum syariat[18].
Pertama, kelompok yang berpegang pada zhahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli hadis (kaum literalis).
Kedua, aliran yang mencari illat-illat hukum dan hikmahnya dari nash-nash baik al-Quran dan Sunnah dan kelompok ini dinamakan ahli ra’yi (kaum rasionalis).

E.  Peningkatan Kreativitas Fikih pada Masa Bani Umayyah
Periode ini memiliki ciri khas, banyaknya ulama yang memberi fatwa selain banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh para ahli fikih. Ruang perbedaan fikih pun semakin meluas sebagai bukti bahwa aktivitas fikih pada zaman ini meningkat dibanding sebelumnya seperti zaman sahabat.
Meningkatnya aktivitas fikih pada zaman ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Menyebarnya Para Sahabat Ke Seluruh Pelosok Wilayah
Umar bin Khattab melarang para pembesar sahabat terutama mereka yang terkenal sebagai ahli ra’yi untuk meninggalkan kota Madinah, kecuali dalam keadaan darurat seperti memimpin pasukan dan memimpin negeri-negeri. Hal tersebut dikarenakan mereka memang menganut sistem syuro, dan komitmen Umar ini sampai pada jika ada masalah yang muncul, ia mengemukakannya kepada ahli ra’yi dengan cara mengirimkan surat dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh positif bagi lahirnya ijma’ terhadap masalah yang muncul pada zamannya.
Dengan cara ini kota Madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik bagi negara Islam karena para sahabat menetap di dalamnya.
Perbedaan adat istiadat, hubungan sosial, keadaan dan taraf hidup, jenis pekerjaan baik pertanian dan perdagangan, ilmu, dan wawasan telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah fatwa pada satu negeri dengan negeri yang lain, dan sulit untuk membangun komunikasi karena jarak tempuh yang jauh serta sarana transportasi yang minim. Selain itu, walaupun ada masalah-masalah yang mirip di beberapa negeri, namun hukumnya tetap berbeda, bahkan terkadang muncul beberapa pendapat fikih pada satu waktu. Hal tersebut dikarenakan yang menetap di situ bukan hanya seorang sahabat, namun banyak sahabat yang kemudian memberikan jawaban yang berbeda-beda dan dari sini para pengikutnya juga akan berbeda-beda sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari gurunya.
Hubungan keilmuan antara seorang alim (sahabat) yang menetap pada suatu negeri dengan penduduknya sangat erat. Buktinya, ada beberapa fatwa dan hukum yang beragam. Selain itu ada beberapa hadis yang diriwayatkan di Irak, Syam, Mesir, dan negeri-negeri lain, terdapat perbedaan ilmu pengetahuan di Mekah dan Madinah, para sahabat berhasil meluluskan ulama tabi’in yang telah mengambil ilmu mereka dan meraih kedudukan yang mulia dalam ilmu dan agama.
Kondisi dan dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in sedikit banyak berbeda dengan kondisi pada masa sahabat dalam hal kebutuhan untuk memperbanyak periwayatan hadis semakin menguat pada tabi’in. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
Luasnya wilayah kekuasaan negara Islam setelah terjadi banyak penaklukan sehingga menimbulkan banyak masalah yang perlu diberikan fatwa. Disamping itu, para fuqaha’ menghadapi kondisi sosial yang beragam dengan adanya orang Persia dan Romawi serta Kristen Ortodoks.
Jarak antara satu negeri dengan negeri yang lain sangat jauh dan sulit berkomunikasi sesama mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis terpaksa meriwayatkan apa yang dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadang mereka pergi ke Madinah untuk mengumpulkan hadis dan menghafalnya, apalagi mereka banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW ada di kota Madinah, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurarirah, dan Aisyah.
Setelah Alqur’an mendapat perhatian besar, baik dihafal dan dikaji pada zaman sahabat sehingga membuat generasi setelahnya tidak berbeda pendapat sesuai dengan firman Allah SWT:
Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran dan Kami yang akan menjaganya. (QS. Al-Hijr: 9)

Oleh sebab itu, periwayatan hadis merebak di zaman tabi’in sehingga para penghafal hadis terpaksa menampakkan hafalannya, yang pada akhirnya memperluas ruang perbedaan dan perkembangan aktivitas fikih sehingga setiap zaman memiliki permasalahan, fatwa, dan ketetapan hukum yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan ulamanya.
Seiring dengan merebaknya periwayatan hadis di zaman tabi’in muncul indikasi pemalsuan hadis yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut.
Permusuhan yang dilatarbelakangi agama. Para musuh Islam senantiasa membuat makar untuk menghancurkan kaum muslimin, baik Yahudi atau Kristen. Mereka menanamkan doktrin kekufuran dengan cara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dan menisbatkannya kepada Rasulullah SAW.
Fanatik mazhab. Muncul beberapa aliran keagamaan seperti Khawarij dan Syiah, telah melancarkan lahirnya pemalsuan hadis karena masing-masing kelompok ingin menjual doktrinnya. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk menguatkannya dengan membuat hadis palsu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, dan ini banyak dilakukan oleh kaum radikal dari golongan Syiah.
Fanatisme sekelompok orang yang menolak hukum yang tidak ditetapkan dengan wahyu. Ada sebagian orang yang menolak segala sesuatu yang tidak ada hukumnya, baik dalam Alquran maupun sunnah sehingga membuat mereka menisbatkan hadis atau riwayat yang memang dari sahabat atau ahli hikmah lalu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW yang kemudian diterima dengan baik oleh kelompok ini. Pemalsuan hadis bisa terjadi pada matan dan isnad (perawi), bahkan mereka membuat isnad sendiri bagi sebuah hadis yang dhaif dengan isnad yang masyhur, menukar isnadnya agar tidak diketahui tentang jahalah dirinya. Munculnya fenomena pemalsuan hadis sangat mengganggu kerja para fuqaha dalam meng-istinbat hukum karena mereka telah membuang waktu dan tenaga yang banyak demi memilah hadis untuk memastikan keshahihan sebuah hadis. Baru setelah itu mereka mengeluarkan hukumnya dan sudah pasti ini bukan pekerjaan ringan dan banyak tantangan sehingga memperlambat laju istinbat dan ijtihad.

F.       Munculnya Aliran-aliran Fikih
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa tersebarnya para sahabat ke seluruh pelosok negeri, perbedaan tingkat pemahaman dan daya hafal mereka terhadap hadis Rasulullah, banyaknya peristiwa dan problematika, adat kebiasaan pada setiap negeri yang tidak ada pada negeri yang lain kemudian melahirkan corak fikih yang berbeda-beda dan lain dari fikih negeri yang lain. Inilah yang kemudian kita namakan aliran fikih seperti fikih Syam, Hijaz, Mesir, Kufah, dan aliran Basrah serta yang lainnya.
Walaupun terjadi keberagaman aliran fikih pada zaman ini disebabkan perbedaan sosiologis yang sulit untuk dihindari, sehingga mereka menganggap perbedaan ini bukan suatu masalah besar, namun yang menjadikan perbedaan di antara mereka adalah kecenderungan kepada aliran hadis atau logika (ra’yi) atau mengambil keduanya. Di sini kita akan membahas tentang madrasah (aliran) ahli hadis di Madinah dan ahli ra’yi di Kufah.

Ahlu al-Ra’yi
1.    Latar Belakang Kemunculan.
Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:
Keterikatan yang sangat kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ra’yu.
Minimnya mereka menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.
Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.



2.    Keitimewaan Ahlu al-Ra’yu
Para ulama menyebutkan bahwa Ahl al-Ra’yu memiliki beberapa keistimewaan tertentu, di antaranya:
Banyaknya hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak taqdiri yaitu hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum muncul ketika itu. Hal ini sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang mereka temukan terutama yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih dahulum maju ketimbang Islam. Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fiqh termasuk dalam melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum terjadi.
Dalam pengambilan hukum, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan tetapi mereka juga memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan relevansi syari’at dengan peristiwa konkrit. Hal ini dilakukan karena syari’at dipandang sangat cocok dengan akal (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memberikan maslahat kepada manusia.
Seefektifnya mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah nabi dapat terpelihara dengan baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul-muncul hadis da’if dan maudhu’.


3.    Tokoh-Tokohnya.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:
1. Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
2. Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3. al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
4. Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5. al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).

4.    Metode dalam Pengambilan Hukum Islam
Berdasarkan uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian hukum lebih banyak menggunakan ra’yu ketimbang hadis. Bila timbul suatu masalah yang memerlukan jawaban hukum maka mereka terlebih dahulu mencari dalilnya di dalam Alquran. Bila ketentuan hukumnya tidak mereka temukan, mereka mencarinya di dalam hadis, yang dalam hal ini mereka memberikan kriteria yang ketat sehingga sedikit hadis-hadis yang lolos seleksi, meskipun tentu saja tidak berarti bahwa mereka tidak menggunakan hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis yang menerangkan masalah tersebut maka mereka menggunakan penalaran, dan penggunaan ra’yu inilah yang banyak mereka terapkan dalam penetapan hukum.
Termasuk dari metode penalaran yang mereka gunakan adalah istihsan, yaitu suatu metode penetapan hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek qiyas dengan arahan utamanya ditujukan kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan tetapi pola istihsan yang mereka gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi berserta murid-muridnya.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah putusan hukum yang ditetapkan oleh Qadi Syuraih agar orang yang diberi amanah untuk menjaga barang titipan memberi ganti rugi bila barang tersebut rusak di tangannya. Padahal menurut hadis nabi bahwa orang yang menjaga amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi bila barang titipan rusak di tangannya. Putusan hukum seperti itu yang ditetaokan oleh Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis tersebut, akan tetapi beliau memandang perlu menetapkan hukuman agar tidak terjadi peyepelean terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Dari kasusu ini jelas bahwa putusan yang diambil Syuraih lebih mengedepamkan aspek ra’yu ketimbang hadis.

Ahlu al-Hadis
1.    Latar Belakang Kemunculan.
Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu. Kelompok ini merupakan kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Menurut para ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a.    adanya ketertarikan terhadap metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah bin Umar yang sangat kuat berpegang pada hadis.
b.    banyaknya hadis yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hidup pada zaman nabi banyak yang tinggal di Hijaz terutama di Mekkah dan Madinah.
c.    gaya hidup orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak sedinamis dan seheterogen di wilayah Iraq. masalah-masalah baru yang memerlukan fatwa sangat minim sekali, hal ini di samping karena penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.

2.    Keistimewaan.
Di antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok ahl hadis adalah:
a.    Sangat kuat berpegang terhadap hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam penukilan hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz adalah siqat.
b.    Tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan masalah-masalah yang belum muncul karena akan mendorong penggunaan ra’yu.
c.    Dalam memahami suatu nash, sangat berpatokan kepada makna zahir nash dan tidak mendiskusikan lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
d.   Tidak menggunakan ra’yu kecuali pada saat terpaksa.

3.    Tokoh-Tokohnya.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang tujuh, yaitu:
1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubair bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).

4.    Metode Pengambilan Hukum.
Ahlu al-Hadis, sesuai dengan namanya sangat menguatamakan penggunaan hadis ketimbang ra’yu. Setiap permasalahan yang muncul, mereka mencari jawabannya di dalam Alquran, bila tidak diketemukan, lalu mereka mencarinya di dalam hadis merskipun berupa hadis ahad, dan bila juga tidak diketemukan maka mereka tidak mengeluarkan fatwa akan tetapi mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah sahabat dan tabi’in terutama pendapat para khalifah rasyidun dan para fuqaha lainnya. Apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, maka dilihat siapa yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan pendapat, maka mereka memilih pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan demikian terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa bila pada sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya[19].

G.      Sumber-sumber Fikih pada Periode Ini
Sumber-sumber fikih pada periode ini sama seperti periode Khulafaurrasyidin yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Ijtihad[20]. Hanya saja, seperti telah dibicarakan diatas, pada periode ini muncul upaya untuk mengumpulkan dan menulis Hadis. Inisiatif penulisan dan pengumpulan Hadis  periode ini barangkali lebih merupakan suatu desakan dari munculnya persoalan-persoalan baru yang lebih kempleks disatu sisi, dan hilangnya kekhawatiran akan timbulnya perhatian yang berlebihan terhadap Sunnah melalui al-Qur’an.

H.    Munculnya Kecenderungan Baru Fikih
Seperti telah disinggung di muka, pada periode ketiga dari perkembangan fikih ini muncul kecenderungan dari berbagai beberapa fuqaha yang berdomisili di Irak untuk menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan menganggap hukum syariat sebagai suatu takaran rasionalitas. Kecenderungan baru ini mendapat tanggapan cukup keras dari fuqaha’ Hijaz yang menganggap hukum sebagai ketentuan ilahi yang tidak dapat dirasionalisasi.
Berbeda dengan fuqaha’ Irak yang gemar menyelami suatu hukum, mencari illat dan tujuan-tujuan moral dibalik hukum yang tampak, fuqaha’ Hijaz malah memahami nash-nash secara sangat literal (dhahiri) dan menganggap fatwa sahabat juga sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dan Sunnah perkembangan dari kedua kecenderungan fikih ini memunculkan kedua fakultas dalam fikih: fakultas ahli hadis dan ahli ra’yi.
Lahirnya dua fakultas ini ternyata sangat dipengaruhi  faktor sosial budaya yang membentuk karakteristik, teori dan formula yang berbeda-beda, meskipun sama-sama berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama.
Selain itu beberapa ulama berpegang pada nash-nash secara literalis seperti Abdullah bin Umar di Hijaz, dan sebagian yang lain berusaha menggali illat dan tujuan-tujuan moral hukum seperti Ibnu Mas’ud di Irak.
Dari segi kultural. Irak adalah daerah yang jauh dari bumi kenabian dan bumi Hadis . Irak adalah daerah terbuka yang banyak mendapat pengaruh kebudayaan dan peradaban lain. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut problematikanya yang beraneka ragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan Rasio.
Keadaan ini berbeda dengan di Madinah dan Hijaz. Saat itu, pinjam istilah Ibnu Khaldun, Madinah merupakan gudang ilmu Islam. Dengan itu mereka praktis hanya mempelajari ilmu pengetahuan dari para ulama’ dan guru-guru Madinah. Selain itu, masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan sederhana, seperti keadaan pada masa Nabi saw. Untuk mengatasi berbagai  masalah dalam kondisi seperti ini para fuqaha merasa cukup dengan hanya mengandalkan pemahaman literal terhadap Al-Qur’an, Sunnaah dan Ijma Sahabat, karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad seperti Fuqaha Irak.
        







BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
2.    Secara umum pada era tabi’in mereka lebih mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
3.    Metode yang dipakai oleh jumhur kaum muslimin ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam meng-istinbat hukum syariat.
Pertama, kelompok yang berpegang pada zhahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli hadis yang berkembang di Hijaz.
Kedua, aliran yang mencari illat-illat hukum dan hikmahnya dari nash-nash baik Alquran dan sunnah dan kelompok ini dinamakan ahli ra’yi yang berkembang di Irak.

B.       Saran
Di dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran didalamnya. Untuk itu, penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini kedepannya. 



[1] Dr. Muhammad Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islam (Cet II;Damaskus: Dar al-Makrifah, 2005), h. 87-89.
[2] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah (Cet I; Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 2007), Juz 9, h. 446.

[3] As-Subki as-Says al-Barbari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Damaskus: Dar al-Asama’), h. 217.
[4] As-Subki as-Says al-Barbari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Damaskus: Dar al-Asama’), h. 219.
[5] As-Subki as-Says al-Barbari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Damaskus: Dar al-Asama’), h. 228-229.
[6] As-Subki as-Says al-Barbari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, h. 228.

[7] As-Subki as-Says al-Barbari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, h. 223-224.

[8] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Jadal (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2003), h. 101-102.
[9] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Jadal (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2003), h. 124-126.
[10] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 2009), h. 70.

[11] Muhammad Sa’id Ramadan al-Bouty, al-Mazahib at-Tauhidiyah wa al-Falsafah at-Tauhidiyah (Cet I; Damaskus: Dar al-Fikr, 2008), h. 59.
[12] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2009), h. 70.
[13] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2009), h. 50.
[14] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul Mazahib al-fiqhiyah, h. 54.
[15] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul Mazahib al-fiqhiyah, h. 60.
[16] Muhammad Syarif Adnan as-Sawwaf, Baina as-Sunnah wa as-Syiah Dirasah Tarikhiyah Usuliyah Fiqhiyah Muqaranah (Cet I; Damaskus: Bait al-Hikmah, 2006), h. 322.
[17] Muhammad Syarif Adnan as-Sawwaf, Baina as-Sunnah wa as-Syiah Dirasah Tarikhiyah Usuliyah Fiqhiyah Muqaranah, h. 337.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Jadal (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2003), h. 187-189.

[20] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2009), h. 268.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar