AKAN SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERBUAT

Safaruddinufe1121@gmail.com

TRANSLATE



JapaneseGermanEnglishFrenchSpainChinese SimplifiedArabicRussian

Translate

visitor

Sabtu, 02 November 2013

IMPLEMENTASI UUD NO 20 TAHUN 2003



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan yang paling pokok dalam menentukan kemajuan dan kondisi suatu bangs@. Maju mundurnya suatu bangs@ ada di tangan pendidikan. Sehingga baik buruknya sisitem pendidikan akan berdampak pada kualitas bangs@ itu sendiri. Ketika pro$es pendidikan berjalan terarah dengan baik, maka peradaban bangs@ pun akan menjadi lebih maju. Tetapi sebaliknya, jika pro$es pendidikan tidak berjalan pada garis tujuan yang telah ditetapkan, maka pendidikan akan menjadi tidak terarah dan hanya akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia.
Sistem pendidikan di Indonesia telah mengatur dan mendefinisikan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangs@ yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangs@, bertujuan untuk berkembangnya pot#nsi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis  serta bertanggung jawab.
Namun, sampai saat ini tujuan tersebut belum tercapai. Hal ini disebabkan karena sistem penyelenggaran pendidikan tidak sesuai dan sejalan dengan definisi peserta didik yang dijelaskan dalam UU No 20 tahun 2003. Gagalnya pencapaian tujuan pendidikan merupakan akibat dari sistem pendidikan yang tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan pot#nsi, bakat dan minatnya. Oleh karena itu, perlu kita pahami dan renungkan bersama, apa yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab peserta didik serta hak dan kewajibannya guna mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Masalah apa saja yang muncul dalam pro$es implementasi undang-undang tersebut?
2.      Upaya apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut?

























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Di Era Globalisasi
Eksistensi pendidikan di era globaisasi dewasa ini, semakin dirasakan sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak dalam menjawab berbagai tantangan dan arus tuntutan perubahan yang ada. Dalam merespon kondisi faktual empiris, pendidikan yang dinilai eksis sudah barang tentu menjadi obat penawar bagi masyarakat dalam upaya membentuk sosok g#nerasi yang berdaya guna dan berhasil guna pada masa yang akan datang. Namun di sisi lain pada kenyataanya pendidikan hari ini mengalami berbagai krisis seperti; siswa kurang beretika, kurang disipin dll.
Menurut Charles Silberman hal tersebut terjadi bukan lantaran pendidikan itu bersifat teramat peraktis, tetapi karena kegagalan dalam membekali calon guru dengan sebuah perasaan akan adaanya sebuah tujuan tertentu, sebuah filosofi pendidikan. Keterampilan tanpa kesadaran diri adalah berbahaya,karena keterampilan hanya cenderung untuk menguang-ulang apa yang perna dikerjakan, sementra kesadaran diri membuka jalan untuk pertumbuhan.[1]
Disadari atau tidak, sistem pendidikan di Indonesia masih lebih mengedepankan sisi kognitif peserta didik. Hal ini menyebabkan banyak pendidik maupun masyarakat kita memandang bahwa anak yang tidak pandai dalam mata pelajaran di sekolah adalah anak yang bodoh. Padahal belum tentu bodoh, karena bisa saja anak tersebut mempunyai pot#nsi dan bakat yang lebih unggul dalam bidang lain, misalnya olahraga, seni ataupun bidang lainnya. Pandangan tersebut menyebabkan adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pada anak. Dan dengan adanya perbedaan perlakuan tersebut justru akan semakin menyebabkan anak menjadi lemah serta merasa bahwa pot#nsi yang dimilikinya tidak dihargai. Sehingga pada akhirnya, anak terpaksa mengikuti suatu bidang pelajaran atau pendidikan yang sebenarnya tidak ia sukai dan akan semakin mengubur bakat serta minat anak yang sesungguhnya ia bisa lebih unggul dari anak yang lain.
Selain itu, para pendidik juga cenderung menyamaratakan kemampuan siswanya. Padahal setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda, misalnya kecepatan memahami pelajaran, kemampuan mendengarkan, melihat, menulis atau membaca, masing-masing mempunyai tingkat kemampuan dan daya serap yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Karena sejak masa konsepsi sampai meninggal dunia individu tidak perna bersifat statis melainkan mengalami perubahan-perubahan yag bersigfat progresif dan berkesinambungan[2]. Ini dipengaruhi oleh adanya bakat atau pembawaan, sifat-sifat keturunan, dorongan dan instink.
Kenyataannya para guru sering memaksa kemampuan siswa agar selalu sama. Dan sekali lagi guru menganggap siswa yang mempunyai daya serap rendah adalah siswa yang bodoh. Kenyataannya pada puncaknya merupakan pengetahuan personal, merupakan sebentuk kesadaran akan pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan seseorang sendiri, pada puncaknya, tiap orang diantara kita tak bisa diubah lagi terkunci dalam kesadaran pribadi.
Bukti yang melatar belakangi atau menggaris bawahi kesadaran adalah landasan prilaku(landasan bihavioristik) yang bersifat pra sadar, yang diperlukan bgi seluruh pengaaman apapun. Semua pengalaman disebabkan oleh dan diperangai lewat rilaku fisik. Keyakinan yang bersifat relative terhadap tindakan, namun tindakan tidak bersifat relative terhadap prilaku. Kita menjumpai apa yang subjektif  secara objektif. Pengalaman personal secara analisis bisa diturungkan menjadi prilaku.
Pendidikan berperan sebagai pusat perubahan kontruktif saat ini, tapi dalam lembaga-lembaga pendidikan tetap saja sulit untuk dirubah paham pembentukan peserta didik pada wiayah kognitif. Theodore R. Sizer, mengatakan “sebuah kkualitas aneh dalam dunia pendidikan adalah bahwa, sementara kebanyakan orang mengalaminya secara pribadi, hanya segelintir orang yang mempeajarinya secara serius.
Satu dari sekian hal yang membuat sekolah-sekolah kita selama ini mencengangkan adalah persis adanya kenyataan bahwa sekolah-sekolah itu dengan seenap ketidakpedulian  dan kesalah pahaman dalam ruang lingkup yang lebih kecil memantulkan konflik-konflik intelektual dan moral dalam budaya yang lebih luas. Ironisnya pertanyaan tentang apa arti pendidikan dan bagaimana seharusnya pendidikan itu telah diatur dalam perundang-undangan. Sekolah-sekolah itu menjadi sadar diri, seperti kebanykan peserta didik yang menuntut ilmu di dalamnya, mereka mnghadapi krisis jati diri.
Fakta lain, menunjukkan bahwa pendidikan yang seharusnya dapat dinikmati oleh setiap anak ternyata tidak sesuai fakta. Banyak anak,  terutama dari masyarakat yang kurang mampu (miskin) tidak dapat bersekolah karena ketiadaan biaya. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk biaya makan dan kebutuhan sehari-hari pun mereka harus bersusah payah mencari nafkah. Bahkan terkadang sampai ada satu keluarga yang tidak makan sampai beberapa hari karena tidak mempunyai apa-apa. Padahal, sudah tertulis jelas dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 bahwa setiap anak berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya. Dan di dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 tahun 2008 pasal 27 pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mempu membiayai pendidikannya.[3]
B.     Upaya yang Harus Dilakukan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan
Demi terwujudnya sistem pendidikan nasional, maka pemerintah perlu melihat fakta di lapangan, bagaimana penerapan kebijakan yang telah ditetapkan. Apakah sudah dapat dilaksanakan dengan baik atau belum. Apabila memang sudah berjalan dengan baik, maka pemerintah boleh saja menambah kebijakan-kebijakan baru yang akan semakin meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, apabila kebijakan tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik, seharusnya pemerintah menyadari dan harus segera mengevaluasi kekurangannya agar segera ditemukan solusi untuk mengatasi kekurangan tersebut termasuk menghentikan kebijakan, karena dipandang bahwa kebijakan tersebut tidak ada manfaatnya atau tidak terlaksana dengan baik dan tidak mampu menunjang program pendidikan. Pemerintah jangan hanya pandai membuat kebijakan, tetapi tidak dapat mengevaluasi hasil dari kebijakan itu sendiri. Ini di dasari denga adanya peraturan pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan bahwa evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah.[4] Evaluasi tersebut dilaksanakan minimal sekali setahun.
Evaluasi kinerja pendidikan diharapkan mampu menunjukkan bahwa program  berjalan sesuai dengan rencana dan memberikan hasil yang baik. Karena program tersebut telah berjalan dengan baik maka diharapkan agar waktu berikutnya lebih ditingkatkan lagi.[5]
Bagaimanapun juga, tercapainya tujuan pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya karakteristik tertentu dalam pro$es dan produk pendidikan selama dan setelah berlangsungnya pro$es pendidikan.  Dan salah satunya adalah pemenuhan hak dan kewajiban bagi peserta didik. Peserta didik merupakan sumber daya manusia yang harus dikelola dengan baik, karena merupakan aset negara. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan hal ini dengan baik.
Jangan sampai pendidikan yang diterapkan di Indonesia tidak mampu memberikan ruang bagi pengembangan pot#nsi, minat serta bakat peserta didik. Dan dalam masalah biaya pendidikan, pemerintah perlu mensosialisasikan kembali kebijakan tersebut, sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama bagi warga yang kurang mampu dan memiliki prestasi.
Pada akhirnya sekolah diharapkan mampu menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperukan oleh siswa untuk belajar secara efektif bagi diri sendiri, mengajar para siswa untuk memcahkan masalah praktis lewat penerapan tatacara-tatacara penyelesaian masalah secara individual mauun kelompok yang didasarkan pada metode-metode ilmiah rasional.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Beberapa fakta dalam pembahasan diatas  membuktikan bahwa implementasi undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, khususnya dalam pemenuhan hak dan kewajiban peserta didik belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Banyaknya kasus yang terjadi di lapangan seharusnya dapat menjadi suatu hal yang harus segera dicarikan solusi, khususnya pemerintah dalam hal ini untuk mencari alternatif ataupun solusi lain guna menangani kasus yang ada demi terwujudnya pendidikan yang baik dan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul untuk mencapai tujuan pendidikan.
B.     Saran











DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi,Abdul Jabar Cepi Safruddin, Evaluasi Program Pendidikan,Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Desmita,Psikologi Perkembangan Peserta Didik,Bandung: 2009.
Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Badan Pendidikan Nasional, Bandung: Media purana, 2009.
O’neil Wyilliam F., Ideologi-Ideologi Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008.
Redaksi Sinar Grafika,Standar Nasional Pendidikan,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.



[1] Wyilliam F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan,(Cet II; Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), h. 5
[2] Desmita,Psikologi Perkembangan Peserta Didik,(Cet. I; Bandung: 2009),h. 9
[3]Op, CitHimpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia,h. 197
[4] Redaksi Sinar Grafika, standar nasional pendidikan,(Cet III; Jakarta: Sinar Grafika, 2008),h. 44
[5] Suharsimi Arikunto,Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan,(Cet. I; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004),h. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar