BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ajaran Islam yang
sumbernya berupa al-Qur’an dan as-Sunnah diyakini pemeluknya dapat
mengantisipasi segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman. Islam itu satu,
tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu beragam. Misalnya, ada komunitas yang
menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang senang
pemerintahan republik, bahkan ada juga yang ingin kembali menggunakan sistem
kekhalifahan. Ada yang sangat terikat dengan teks al Qur’an dan al Hadis dalam memahami hukum Islam, ada pula yang
longgar melihat konteks nash tersebut.
Hukum Islam dari masa
ke masa mulai zaman Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah mengalami
perkembangan yang begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan
masalah hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada beliau dan dalam
menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Setelah beliau
wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadis sebagai dasar penyelesaian masalah hukum, juga
berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber tersebut. Pada masa tabi’in,
kesepakatan dari sahabat dalam masalah hukum juga menjadi salah satu sumber
hukum dalam menjawab persoalan umat. Begitu juga masa tabi’it tabi’in
ijma’ yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya menjadi pertimbangan dan dasar
hukum dalam member solusi atas problem-problem baru yang muncul.
Pada bahasan kali
ini, penulis akan mencoba membahas keadaan dan perkembangan hukum Islam pada
masa tabi’in khususnya pada masa dinasti umayyah yang mempunyai masa
pemerintahan lebih kurang 91 tahun. Mengenai sumber-sumber hukum serta
pemikiran-pemikiran yang timbul dari sekte-sekte yang timbul pada masa ini dan
yang terkait di dalamnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apakah
tabi’in itu?
2.
Bagaimanakah pemikiran islam pada
masa tabi’in?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tabi’in
Sebelum
kita membahas tentang kondisi hukum Islam pada masa tabi’in, maka
seyogyanya kita ketahui terlebih dahulu apa itu sahabat tabi’in. Tabi’in
adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia
sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak
darinya.
Dari
penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda
Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat
Rasulullah SAW. Selain itu juga tidak diisyaratkan harus bertemu dengan sahabat
seperti yang dikuatkan oleh ulama hadis, tidak diisyaratkan harus meriwayatkan
hadis dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia
sudah berusia tamyiz (baligh).
Al-Quran
telah memberikan isyarat tentang adanya tabi’in dalam firman Allah SWT :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar. (QS. At- Taubah : 100)
Firman
Allah SWT ”Dan orang-orang yang mengikuti mereka” merupakan isyarat yang
jelas akan keberadaan tabi’in. Merujuk penamaan ini, tabi’in
adalah semua orang yang pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari
berbagai penjuru dunia yang datang ingin mendengar fatwa, menghimpun ucapan,
perbuatan, dan mengetahui segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan
yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan
perbuatan sahabat.
Al
Quran telah mengabadikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam ayat
di atas di mana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti
para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan
penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in. Tabi’in dibagi
ke dalam 3 bagian[1]:
1. Kibar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang
mengambil ilmu dan meriwayatkan hadis dari kibar as-Sahabah, sebagian
mereka lahir ketika Nabi Muhammad SAW. hidup akan tetapi mereka tidak
melihatnya.
2. Mutawassit at-Tabi’in
Yaitu mereka yang
semasa dengan kibar at-tabi’in, mereka meriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
3. Sigar at-Tabi’in
Yaitu mereka yang
mengambil periwayatan dari sigar as-sahabah dan kebanyakan terhadap tabi’in
terdahulu.
Para
tabi’in ini tersebar di berbagai daerah islam, dan yang paling
pertama wafat dari tabi’in adalah Abu Zaid mu’amar bin Yazid pada tahun
35 H, dan yang tearkhir wafat adalah Khalaf bin Khalifah yang meninggal pada
tahun 181 H[2].
B.
Biografi Beberapa Tabi’in
a. Penduduk Madinah
1. Sa’id bin Musayyab
Sa’id
bin musayyab mempunyai nama lengkap Abu Muhammad Sa’id bin al-Musayyab bin Huzni
al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani. Bapak dan kakeknya merupakan sahabat
Rasulullah yang masuk islam pada hari pembebasan kota Mekkah. Beliau dilahirkan dua tahun sesudah
kekhalifahan Umar, ketika ia dewasa ia tekun mempelajari pemikiran Umar bin
Khattab. Beliau adalah orang yang paling hafal terhadap keputusan atau
ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum Umar hingga beliau disebut perawi umar dan
dia juga hafal Musnad dari Abu Hurairah, karena ia menikahi putrinya abu
hurairah, dia juga meriwayatkan hadis dari Utsman, Ali, Sa’ad bin waqas, dan sahabat
terkemuka lainnya. Beliau termasuk pembesar tabi’in dalam bidang fikih,
agama, ibadah, dan lain dan sebagainya hingga dia di juluki Faqihul Fuqaha
(ahli fikih di kalangan ulama fikih). Beliau juga di sebut pemberani karena
keberaniannya berfatwa dengan keluasan ilmu dan hafalannya. Abdul malik bin
marwan pernah menetapkan beliau untuk membaiat putra mahkota pada waktu itu,
yaitu al-walid dan sulaiman akan tetapi beliau tidak bersedia dan berkata:
“Rasululluah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang tentang baiat, lalu Abdul
malik menyuruh agar dia dicambuk dan diarak dengan memutari pasar-pasar Madinah
kemudian beliau disodorkan pedagang akan tetapi beliau tetap dengan
pendiriannya dalam ketidakmauannya membaiat. Beliau adalah orang yang paling
mengetahui ta’bir mimpi dan paling mengetahui nasab silsilah Quraisy, ia juga
memberikan fatwa padahal pada waktu itu para sahabat masih banyak. Beliau
mengetahui berita-berita tentang kaum jahiliyah dan Islam, kesungguhannya dalam
ijtihad, ibadah, amar ma’ruf, kemuliaannya dalam pandangan para pemimpin dan
pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Beliau wafat pada tahun 94
Hijriah, pada masa khalifah al-Walid. Pada tahun ini disebut juga tahun fuqaha
karena pada tahun ini banyak para ahli fikih yang wafat[3].
2. Nafi’ Maula Abdullah
bin Umar bin Khattab
Nafi’
Maula Abdullah bin Umar bun Khattab termasuk Ahli Fikih dan Hadis terkemuka di
Madinah, beliau mempelajari agama dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Abu
Hurairah, Ummu Salamah dan lainnya. Diantara murid-muridnya Salih bin Kisan,
az-Zuhri, al-Awza’I, Malik bin Anas. Beliau adalah salah seorang ahli fikih
Madinah sehingga Umar bin Abdul Aziz
mengutusnya ke Mesir untuk mengajarkan Sunnah pada penduduknya.. Nafi
mendapatkan kehormatan yang besar dan kedudukan yang tinggi disisi Ibnu Umar.
Ia melayani Abdullah bin Umar selama 30 tahun. Nafi’ berasal dari Dailami dan
meninggal pada tahun 117 H[4].
b. Penduduk Kuffah
3. Al-Qamah bin Qais an-Nakha’i
Nama
lengkap beliau adalah Al-Qamah bin Qais bin Malik An-Nakha’I Al-Kufi, beliau
lahir semasa hidup Rasulullah SAW. dan banyak meriwayatkan hadis yang bersumber dari Umar, Utsman, Ali dan Ibnu
Mas’ud karenanya beliau disebut Al-Qamah Ar-Rawi lantaran banyak hadis yang diriwayatkan darinya.
Adz-Dzahabi
berkata: Al-qamah adalah ahli fikih, pemimpin, pintar, bagus suaranya dalam
membaca al-Qur’an, menyerupai Ibnu Mas’ud dalam petunjuk, keluasan ilmu dan
keutamaannya. Beliau wafat pada tahun 61 H namun ada juga yang mengatakan pada
tahun 62 H[5].
4. Ibrahim an-Nakah’i
Nama
lengkap beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais An-Nakha’i al-kufi al-Faqih.
Seorang ahli fikih Irak, ia meriwayatkan hadis dari Al-Qamah, Masruq, Asward dan
lain-lainnya. Beliau adalah Guru Hamid bin Abi Sulaiman, gurunya Abu Hanifah.
Beliau wafat di kediaman Al-Hajaj bin Yusuf pada tahun 96 H dalam usia 49 tahun[6].
c. Penduduk Basrah
5. Hasan al-Basri
Beliau
adalah Abi Hasan Yasar Maula Zaid bin Tsabit, dilahirkan dua tahun terakhir
dari pemerintah Umar. Beliau dibesarkan di Madinah dan Hafal al-Qur’an pada
masa Khalifah Utsman, setelah besar ia terus berjuang mempelajari ilmu dan
mengamalkannya. Beliau salah seorang alim yang tinggi derajat, terpercaya, ahli
hujah, ahli ibadah, tinggi ilmunya, fasih, tampan dan nyata, dalam kebaikan.
Beliau meninggal tahun 110 H[7].
C.
Kondisi Politik Islam Pada Masa Tabi’in
dan Perkembangannya
Periode
ini dimulai ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah
terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 hijriah, dan berakhir pada
awal abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132
hijriah.
Zaman
ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fikih, dan
pergolakan politik karena sejak zaman awal berdirinya dinasti ini kaum muslimin
terpecah kepada tiga golongan:
1.
Syiah,
yaitu orang-orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka
menganggap khilafah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan khilafah
menurut mereka sama dengan warisan dari Nabi Muhammad SAW dan bukan dengan cara
bai’at[8].
2.
Khawarij,
yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim (perdamaian) pada zaman
Khalifah Muawiyah lalu mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan mayoritas
mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak,
tegas dan keras, dan tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab[9].
3.
Jumhur
kaum muslimin, yaitu kaum moderat yang memilki sifat adil dan tidak radikal.
Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih
oleh kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini telah memberikan
pengaruh yang besar terhadap perjalanan aliran fikih yang berkembang pada zaman
berikutnya.
Pada
permulaan periode ini, perkembangan tasyri’ dan fikih masih sama dengan apa yang
ada pada zaman sahabat, dimana tidak ada ulama yang secara khusus membahas tentang
fikih, seorang alim mengajarkan masyarakat Al-Qur’an, menafsirkannya,
meriwayatkan sunnah, dan memberi fatwa jika ada masalah. Namun ketika sudah
masuk zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan kita bisa menemukan sekelompok
ulama yang dikhususkan untuk memberi fatwa halal dan haram, lalu setelah itu
mulailah bermunculan para Mujtahidin dengan kemampuan yang berbeda-beda
sehingga pada akhirnya berimbas pada adanya perbedaan fikih seperti yang pernah
terjadi pada zaman sahabat.
D.
Perpecahan Politik dan Aliran Pemikiran
Perbedaan
antara kaum muslimin tentang masalah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Talib
ra telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok.
Walaupun
perpecahan yang terjadi di antara kelompok-kelompok di atas yang merupakan
perpecahan politik, namun juga berimbas kepada aliran-aliran fikih. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan mereka tentang sumber-sumber hukum fikih, karena ada
beberapa masalah fikih yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) politik.
1)
Khawarij
Istilah
ini merujuk pada aksi desersi sebagian pasukan dari kubu Ali dalam Perang
Shiffin pada tahun 27 hijriah antara pasukan Ali dan Muawiyah. Ketika itu
Muawiyah sudah merasa akan kalah, kemudian tentaranya mengangkat mushaf sebagai
tanda agar mereka mengembalikan keputusan kepada Alquran dan Ali bin Abi Thalib
pun menerimanya. Hal tersebut kemudian berimbas kepada keluarnya sebagian kaum
muslimin dari pasukan Ali karena mereka menolak persetujuan damai dan inilah
sebab dari dinamakannya kelompok ini sebagai khawarij atau karena mereka keluar
berjihad di jalan Allah. Mereka dipimpin oleh seorang dari mereka, yaitu
Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi.
Kelompok
ini memiliki beberapa doktrin penting, di antaranya sebagai berikut:
a. Mereka menjadikan
khilafah sebagai hak bagi setiap muslim, tidak hanya terbatas untuk kelompok
tertentu seperti Ahli Bait atau orang-orang Quraisy atau Arab bahkan gelar
khalifah boleh disandang oleh siapa saja bahkan hamba sahaya sekalipun.
Pemilihan harus dilakukan secara umum dan terbuka dari semua kalangan dan
khalifah boleh lebih dari satu jika ada pendukungnya[10].
c. Orang-orang Khawarij
mengingkari qiyas dan tidak menganggapnya sebagai sumber hukum syariat. Mereka
yang menolak ijma’ dan tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang menjadi dasar
adalah sandaran ijma’ jika memang tampak, dan jika tidak tampak maka ijma’
tidak dapat dijadikan dalil.
d. Sebagian mereka ada
yang mengingkari hukum-hukum syariat yang telah ditetapkan berdasarkan ijma’
seperti menggugurkan hukuman rajam bagi seorang pezina, padahal Rasulullah SAW
dan para sahabat pernah melakukan itu dan mereka juga menggugurkan hukuman qazaf
bagi kaum laki-laki, padahal mereka tahu hukuman qazaf telah ditetapkan
kepada orang yang menuduh berzina kaum musliman dan tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Mereka juga mewajibkan memotong tangan seorang
pencuri, baik barang yang dicuri sedikit atau banyak, dan tidak menetapkan
batasan (nisab) tertentu terhadap harta yang dicuri.
Kaum
Khawarij telah terpecah-pecah menjadi sekte-sekte kecil yang cukup banyak
jumlahnya, namun yang paling terkenal dan dekat dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah
adalah sekte Ibadhiyyah, yaitu pengikut Abdullah bin Ibadh, sekte
lainnya adalah an-Najdat pengikut Najdah bin Uwaimar, as-Safariyah pengikut Ziyad bin
al-Asfar, dan Azariqah, pengikut Nafi’bin Azraq[12].
2.
Syiah
Para
pengikut setia Ali menilai bahwa Ali adalah orang yang paling berhak dengan
khilafah daripada yang lainnya setelah baginda Rasulullah SAW wafat. Namun, hal
tersebut tidak menghalangi mereka untuk mengakui kepemimpinan siapa-siapa yang
dipilih oleh kaum muslimin seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan setelah Ali
meninggal karena pemberontakan maka kelompok yang mengatasnamakan cinta Ali bin
Abi Thalib semakin bertambah yang kemudian berubah menjadi sebuah fanatisme
yang berlebih-lebihan, sehingga ada yang mengatakan khilafah setelah Ali harus
diwariskan kepada anak keturunannya dan jika tidak diberikan kepada mereka,
berarti berbuat zalim dan berpura-pura tidak tahu. Pemahaman seperti ini sudah
menyebar dan dianut oleh sebagian kaum muslimin, dan sejalan dengan
perkembangannya, orang-orang yang mengatasnamakan Ali ini kemudian dinamakan
Syiah.
Kaum
Syiah terpecah menjadi beberapa kelompok, dan diantara yang paling terkenal
adalah :
a. Zaidiyyah, yaitu
mereka yang dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Al-Husen bin Ali bin Abi Thalib
dan kelompok ini lebih dekat dengan Ahli Sunnah wal jama’ah[13].
b. Imamiyah
Itsna’asyariyah, dinamakan begitu karena mereka membatasi imam (pemimpin)
kepada dua belas orang, yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang
terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi yang belum mati, bersembunyi, dan akan muncul
di akhir zaman untuk memenuhi bumi ini dengan keadilan yang sebelumnya penuh
dengan kezaliman[14].
c. Isma’iliyah, mereka
berpendapat bahwa kepemimpinan setelah Ja’far bin Muhammad bin Ash-Shadiq hanya
terbatas pada anaknya yang besar, Ismail, kemudian diteruskan oleh anak-anaknya[15].
Kalangan
Syiah juga mempunyai beberapa aliran fikih yang berbeda dengan kaum muslimin,
di antaranya sebagai berikut :
Membolehkan
nikah mut’ah dengan dalil firman Allah SWT: Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), dan kita tahu bahwa mayoritas ulama Islam mengharamkan nikah ini dan
menilai ayat ini ditujukan untuk nikah yang sudah diketahui umum sesuai dengan
susunan redaksi ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang akad yang sudah biasa
dilakukan, setelah sebelumnya ayat membahas tentang wanita yang haram dinikahi.
Dan mahar dinamakan upah juga disebutkan dalam ayat yang lain, firman Allah
SWT: Maka nikahilah wanita-wanita itu dengan izin walinya dan berikanlah upah
mereka, yaitu mahar, artinya mahar mereka dan jumhur ulama mengatakan haram
nikah mut’ah karena Rasulullah sudah mengharamkannya berdasarkan riwayat
terakhir dari beliau.
Orang
Syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab berdasarkan firman
Allah SWT: Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan)
wanita-wanita yang kafir, dan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang
membolehkannya berdasarkan Firman Allah SWT: Dan makanan orang-orang yang
diberi kitab adalah halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminat dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.
Dalam
pemakaian sunnah sebagai sumber hukum, orang Syiah tidak mengambilnya kecuali
hadis-hadis yang datang dari periwayatan ahli bait dan para pengikutnya. Adapun
ijma’, mereka menolaknya sebagai sumber hukum bagi perundang-undangan Islam
karena mengamalkan ijma’, sama artinya dengan mengamalkan pendapat sahabat yang
lain atau tabi’in[16].
Mayoritas
orang Syiah menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak
dikaji dengan pendapat pribadi, namun diambil dari Allah dan Rasul-Nya serta
para imam yang maksum[17].
3.
Jumhur Kaum Muslimin
Yaitu
orang-orang yang bersikap abstain dan tidak ikut-ikutan terjun ke dalam
pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan Ali dan para
lawan politiknya.
Kelompok
ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang tepat
dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran syariat
berdasarkan penjelasan Alquran dan sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari
para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah yang terjadi di antara
sahabat di akhir Khalifah Ali.
Metode
yang dipakai oleh jumhur kaum muslimin ini pada akhirnya melahirkan dua aliran
dalam meng-istinbat hukum syariat[18].
Pertama, kelompok yang
berpegang pada zhahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli
hadis (kaum literalis).
Kedua, aliran yang mencari
illat-illat hukum dan hikmahnya dari nash-nash baik al-Quran dan Sunnah dan
kelompok ini dinamakan ahli ra’yi (kaum rasionalis).
E. Peningkatan
Kreativitas Fikih pada Masa Bani Umayyah
Periode
ini memiliki ciri khas, banyaknya ulama yang memberi fatwa selain banyaknya
permasalahan yang dihadapi oleh para ahli fikih. Ruang perbedaan fikih
pun semakin meluas sebagai bukti bahwa aktivitas fikih pada zaman ini
meningkat dibanding sebelumnya seperti zaman sahabat.
Meningkatnya
aktivitas fikih pada zaman ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
Menyebarnya Para Sahabat Ke Seluruh
Pelosok Wilayah
Umar
bin Khattab melarang para pembesar sahabat terutama mereka yang terkenal
sebagai ahli ra’yi untuk meninggalkan kota Madinah, kecuali dalam keadaan
darurat seperti memimpin pasukan dan memimpin negeri-negeri. Hal tersebut
dikarenakan mereka memang menganut sistem syuro, dan komitmen Umar ini sampai
pada jika ada masalah yang muncul, ia mengemukakannya kepada ahli ra’yi dengan
cara mengirimkan surat dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh positif bagi
lahirnya ijma’ terhadap masalah yang muncul pada zamannya.
Dengan
cara ini kota Madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik bagi negara
Islam karena para sahabat menetap di dalamnya.
Perbedaan
adat istiadat, hubungan sosial, keadaan dan taraf hidup, jenis pekerjaan baik
pertanian dan perdagangan, ilmu, dan wawasan telah memberikan pengaruh yang
besar terhadap perbedaan masalah fatwa pada satu negeri dengan negeri yang
lain, dan sulit untuk membangun komunikasi karena jarak tempuh yang jauh serta
sarana transportasi yang minim. Selain itu, walaupun ada masalah-masalah yang
mirip di beberapa negeri, namun hukumnya tetap berbeda, bahkan terkadang muncul
beberapa pendapat fikih pada satu waktu. Hal tersebut dikarenakan yang menetap
di situ bukan hanya seorang sahabat, namun banyak sahabat yang kemudian
memberikan jawaban yang berbeda-beda dan dari sini para pengikutnya juga akan
berbeda-beda sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari gurunya.
Hubungan
keilmuan antara seorang alim (sahabat) yang menetap pada suatu negeri dengan
penduduknya sangat erat. Buktinya, ada beberapa fatwa dan hukum yang beragam.
Selain itu ada beberapa hadis yang diriwayatkan di Irak, Syam, Mesir, dan
negeri-negeri lain, terdapat perbedaan ilmu pengetahuan di Mekah dan Madinah,
para sahabat berhasil meluluskan ulama tabi’in yang telah mengambil ilmu
mereka dan meraih kedudukan yang mulia dalam ilmu dan agama.
Kondisi
dan dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in sedikit banyak berbeda dengan
kondisi pada masa sahabat dalam hal kebutuhan untuk memperbanyak periwayatan
hadis semakin menguat pada tabi’in. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut:
Luasnya
wilayah kekuasaan negara Islam setelah terjadi banyak penaklukan sehingga
menimbulkan banyak masalah yang perlu diberikan fatwa. Disamping itu, para
fuqaha’ menghadapi kondisi sosial yang beragam dengan adanya orang Persia dan
Romawi serta Kristen Ortodoks.
Jarak
antara satu negeri dengan negeri yang lain sangat jauh dan sulit berkomunikasi
sesama mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis terpaksa meriwayatkan apa
yang dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadang mereka pergi ke Madinah untuk
mengumpulkan hadis dan menghafalnya, apalagi mereka banyak meriwayatkan hadis
dari Rasulullah SAW ada di kota Madinah, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu
Hurarirah, dan Aisyah.
Setelah
Alqur’an mendapat perhatian besar, baik dihafal dan dikaji pada zaman sahabat
sehingga membuat generasi setelahnya tidak berbeda pendapat sesuai dengan
firman Allah SWT:
Sesungguhnya
Kami yang menurunkan al-Quran dan Kami yang akan menjaganya. (QS. Al-Hijr: 9)
Oleh
sebab itu, periwayatan hadis merebak di zaman tabi’in sehingga para
penghafal hadis terpaksa menampakkan hafalannya, yang pada akhirnya memperluas
ruang perbedaan dan perkembangan aktivitas fikih sehingga setiap zaman memiliki
permasalahan, fatwa, dan ketetapan hukum yang berbeda-beda sesuai dengan
kondisi dan ulamanya.
Seiring
dengan merebaknya periwayatan hadis di zaman tabi’in muncul indikasi
pemalsuan hadis yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW yang
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut.
Permusuhan
yang dilatarbelakangi agama. Para musuh Islam senantiasa membuat makar untuk
menghancurkan kaum muslimin, baik Yahudi atau Kristen. Mereka menanamkan
doktrin kekufuran dengan cara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal dan menisbatkannya kepada Rasulullah SAW.
Fanatik
mazhab. Muncul beberapa aliran keagamaan seperti Khawarij dan Syiah, telah
melancarkan lahirnya pemalsuan hadis karena masing-masing kelompok ingin
menjual doktrinnya. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk menguatkannya
dengan membuat hadis palsu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, dan
ini banyak dilakukan oleh kaum radikal dari golongan Syiah.
Fanatisme
sekelompok orang yang menolak hukum yang tidak ditetapkan dengan wahyu. Ada
sebagian orang yang menolak segala sesuatu yang tidak ada hukumnya, baik dalam
Alquran maupun sunnah sehingga membuat mereka menisbatkan hadis atau riwayat
yang memang dari sahabat atau ahli hikmah lalu dinisbatkan kepada Rasulullah
SAW yang kemudian diterima dengan baik oleh kelompok ini. Pemalsuan hadis bisa
terjadi pada matan dan isnad (perawi), bahkan mereka membuat isnad sendiri bagi
sebuah hadis yang dhaif dengan isnad yang masyhur, menukar isnadnya agar tidak
diketahui tentang jahalah dirinya. Munculnya fenomena pemalsuan hadis sangat
mengganggu kerja para fuqaha dalam meng-istinbat hukum karena mereka telah
membuang waktu dan tenaga yang banyak demi memilah hadis untuk memastikan
keshahihan sebuah hadis. Baru setelah itu mereka mengeluarkan hukumnya dan
sudah pasti ini bukan pekerjaan ringan dan banyak tantangan sehingga
memperlambat laju istinbat dan ijtihad.
F.
Munculnya Aliran-aliran Fikih
Dari
penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa tersebarnya para sahabat ke seluruh
pelosok negeri, perbedaan tingkat pemahaman dan daya hafal mereka terhadap
hadis Rasulullah, banyaknya peristiwa dan problematika, adat kebiasaan pada
setiap negeri yang tidak ada pada negeri yang lain kemudian melahirkan corak fikih
yang berbeda-beda dan lain dari fikih negeri yang lain. Inilah yang kemudian
kita namakan aliran fikih seperti fikih Syam, Hijaz, Mesir, Kufah, dan aliran
Basrah serta yang lainnya.
Walaupun
terjadi keberagaman aliran fikih pada zaman ini disebabkan perbedaan sosiologis
yang sulit untuk dihindari, sehingga mereka menganggap perbedaan ini bukan
suatu masalah besar, namun yang menjadikan perbedaan di antara mereka adalah
kecenderungan kepada aliran hadis atau logika (ra’yi) atau mengambil keduanya.
Di sini kita akan membahas tentang madrasah (aliran) ahli hadis di Madinah dan
ahli ra’yi di Kufah.
Ahlu al-Ra’yi
1. Latar Belakang
Kemunculan.
Ahl
Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh
lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok
ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut
Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor, yakni:
Keterikatan
yang sangat kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang
dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang
sering menggunakan ra’yu.
Minimnya
mereka menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis
yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud,
Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di
samping itu, mereka juga meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka
untuk menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka
terhadap hadis dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit.
Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya
hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat
yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang
kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.
Munculnya
berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini
muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu,
terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika
budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus
dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka
untuk menggunakan ra’yu.
2. Keitimewaan Ahlu al-Ra’yu
Para
ulama menyebutkan bahwa Ahl al-Ra’yu memiliki beberapa keistimewaan tertentu,
di antaranya:
Banyaknya
hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak
taqdiri yaitu hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum
muncul ketika itu. Hal ini sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa
baru yang mereka temukan terutama yang berasal dari budaya-budaya lokal yang
lebih dahulum maju ketimbang Islam. Munculnya masalah-masalah baru ini
memberikan dampak terhadap produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fiqh
termasuk dalam melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum
terjadi.
Dalam
pengambilan hukum, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan tetapi
mereka juga memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan
relevansi syari’at dengan peristiwa konkrit. Hal ini dilakukan karena syari’at
dipandang sangat cocok dengan akal (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk
memberikan maslahat kepada manusia.
Seefektifnya
mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang
ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari
kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang
mampu selamat dari kriteria tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah nabi dapat
terpelihara dengan baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul-muncul hadis
da’if dan maudhu’.
3. Tokoh-Tokohnya.
Beberapa
tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:
1. Alqamah bin Qais
an-Nakha’I (w. 62 H).
2. Masruq bin Hajda
al-Hamadzani (w. 63).
3. al-Qadi Syuraih
bin Haris bin Qais (w. 78).
4. Sa’id bin Jubair
(w. 95 H).
5. al-Sya’bi Abu Amr
bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4. Metode dalam Pengambilan
Hukum Islam
Berdasarkan
uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian hukum lebih banyak
menggunakan ra’yu ketimbang hadis. Bila timbul suatu masalah yang memerlukan
jawaban hukum maka mereka terlebih dahulu mencari dalilnya di dalam Alquran.
Bila ketentuan hukumnya tidak mereka temukan, mereka mencarinya di dalam hadis,
yang dalam hal ini mereka memberikan kriteria yang ketat sehingga sedikit
hadis-hadis yang lolos seleksi, meskipun tentu saja tidak berarti bahwa mereka
tidak menggunakan hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis yang menerangkan
masalah tersebut maka mereka menggunakan penalaran, dan penggunaan ra’yu inilah
yang banyak mereka terapkan dalam penetapan hukum.
Termasuk
dari metode penalaran yang mereka gunakan adalah istihsan, yaitu suatu metode
penetapan hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek qiyas dengan arahan utamanya
ditujukan kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan tetapi pola
istihsan yang mereka gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi
berserta murid-muridnya.
Salah
satu contoh yang dapat dikemukakan adalah putusan hukum yang ditetapkan oleh
Qadi Syuraih agar orang yang diberi amanah untuk menjaga barang titipan memberi
ganti rugi bila barang tersebut rusak di tangannya. Padahal menurut hadis nabi
bahwa orang yang menjaga amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi bila barang
titipan rusak di tangannya. Putusan hukum seperti itu yang ditetaokan oleh
Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis tersebut, akan tetapi
beliau memandang perlu menetapkan hukuman agar tidak terjadi peyepelean
terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Dari kasusu ini jelas bahwa putusan
yang diambil Syuraih lebih mengedepamkan aspek ra’yu ketimbang hadis.
Ahlu al-Hadis
1. Latar Belakang
Kemunculan.
Sesuai
dengan namanya, maka ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam
pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu.
Kelompok ini merupakan kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di
Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit,
Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Menurut
para ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya:
a. adanya ketertarikan
terhadap metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah bin Umar yang
sangat kuat berpegang pada hadis.
b. banyaknya hadis yang
mereka peroleh, sebab para sahabat yang hidup pada zaman nabi banyak yang
tinggal di Hijaz terutama di Mekkah dan Madinah.
c. gaya hidup orang
Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak sedinamis dan seheterogen di wilayah
Iraq. masalah-masalah baru yang memerlukan fatwa sangat minim sekali, hal ini
di samping karena penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan
seperti di Iraq.
2. Keistimewaan.
Di
antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok ahl hadis adalah:
a. Sangat kuat berpegang
terhadap hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam penukilan
hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz
adalah siqat.
b. Tidak suka
mempersoalkan atau mendiskusikan masalah-masalah yang belum muncul karena akan
mendorong penggunaan ra’yu.
c. Dalam memahami suatu
nash, sangat berpatokan kepada makna zahir nash dan tidak mendiskusikan lebih
lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
d. Tidak menggunakan
ra’yu kecuali pada saat terpaksa.
3. Tokoh-Tokohnya.
Di
antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang
tujuh, yaitu:
1. Abu Bakar bin Abd
al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubair bin
Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100
H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah
bin Mas’ud (w. 98 H.).
4. Metode Pengambilan
Hukum.
Ahlu
al-Hadis, sesuai dengan namanya sangat menguatamakan penggunaan hadis ketimbang
ra’yu. Setiap permasalahan yang muncul, mereka mencari jawabannya di dalam
Alquran, bila tidak diketemukan, lalu mereka mencarinya di dalam hadis
merskipun berupa hadis ahad, dan bila juga tidak diketemukan maka mereka tidak
mengeluarkan fatwa akan tetapi mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah
sahabat dan tabi’in terutama pendapat para khalifah rasyidun dan para fuqaha
lainnya. Apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, maka dilihat siapa
yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan
pendapat, maka mereka memilih pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka.
Dengan demikian terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa bila
pada sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya[19].
G.
Sumber-sumber Fikih pada Periode Ini
Sumber-sumber
fikih pada periode ini sama seperti periode Khulafaurrasyidin yaitu al-Qur’an,
Sunnah, Ijma dan Ijtihad[20].
Hanya saja, seperti telah dibicarakan diatas, pada periode ini muncul upaya
untuk mengumpulkan dan menulis Hadis. Inisiatif penulisan dan pengumpulan Hadis
periode ini barangkali lebih merupakan
suatu desakan dari munculnya persoalan-persoalan baru yang lebih kempleks
disatu sisi, dan hilangnya kekhawatiran akan timbulnya perhatian yang
berlebihan terhadap Sunnah melalui al-Qur’an.
H.
Munculnya Kecenderungan Baru Fikih
Seperti
telah disinggung di muka, pada periode ketiga dari perkembangan fikih ini
muncul kecenderungan dari berbagai beberapa fuqaha yang berdomisili di Irak
untuk menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan menganggap hukum
syariat sebagai suatu takaran rasionalitas. Kecenderungan baru ini mendapat
tanggapan cukup keras dari fuqaha’ Hijaz yang menganggap hukum sebagai
ketentuan ilahi yang tidak dapat dirasionalisasi.
Berbeda
dengan fuqaha’ Irak yang gemar menyelami suatu hukum, mencari illat dan
tujuan-tujuan moral dibalik hukum yang tampak, fuqaha’ Hijaz malah memahami
nash-nash secara sangat literal (dhahiri) dan menganggap fatwa sahabat juga
sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dan Sunnah perkembangan dari kedua
kecenderungan fikih ini memunculkan kedua fakultas dalam fikih: fakultas ahli
hadis dan ahli ra’yi.
Lahirnya
dua fakultas ini ternyata sangat dipengaruhi
faktor sosial budaya yang membentuk karakteristik, teori dan formula
yang berbeda-beda, meskipun sama-sama berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber utama.
Selain
itu beberapa ulama berpegang pada nash-nash secara literalis seperti Abdullah
bin Umar di Hijaz, dan sebagian yang lain berusaha menggali illat dan
tujuan-tujuan moral hukum seperti Ibnu Mas’ud di Irak.
Dari
segi kultural. Irak adalah daerah yang jauh dari bumi kenabian dan bumi Hadis
. Irak adalah daerah terbuka yang banyak mendapat pengaruh kebudayaan dan
peradaban lain. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada berbagai persoalan
hidup berikut problematikanya yang beraneka ragam. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan Rasio.
Keadaan
ini berbeda dengan di Madinah dan Hijaz. Saat itu, pinjam istilah Ibnu Khaldun,
Madinah merupakan gudang ilmu Islam. Dengan itu mereka praktis hanya
mempelajari ilmu pengetahuan dari para ulama’ dan guru-guru Madinah. Selain
itu, masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan sederhana,
seperti keadaan pada masa Nabi saw. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para fuqaha
merasa cukup dengan hanya mengandalkan pemahaman literal terhadap Al-Qur’an,
Sunnaah dan Ijma Sahabat, karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad
seperti Fuqaha Irak.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Tabi’in adalah setiap muslim
yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu
dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
2. Secara umum pada era tabi’in mereka lebih
mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka
merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari
keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka
sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
3. Metode yang dipakai
oleh jumhur kaum muslimin ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam
meng-istinbat hukum syariat.
Pertama, kelompok yang
berpegang pada zhahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli
hadis yang berkembang di Hijaz.
Kedua, aliran yang mencari
illat-illat hukum dan hikmahnya dari nash-nash baik Alquran dan sunnah dan
kelompok ini dinamakan ahli ra’yi yang berkembang di Irak.
B.
Saran
Di dalam
penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa terdapat banyak
kekurangan yang sempat terselip pada setiap lembaran didalamnya. Untuk itu,
penulis berharap agar para pembaca secara terbuka dapat memberikan masukan dan
kritikan serta-merta sebagai perbaikan dan penyempurnaan makalah ini
kedepannya.
[1] Dr. Muhammad
Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islam (Cet II;Damaskus: Dar al-Makrifah,
2005), h. 87-89.
[10] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul
Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 2009), h. 70.
[11] Muhammad Sa’id
Ramadan al-Bouty, al-Mazahib at-Tauhidiyah wa al-Falsafah at-Tauhidiyah (Cet
I; Damaskus: Dar al-Fikr, 2008), h. 59.
[12] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul
Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2009), h. 70.
[13] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul
Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2009), h. 50.
[14] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul
Mazahib al-fiqhiyah, h. 54.
[15] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul
Mazahib al-fiqhiyah, h. 60.
[16] Muhammad Syarif
Adnan as-Sawwaf, Baina as-Sunnah wa as-Syiah Dirasah Tarikhiyah Usuliyah
Fiqhiyah Muqaranah (Cet I; Damaskus: Bait al-Hikmah, 2006), h. 322.
[17] Muhammad Syarif
Adnan as-Sawwaf, Baina as-Sunnah wa as-Syiah Dirasah Tarikhiyah Usuliyah
Fiqhiyah Muqaranah, h. 337.
[19] Ahlu al-Ra’yi
dan Ahlu al-Hadis http://amirsabri.blogspot.com/2013/01/al-rayi-dan-al-hadis.html
[20] Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikhul
Mazahib al-fiqhiyah (Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi’, 2009), h. 268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar