AKAN SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERBUAT

Safaruddinufe1121@gmail.com

TRANSLATE



JapaneseGermanEnglishFrenchSpainChinese SimplifiedArabicRussian

Translate

visitor

Senin, 28 Oktober 2013

SEJARAH PERADABAN ISLAM



Makalah Sejarah Peradaban Islam

PEMBENTUKAN MASYARAKAT ISLAM
PERIODE KENABIAN


 






MAKALAH

Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Semester 1 Tahun Akademik 2013/2014

Oleh:
BASO SAFARUDDIN


Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Rahim Yunus, M.A
Dr. Hasaruddin, M.Ag


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013


I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradaban merupakan perwujudan kemajuan mekanis dan teknologi atau suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[1] Atau defenisi yang ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradaban dimaknai sebagai kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin atau hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.[2] Dari semua defenisi yang telah dibuat oleh para cendekiawan dapat disimpulkan bahwa ia adalah penjelmaan akal dan rasa manusia. Hal ini berarti bahwa manusialah yang menciptakan peradaban, dengan kata lain peradaban bersumber dari manusia.[3]
Hanya saja bila peradaban dikaitkan dengan Islam maka tentunya peradaban tersebut terkait dengan agama samawi. Agar sempurna pengertian mengenai peradaban Islam maka harus pula dikaji terlebih dahulu makna atau defenisi Islam itu sendiri, karena dengan pemahaman tersebut, akan mengantarkan pada batas awal mulainya peradaban Islam.
Banyak defenisi yang diajukan ulama mengenai Islam, ada yang melihatnya dari aspek bahasa sehingga dipahami bahwa Islam yang merupakan bentuk masdar dari kata aslama yang berarti “berserah diri” atau ia berasal dari kata al-salam yang berarti “kedamaian”, sehingga Islam adalah sebuah bentuk penyerahan diri kepada Tuhan dengan sepenuhnya disertai sikap yang membawa kedamaian kepada sesama.[4] Sebagaimana sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan dari Amr bin ‘Absah bahwa suatu ketika Rasulullah ditanya mengenai Islam. Beliau memberikan penjelasan singkat, “Islam adalah engkau menyerahkan hatimu kepada Allah, serta orang lain pun selamat dari keburukan lidah dan tanganmu”.[5]
A. Hasjmy juga mengutip sebuah defenisi yang dipahami dari QS. Ali Imran [3] : 19, bahwa Islam adalah semua agama yang datangnya dari Allah, baik yang didatangkan dengan perantaraan Rasul-Nya yang pertama, maupun yang didatangkan dengan perantaraan Rasul-Nya yang terakhir (Muhammad saw.). Dengan kata lain, semua Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah sebenarnya membawa agama yang sama yaitu Islam, yang berbeda hanyalah syari’atnya atau aplikasi ritualnya.[6] Dari pengertian ini, dipahami bahwa bila berbicara mengenai Islam maka tidak cukup dibatasi sejak masa Rasulullah saw. akan tetapi mesti dimulai dari Nabi Adam as. sebagai utusan Ilahi yang membawa ajaran Islam yaitu tauhid kepada Sang Pencipta.
Akan tetapi pembahasan ini terkait dengan peradaban, sehingga penulis lebih condong mendefenisikan Islam seperti penjelasan Abdul Qadir Audah seorang ulama dan politikus Mesir- sebagaimana yang dikutip oleh A. Hasjmy;
  1. Al-Islam ‘Aqidah wa Nizam (Islam adalah kepercayaan dan sistem).
  2. Al-Islam Din wa Daulah (Islam adalah agama dan negara).[7]
Dari pengertian di atas diketahui bahwa Islam atau peradaban Islam dimulai sejak Nabi Muhammad saw, di samping beliau yang memproklamirkan istilah “Islam”, juga Islam yang dibawa oleh beliau sudah mengatur dan memformat sebuah sistem keagamaan dan kenegaraan. Betul, di antara Nabi yang pernah diutus oleh Allah sebelum Nabi Muhammad memiliki kewajiban ganda karena di samping menjadi Nabi atau pemimpin agama juga sebagai seorang raja, misalnya saja Nabi Daud dan Nabi Sulaiman as. hanya saja sepanjang pengetahuan penulis, tidak ditemukan literatur yang menunjukkan sistem dan cara kedua Nabi tersebut dalam memimpin umatnya baik agama maupun kerajaan, kecuali beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang notabene ia diturunkan kepada Nabi Muhammad. Sehingga wajar bila pengkajian peradaban Islam dimulai dari Nabi Muhammad.
Karena itulah peradaban Islam yang dimaksud di sini adalah manifestasi dari keyakinan seorang muslim sebagai hamba Allah dan kesadaran diri akan kehidupan bersama dalam masyarakat dunia sesuai dengan ajaran Islam yang pernah dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw.
Banyak fakta yang membuktikan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang berperadaban karena telah mengantarkan bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain menjadi bangsa yang maju. Bangsa yang dulunya kurang ajar menjadi bangsa pengajar. Bangsa yang dulunya biadab menjadi bangsa yang beradab. Islam telah membawa bangsa Arab khususnya dan umat muslim secara keseluruhan menuju pintu keagungan lewat keberadaannya sebagai rahmatan li al-‘alamin.
Peradaban Islam yang dimulai sejak Nabi Muhammad memungkinkan dan memang mengharuskan para pengkaji dan penelitinya untuk memulai kajiannya dari sejarah dan kehidupan Nabi. Apatah lagi memang Rasulullah adalah sosok teladan yang mulia dalam sebuah peradaban. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa “sesungguhnya dalam diri Rasulullah ada suri teladan yang baik bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah”.[8] Demikian firman Allah menyatakan kemuliaan Nabi Muhammad, bahkan non-muslim pun banyak mengomentari kemuliaan Nabi.
Bahkan non-muslim seperti Sir George Bernard Shaw dalam buku The Genuine Islam, vol. 1, no. 8,1936 menyatakan bahwa jika ada agama yang akan menguasai Inggris dan Eropa dalam abad mendatang mungkin itu adalah Islam. Muhammad adalah orang yang mengagumkan dan pantas disebut Penyelamat manusia (The Savior of Humanity), begitu katanya.
Mahatma Ghandi, dalam pernyataan yang diterbitkan di “Young India”, tahun 1924 menyatakan bahwa bukanlah pedang yang menyebarkan Islam. Tapi kepedulian, keberanian, dan keimanan Nabi kepada Tuhan yang menyebabkan itu. Ketika saya menutup buku jilid kedua dari kisah Nabi Muhammad, saya menyesal karena tidak ada lagi yang dapat dibaca.
Lagi pula, Muhammad yang kala itu pengikutnya hanya istri dan keponakannya, Ali, tidaklah mungkin bisa menyebarkan Islam dengan pedang. Karena kepribadiannya dan kebenaran Islamlah maka orang-orang berbondong-bondong memeluk Islam. Jika pun ada perang, maka itu tak lebih dari membela diri sebagaimana diketahui bahwa tiga perang besar pertama seperti perang Badar, Uhud dan Khandaq terjadi di kota tempat tinggal umat Islam di Madinah ketika mereka diserang kaum kafir Mekkah bersama sekutunya. Begitu pula perang Mu’tah terjadi di tanah Arab ketika tentara Romawi yang beragama Kristen menyerang untuk menghancurkan Islam.[9]
Karena itu pulalah, penulis berusaha menyusun sebuah makalah yang berbicara mengenai pembentukan masyarakat Islam pada masa kenabian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Metode apa yang diakukan oleh Nabi dalam menbentuk masyarakat Islam?
2.      Bagaimana keadaan masyarakat Islam pada masa kenabian?




II
PEMBAHASAN
A.    Metode Nabi dalam Membentuk Masyarakat Islam
Perkembangan masyarakat Islam hari ini tidak terlepas dari kemajuan yang telah diraih oleh masyarakat Islam pada masa awal, Islam lahir di tengah keterpurukan peradaban manusia di zaman jahiliah dengan tantangan yang begitu dahsya serta bertubi-tubi dari berbagai golongan yang tidak memiliki keinginan untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka.
Masa awal hadirnya Islam berdasarkan literatur yang telah ada yakni pada saat Muhammad berusia empat puluh tahun, datanglah malaikat Jibril atas izin Allah menghadap kepadanya yang pada saat itu sedang berkontemplasi ke Gua Hira beberapa kilometer di utara Mekkah. Di sana Muhammad dilantik oleh Allah menjadi seorang Nabi yang ditandai dengan turunnya al-Qur’an atau wahyu pertama pada malam 17 Ramadhan tahun 611 M,[10] yaitu QS. Al-‘Alaq [96] : 1-5.
Turunnya wahyu ini, dianggap sebagai awal pelantikan beliau sebagai seorang Nabi, adapun pelantikannya sebagai seorang Rasul adalah ketika QS. Al-Muddattsir [74] : 1-7 diturunkan oleh Allah kepada beliau.
Berdasarkan hal tersebut, pnulis beranggapan bahwa Rasulullah dalam membentuk masyarakat dipesankan oleh Allah untuk memiliki kemampuan membaca situasi dan kondisi masyarakat lingkungannya. Bukan sebatas membacakan apa yang ingin disampaikan (al-Qur’an) tetapi juga membaca kepada siapa dan bagaimana kondisi yang menerima wahyu itu. Ini dipahami dari kata iqra’ yang oleh ulama tafsir dimaknai sebagai kata yang menunjukkan bacaan terhadap sesuatu yang tertulis dan tersirat,[11] berbeda dengan kata tala yang konotasinya hanya sebatas pada bacaan yang tertulis.[12] Apalagi kata perintah pada ayat tersebut iqra’ merupakan perintah yang tidak disebutkan obyeknya yaitu mengenai sesuatu yang mesti dibaca. Sedangkan ulama tafsir telah menetapkan sebuah kaidah bahwa ketika ada perintah atau kata kerja yang membutuhkan obyek, namun obyeknya tidak disebutkan maka perintah tersebut berlaku umum.[13]
Demikian pula dengan wahyu yang kedua yang telah mengintruksikan kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalahnya kepada pihak lain, di sini tampak sebuah cermin keteladanan yang agung. Di mana Rasulullah saw. sebelum mengajak perubahan kepada orang lain diminta oleh Allah untuk menciptakan perubahan itu dalam pribadinya. Dengan adanya perintah “besarkan Tuhanmu, bersihkan pakaianmu, tinggalkan perbuatan dosa, jangan memberi karena mengharapkan balasan serta bersabar dalam tugas.”
Intruksi ini direalisasikan oleh Rasulullah dengan memulai dakwahnya secara diam-diam di lingkungannya sendiri dan di kalangan rekan-rekannya, seperti; Khadija orang pertama yang masuk Islam, kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib.[14] Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka yang kemudian dilanjutkan dengan menyeru masyarakat umum.[15]
Dalam perjuangan Nabi menyampaikan agama Allah, beliau banyak mendapatkan tantangan dan cobaan namun dengan semangat wa li rabbika fasbir beliau hadapi semuanya dengan baik. Sehingga peranannya sebagai pemimpin agama tidak perlu diragukan dan diperpanjang lebar karena sudah jelas akan kepemimpinan tersebut.
Kaitannya dengan hal ini, penulis hanya ingin melihat pada dua aspek yang sedikit banyaknya menjadi kunci keberhasilan Nabi menanamkan semangat keberagamaan kepada umatnya sehingga mampu menciptakan sebuah peradaban yang maju.
Pertama, Rasulullah menyebarkan Islam dengan kasih sayang, kelembutan dan kebijaksanaan tinggi. Banyak ayat dan dalil yang menunjukkan hal tersebut, bahkan di dalam al-Qur’an sendiri Allah menegaskan, “Sekiranya kamu bersikap keras dan berlaku kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu…”.[16]
Kedua, Rasulullah dalam perjalanan hidupnya diklasifikasi dalam dua periode, Mekkah dan Madinah. Selama berada di Mekkah kurang lebih 13 tahun, Rasulullah lebih menekankan dakwahnya pada aspek tauhid dan pengesaan kepada Tuhan, sehingga di sini ada sebuah isyarat bahwa Nabi mampu melahirkan sebuah peradaban keilahian (peradaban Islam), karena pondasi perjuangannya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[17] Pengakuan dan kesadaran akan keberadaan Ilahi akan mengantarkan seseorang kepada kepribadian yang luhur, jujur, dan mulia sehingga secara otomatis pelaksanaan sistem keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan akan berjalan dengan baik. Dan itulah yang dibuktikan Rasulullah dalam membangun peradaban Islam.
Periode ini dimulai sejak Nabi mendapatkan wahyu hingga diperkenannnya hijrah ke Madinah. Karakteristik utama pada periode ini adalah penanaman pondasi dalam tatanam kehidupan masyarakat dengan landasan; akidah tauhid. Landasan ini dapat dengan mudah dilihat dari wahyu yang turun dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah ma nazala qabla al-hijrah wa inkana bi al-madinah (ayat-ayat yang turun sebelum hijrah meskipun ia turunnya di Madinah) serta sabda-sabda Nabi pada masa tersebut. Secara umum, Shofiyyurrahman al Mubarakfury dalam kitabnya Al-Rahiq al-Makhtum menjelaskan fase da’wah Makkiyah kedalam tiga tahapan; 1) da’wah secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun, 2) da’wah dengan terang-terangan dimulai sejak tahun keempat kenabian hingga akhir tahun ke sepuluh, dan 3) tahapan da’wah di luar Makkah dan penyebarannya yang dimulai dari tahun kesepuluh hijriyah hingga hijrahnya nabi ke Madinah.
Dari fakta sejarah tersebut, Rasulullah faham betul bahwa tidak mungkin mendirikan sebuah tatanan kemasyarakatan yang monumental untuk sepanjang sejarah, jika tidak dimulai dengan sesuatu yang esensial yiatu aqidah.
Pada masa ini ada beberapa catatan sejarah yang mencerminkan kegiatan da’wah Nabi sebagai seorang visioner sehubungan dengan pembentukan masyarakat beraqidah sebagai cikal bakal peradaban masyarakat Islam.
1.      Membangun markas intelektual, tarbiyah dan pengkaderan di rumah Arqam bin Abil Arqam al Makhzumi. Ini adalah tempat dimana Nabi menyampaikan Islam secara lebih mendalam kepada para sahabat serta pembicaraan lainnya menyangkut strategi dan perjuangan da’wah Islam.
2.      Nabi menunjukkan ketagaran luar biasa dalam menolak setiap tawaran “damai” untuk tidak lagi menyebarkan ajarannya.
3.      Nabi mencoba melakukan infasi da’wah ke Habasyah dengan mengutus sejumlah sahabat dibawah pimpinan sahabat Ja’far bin Abi Thalib ra. Sebagaimana analisa Dr. Abdul Qadir Abu Fariz, meski diterima oleh Raja Najasi, namun kondisi disana tidak memungkinkan untuk dikembangkan da’wah secara lebih agresif melihat kondisi internal kerajaan yang dikelilingi oleh Rabi-rabi Nashrani yang memegang kuat kepalsuan aqidahnya sementara raja tak mampu manampakkan keIslamannya. Di sini para sahabat yang berjumlah 38 orang selama empat tahun bahkan tidak mendapatkan pengarus jumlah yang signifikan dari penduduk setempat untuk menerima da’wah Islam. Inilah yang membedakan Madinah dengan Habasyah.
4.      Nabi melihat Tha’if sebagai daerah alternatif. Ketika itu Tha’if merupakan basis strategi bagi pemerintahan Quraisy. Bahkana kablilah Quraisy pernah berupaya untuk merangkul Tha’if ke pangkuannya dan mereka juga pernah masuk ke Wadi Waj karena di Wadi Waj itu banyak terdapat lahan perkebunan dan pertanian. Sehingga, ketika kabilah Quraisy khawatir terhdap suku Tsaqif, lalu mereka bersekutu dengan Bani Tsaqif serta dimasukkan juga ke dalam sekutu Bani Dhaus. Dahulu, mayoritas orang Kaya Makkah memiliki kekayaan di Tha’if dan mereka menghabiskan musim panas di sana. Tha’if adalah tanah arab yang paling subur dan menjadi perhatian dan ambisi. Namun pada episode ini, da’wah dinegeri ini tidak mendapat sambutan baik, justeru sebaliknya Nabi mendapat kecaman dan perlakuan sangat buruk.
5.      Mengadakan strategi da’wah ke kota Madinah melalui ahlul bai’ah Aqabah pertama (Syugra) dan Bai’ah ke dua (Kubra).
Olehnya itu, Universalisme Islam (syumuliyah al Islam) yang menjadi karakteristik agama ini tidaklah lahir kecuali dari tauladan dan kepribadian Nabi yang dipotret dari banyak sisi (zu al-wujuh). Inilah sebabnya, tidak mungkin seseorang memaknai Islam, memahami dan mengamalkan ajarannya jika ia tidak mampu melihat karakteristik kehidupan Nabi dari dimensi-dimensi yang ada. Salah satu dimensi yang akan menjadi bahasan pada tulisan kali ini khusus pada bagian berikut adalah tentang keadaan masyarakat Islam pada masa kenabian. Apa yang disebutkan oleh John L Esposito bahwa sejak kemunculan Islam di Arab Saudi (sekarang) Islam talah berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang di dalam agama menyatu terhadap Negara dan masyarakat menjadi menarik untuk dibuktikan. Bahkan lebih tegas lagi Esposito menyebutkan data sejarah, bahwa ketika Nabi Muhammad dan pengikutnya hijrah dari Makkah ke Madinah, maka posisi Nabi di sana adalah sebagai; seorang Nabi, Kepala Negara, Panglima Pasukan, Hakim Agung dan pembentuk hukum.[18] Artinya pada masa tersebut peradaban masyarakat Islam telah berkembang.
B.     Keadaan Masyarakat Islam Pada Masa Kenabian.
Kepemimpinan Nabi Muhammad saw tidak sebatas pada urusan agama semata, akan tetapi beliau juga pemimpin sebuah negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistem kenegaraan. Berbeda dengan Nabi-nabi sebelumnya, sebut saja Nabi Musa as. beliau diutus hanya untuk agama, sehingga ketika Nabi Musa wafat, atau telah menyelesaikan tugas kerasulannya, umat yang ditinggalkan tidak mengerti bagaimana mengatur sebuah negara. Oleh sebab itu, Bani Israil memohon kepada Allah agar mengutus seorang raja yang mengerti urusan ketatanegaraan, peperangan, dll. “Pemuka-pemuka Bani Israil berkata, “Sesudah wafat Nabi Musa, angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang di bawah pemimpinnya di jalan Allah”.[19]
Kesempurnaan Islam terlihat jelas kepada praktek kehidupan Nabi saw. dalam menjalankan agama mengatur masyarakat, dan keluarganya. Kemampuan Rasulullah saw. dalam mengatur masyarakat baru terlihat ketika beliau berada di Madinah, atas permintaan orang-orang Madinah kepada Nabi saw, ketika peristiwa Bai’at al-‘Aqabah pertama sebanyak 12 orang datang ke ‘Aqabah (tidak berapa jauh dari tempat pelontaran jumrah ‘Aqabah ± 150 meter) menyatakan diri masuk Islam dan siap mematuhi segala perintah Nabi,[20] dan 1 tahun berikutnya datang sebanyak 72 orang lagi, masuk Islam dan sekaligus mengajak Nabi Muhammad saw, untuk pindah ke kota Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at al-‘Aqabah kedua.[21]
Kedua peristiwa penting ini, menjadi catatan sejarah awal kekuasaan Rasul saw., dalam membangun negara Madinah, atas permintaan penduduk Madinah, dengan harapan dapat mendamaikan suku Aws dan khazraj yang selalu brmusuhan,[22] bukan dengan cara “berjualan politik” seperti yang terlihat dalam fenomena politik sekarang ini. Dan yang paling mengagumkan dalam kedua perjanjian itu bahwa inti dari kesepakatan tersebut tidak berbenturan dengan teori politik modern yang dibangga-banggakan oleh masyarakat sekarang, yaitu melakukan “kontrak social” dengan calon pemimpin. Bukankah di antara butir-butir perjanjian ‘Aqabah pertama dan kedua tersebut yang notabenenya berhubungan erat dengan kontrak sosial, penduduk Madinah merelakan dirinya untuk dipimpin dan merelakan sebahagian hak mereka untuk diserahkan kepada Nabi saw, dan sebagai konpensasinya Rasulullah saw berkewajiban melindungi masyarakat Madinah[23] dan itu adalah sebagian dari tugas dan kewajiban kepala negara sekaligus merupakan embrio berdirinya negara Islam Madinah.
Saat itulah menjadi hari bersejarah dalam perjalanan sejarah perdaban Islam karena tanggal 16 Agustus awal tahun pertama Hijriyah, Rasulullah dan para sahabatnya yang berjumlah kurang lebih 100 orang menuju Yastrib/Madinah, kebetulan harinya adalah hari Jum’at. Di tengah jalan pada suatu tempat yang bernama perkampungan Lembah Bani Salim, Rasul mendapat perintah untuk mendirikan Shalat Jum’at,[24] sebagai suatu isyarat bahwa sudah waktunya memproklamirkan berdirinya Daulah Islamiyah.
Khutbah Jum’at yang disampaikan Rasulullah itu, sebagai khutbah Jum’at pertama dalam Islam, oleh ahli-ahli sejarah dinyatakan sebagai proklamasi lahirnya negara Islam. Karena dalam khutbah tersebut Rasulullah telah menetapkan dasar negara yaitu ketakwaan kepada Allah dan juga menetapkan prinsip-prinsip pokok negara Islam.[25] Prinsip-prinsip pokok yang dimaksud adalah;(1)Al-Syura atau musyawarah (2)Al-‘Adalah atau keadilan (3)Al-Musawah atau persamaan (4)Al-Hurriyah atau kebebasan (5)Mas’uliyyah al-Hakim atau tanggung jawab pemerintah.[26]
Di sini penulis tidak terlalu menekankan pada cara dan system yang dipergunakan Rasulullah dalam memimpin sebuah negara tetapi lebih memprioritaskan aspek sejarah dari peradaban yang dibangun oleh Rasulullah sehingga mampu melahirkan sebuah peradaban besar dan agung dalam perjalanan manusia.
Awal kejayaan umat Islam sebagai titik balik sejarah dimulai sejak generasi pertama pada masa Rasulullah Muhammad saw. terutama setelah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.
Para pakar sejarah modern telah membaca aktifitas Nabi pasca hijrah merupakan pekerjaan besar yang mengundang decak kagum. Karena dalam waktu yang relative singkat, Nabi bahkan mampu membalik seluruh keadaan di Jazirah Arab menjadi bagian-bagian yang harus tunduk kepada ajaran Islam. Muhammad ‘Athiyyah al Abrasy dalam bukunya ‘Adzamah al-Rasul Sallallahu ‘alaihi wasallam turut mengilustrasikan bahwa hijrah Nabi ke kota Madinah merupakan momentum besar dimana momentum tersebut telah menjadikan Islam tersebar begitu cepat ke suluruh Jazirah Arab. Bahkan setelah itu ia mampu tersebar kepada umat-umat lainnya dengan cepat, sebagaimana tak didapatkan dalam sejarah yang semisal dengannya. Seorang pakar Islamisasi Ilmu pengetahuan seperti Isma’il al Faruqi dalam bukunya The Hijrah; The Necessity of its Iqamat or Vergegenwartingung bahkan berpendapat bahwa; “The most important aspect at the hijrah is its creation of the Islamic State.”
Analisa lainnya juga datang dari Dr. Ramadhan Al Buthi dalam Fiqh Sirah, menyebutkan bahwa hijrahnya Nabi salallahu ‘alaihi wasallam ke Yatsrib merupakan langkah awal dalam proses terbentuknya “Dar al Islam” (Negara Islam). Oleh karenanya, langkah awal yang Nabi lakukan untuk meletakkan asas-asas penting sebuah tatanam masyarakat adalah; Bina’ al masjid (pembangunan masjid), Al Mu’akhah baina al muslimin (Mempersaudarakan diantara kaum muslimin), dan Kitabah wasiqah (dustur) (Membuat perjanjian).
Beberapa peran strategis Nabi yang menunjukkan aktifitas dalam membangun masyarakat Islam di kota Madinah dapat diuraikan dalam beberapa point penjelasan berikut ini:
1.      Setibanya Nabi di Madinah, beliau disepakati secara kolektif oleh kaum muslimin sebagai pemimpin tertinggi bagi mereka. Peran Nabi sebagai pemimpin spiritual juga secara bersamaan menampati posisi sebagai pemimpin politik. Indikasi-indikasi yang dapat dijadikan tolak ukur adalah; Nabi adalah pemegang tertinggi keputusan. Hukum-hukum yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama manusia baik sesama muslim maupun non muslim diputuskan berdasarkan hukum yang dibawa oleh Nabi berdasarkan ketetapan dari al-Syari’ (Allah).[27]
Di dalam tafsir Buya Hamka menjelaskan bahwa QS. Al-Ahzab [33] : 36 yang menjadi landasan pemikiran di atas, merupakan surah Madaniyah. dinamakan Ahzab (kelompok) karena memang dimuat di dalam surah ini cerita tentang sekelompok musuh-musuh Allah dan Rasul yang hendak menghancurkan Islam yang sedang tumbuh dengan baik di kota Madinah. Mereka adalah orang-orang kafir Quraisy baik di dalam maupun di luar kota Makkah dan sekelompok Yahudi licik. Mengenai ayat di atas, Hamka menjelaskan bahwa ayat diatas turun terkait tentang teguran kepada sahabiyah Zainab binti Jahasy dan saudara laki-lakinya Abdullah bin Jahasy yang menolak pilihan Nabi dalam jodoh hanya karena pandangan duniawi (tidak sekufu’) yakni kepada zaid bin Haritsah. Namun setelah mendapatkan motivasi ayat di atas barulah mereka mengimani perkataan Nabi.
Nabi mendirikan pusat pemerintahan dan informasi dengan masjid sebagai basisnya. Ketika itu, selain sebagai tempat ibadah, tarbiyah, masjid juga sebagai tempat Nabi untuk membicarakan hal-hal strategis dan politis terkait dengan hubungan diplomatik antar wilayah (penerimaan delegasi), invansi dan pertahanan, bahkan masjid juga sebagai tempat dimana tawanan-tawanan perang dimukimkan, sehinggga mereka melihat etika kehidupan Nabi dan para sahabat yang kemudian tidak sedikit dari mereka menerima Islam. Masjid juga sebagai tempat mukim orang-orang fakir yang memiliki keinginan keras belajar Islam seperti ashab as suffah, tempat latihan militer dan persiapan tempur, tempat pengadilan dan sengketa, pengobatan para korban perang, dan lain-lain. Dalam pandangan Sidi Gazalba masjid bahkan telah mengubah gemeinschaft (bentuk hubungan antar manusia) Arab yang berasaskan kesukuan menjadi gemeinschaft Negara Islam.
2.      Nabi mengatur urusan perekokomian masyarakat Madinah dengan sistem zakat, infaq maupun shadaqah yang didistribusikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan syari’at (At Taubah: 60, 103, al Hajj; 41,). Ketika Nabi tiba di Madinah, pasar Madinah ketika itu dimonopoli oleh sistem kapitalisnya Yahudi, dimana arus keluar msauk pasar dikandalikan secara strategis oleh mereka. Rasulullah kemudian membangun pasar muslim melalui tangan Abdurrahman bin ‘Auf ra. Sahabat saudagar kaya yang menjadi salah satu pilar ekonomi kaum muslimin. Rasulullah juga melakukan pengawasan (hisbah) pada pasar dengan menunjuk penanggung jawab urusan tersebut kepada sahabat Said bin Said Ibnul ‘Ash ra.
Satu hal yang belum pernah terjadi pada peradaban-peradaban lainnya adalah, Rasulullah mengubah sistem perekonomian di kala itu yang sarat praktek ribawi dengan segala bentuknya kemudian dihilangkan dan dihapuskan dengan sistem yang Ilahi (Islam). Perdagangan dan jual beli tidak lagi monopoli si kaya atas si miskin. Pinjam meminjam, musyarakah atau mudharabah juga ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang adil lagi penuh maslahat serta menghilangkan kemudharatan-kemudharatan. Penghapusan sistem pajak sebagaimana terjadi di Negara-negara besar ketika itu (Romawi dan Persia) dengan sistem zakat, dan lain-lain.
3.      Nabi bertindak memimpin sejumlah peperangan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini seluruh peperangan diatur dan dimenej oleh Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi. Namun demikian sebagiamana yang terjadi dalam beberapa peperangan seperti Badr, Khandak, dan lain-lain masukan-masukan dari para sahabat juga diperhitungkan secara masak. Al Bukhari menyebutkan dari sejumlah periwayatan seperti dari Zaid bin Arqam ra, Al Barra ra bahwa Nabi bertempur secara langsung sebanyak 19 kali. Pertempuran-pertempuran tersebut secara mayoritas dimenangkan oleh Nabi. Ini menunjukan betapa besarnya peran Nabi dalam mengatur, menempatkan, dan melakukan strategi peperangan secara brilian.
Jelas-jelas peperangan Nabi adalah pembelaan, penyebaran Islam, dan jalan untuk menjadikan rahmatan lil ‘alamin menjadi benar-benar dirasakan. Dr. Ramadhan Al Buthy juga menyebutkan bahwa; Jihad juga merupakan benteng pertahanan negeri Islam dan masyarakat Islam. Oleh karenanya, segala bentuk peperangan yang dilakukan tidak lepas dari etika-etika Islam yang tak pernah ada dalam sejarah perang bangsa manapun seperti tresebut dalam hadits Sulaiman bin Buraidah ra (HR. Muslim, Kitâb Al Jihâd wa as Sîr, Bab Ta’mîr al Imâm al Amrâ’ ‘ala al Buhûts wa Washiyah bi âdâb al Ghazwu wa Ghairihâ) bahkan hingga saat ini.
Pelajaran utama dari perjalanan Hijrah Rasulullah saw dan para sahabatnya yaitu adanya proses peletakan cikal bakal sebuah entitas peradaban. Hal ini dapat kita lihat –sebagaimana telah disebutkan di atas- dengan dilakukannya tiga langkah strategis sebagai pondasi utama yang kemudian menjadi asas dalam pembentukan prototype masyarakat Islam. Tiga langkah strategis tersebut, yaitu:
Pertama, membangun mesjid (pertama membangun mesjid Quba, selanjutnya membangun mesjid Nabawi al-Syarif) di Madinah sebagai bangunan pertama dalam risalah kenabian. Rasulullah saw mengoptimalkan fungsi mesjid bukan hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja (shalat, membaca al-Qur’an, zikir dan i’tikaf), tetapi juga sebagai tempat berbagai aktivitas keumatan/ghairu mahdah yaitu difungsikan sebagai ma’had; pusat dakwah; pusat pendidikan dan pengajaran; sebagai mahkamah; tempat mengadili para pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian masalah; tempat prajurit muslim berkumpul sebelum memulai perjuangan, tempat mengatur strategi peperangan; pusat penerangan dan informasi kepada masyarakat; pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan politik; tempat bermusyawarah.[28] Hal ini memperlihatkan bahwa mesjid[29] dalam Islam mempunyai misi yang dapat diwujudkan dalam berbagai aspek guna membentuk kehidupan yang Islami.
Kedua, membangun persaudaraan (ukhuwwah) antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah takafu al-Ijtima’i (jaminan sosial, solidaritas, sepenanggungan, saling tolong-menolong). Persaudaraan yang dibangun Rasulullah saw adalah persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan yang berjalan sebelum itu.[30] Melalui semangat persaudaraan, Rasulullah saw berhasil membangun kota Madinah dalam sebuah entitas yang penuh kedamaian, keamanan, adil dan sejahtera, padahal sebelumnya telah terjadi konflik sangat sengit yang berlangsung sejak lama (sekitar 120 tahun) antara dua suku (qabilah) besar di Madinah  yaitu qabilah Aus dan Khazraj. Adanya kepercayaan sosila dari masyarakat Madinah kepada Muhammad saw itu, telah berhasil mengantarkan pada upaya membangun loyalitas public, bahkan Muhammad Husain Haekal menganggap bahwa persaudaraan yang dibangun oleh Rasulullah adalah dasar peradaban Islam.[31]
Ketiga, menyusun suatu perjanjian (dustur) dengan ditandatanganinya Piagam Madinah sebagai regulasi tata kehidupan yang plural baik antara kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) di satu pihak maupun antara kaum muslimin dan umat-umat lainnya (termasuk Yahudi) di pihak lain yang menjelaskan berbagai hak dan kewajiban sebagai masyarakat (warga Negara). Dalam konteks ketatanegaraan sekarang ini, Piagam Madinah tersebut merupakan sebuah dokumen politik berupa konstitusi. Pengakuan atas keberagaman berbagai golongan dan komponen masyarakat sangat terlihat dalam konstitusi tersebut.[32] penyebutan secara eksplisit golongan Yahudi serta berbagai qabilah lainnya yang memiliki kewajiban mempertahankan keamanan Madinah dari serangan luar, telah membawa pada perwujudan stabilitas politik dan keamanan Madinah. Kita dapat menyimak bahwa secara substansial, Piagam Madinah telah merangkum berbagai prinsip dan nilai moral yang tinggi berupa keadilan, kepemimpinan, musyawarah, persamaan, persaudaraan, persatuan, kemerdekaan, dan toleransi beragama, perdamaian, tolong-menolong, dan membela terhadap para pihak yang teraniaya. Proklamasi tersebut merupakan proklamasi bagi kelahiran sebuah peradaban masyarakat Islam, negara dan pemerintahan, di mana disebutkan bahwa hak otoritas kepemimpinan diberikan kepada Rasulullah saw.[33]
Dengan demikian Rasulullah saw berkedudukan sebagai Kepala Negara dan kepala Pemerintahan. Tidak semua Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah swt langsung memerintah dan menjadi Kepala Negara, tetapi Nabi Muhammad saw adalah pemimpin pergerakan dan pemimpin politik berdasarkan nubuwah dan risalah. Ajaran yang diterimanya dari Allah swt ditujukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemerintahan yang berdiri di Madinah jika dibandingkan dengan yang dianut oleh Persia, Romawi, Ethiopia (Habsyah) maupun yang lainnya pada masa itu merupakan pemerintahan termodern baik dalam undang-undang, sistem sosial dan kemasyarakatan serta dalam bentuk maupun susunannya. Bahkan Prof. K. Ali mengutip pendapat Amir Ali dari bukunya “The Spirit of Islam” bahwa perjuangan selama waktu yang cukup singkat tersebut dipandang sebagai satu-satunya perjuangan yang paling berhasil sepanjang catatan sejarah dunia.[34]
Demikian besarnya perhatian Islam terhadap peradaban, dapat kita simak pula dari korelasi yang kuat antara terminology peradaban dengan akhlak, di mana akhlak merupakan misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad saw ke muka bumi. Hal ini sebagaimana yang disabdakannya melalui beberapa hadis, di antaranya riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya aku (Muhammad saw) diutus oleh Allah swt untuk menyempurnakan akhlak”.[35] Dengan demikian, menyempurnakan akhlak berarti pula membangun sebuah peradaban Islam.
Peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw adalah suatu peradaban yang memberikan rahmat, kasih sayang, kedamaian kepada semua alam, bukan hanya manusia saja akan tetapi seluruh makhluk ciptaan Allah swt selain manusia juga merasakan kasih sayangnya. Hal ini sangatlah berkesesuaian dengan salah satu pengertian Islam yaitu kedamaian.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai Nabi Muhammad saw; perannya sebagai pemimpin agama dan kepala negara maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Dalam membangun masyarakat Islam nabi memulai dengan menyebarkan Islam dengan kasih sayang, kelembutan dan kebijaksanaan tinggi dengan menekankan dakwa pada aspek ketauhidan yang menjadi dasar bersinarnya peradaban islam pada masa itu.
2.      Masyrakat Islam pada masa kenabian menggapai puncak gemilang pasca hijra nabi ke Madina, dimana nabi memulai dengan membangung mesji dengan multi fungsi, menpersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar serta menyusun regulasi tata kehidupan baik antar kaum muslimin, maupun dengan umat-umat lainnya.
B.     Rekomendasi
Sebagai manusia biasa yang memiliki keterbatasan, penulis mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apalagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari standar sebuah karya ilmiah.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari, dan menulis tentang apa dan bagaimana perjuangan Rasulullah dalam membangun sebuah peradaban Islam. Akhinya penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat kepada para pembaca terlebih bagi pribadi penulis dan mendapat kebaikan serta petunjuk dari Allah.


DAFTAR PUSTAKA
A. Nizami. http://syariahislam.wordpress.com. Fri. 12 September 2008.
Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, Abu Muhammad, As-Sirah an-Nabawiyah lil Ibni Hisyam, terj. Fadhil Bahri Lc., Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Jakarta Timur, darul falah, 2000.
Al-Alusi, Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut. Dar al-Fikr. 1993.
Al-Banjari, Rachmat Ramadhana. Prophetic Leadership. Yogyakarta. DIVA Press. 2008.
Al-Busti, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abu Hatim al-Tamimi. Sahih ibn Hibban. Beirut. Mu’assasah al-Risalah. 1993.
Ali an-Nadwi, Abul Hasan, As-Sirah an-Nabawiyah, terj. H. Bey Arifin & Yunus Ali Muhdhar, Riwayat Hidup Rasulullah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008
Ali, K. Sejarah Islam; Tarikh Pramodern. Jakarta. RajaGrafindo Persada. 1996.
Al-Kassai, ‘Abd ibn Humaid ibn Nasr Abu Muhammad. al-Muntakhab min Musnad ‘Abd ibn Humaid. Kairo. Maktabah al-Sunnah. 1988.
Al-Magribi, ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khald al-Khadrami. Tarikh ibn Khald. Beirut. Dar al-Fikr. 1979.
Al-Mubarahfuri, Safi al-Rahman. al-Rahiq al-Makhtum Bahs fi al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala Sahibiha afdal al-Salah wa al-Salam. Riyadh. Maktabah Dar al-Salam. 1994.
Al-Naisaburi, Muhammad ibn ‘Abdillah Abu ‘Abdillah al-Hakim. al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Beirut. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1990.
Al-Razi, Fakhr al-Din. Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Gaib. Beirut. Dar al-Fikr. 1994.
Al-Sa’di, ‘Abd al-Rahman ibn Nasr. al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Riyadh. Maktabah al-Kausar. 1997.
Al-Sa’idi, Hazim ‘Abd al-Muta’al. al-Nazriyyah al-Islamiyyah fi al-Daulah ma’a al-Muqaranah bi Nazriyyah al-Daulah fi al-Fiqh al-Dusturi al-Hadis. Beirut. Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah. 1977.
Amrullah, H.A. Malik Karim (HAMKA). Sedjarah Umat Islam. cet. IV. Bukit Tinggi. Nusantara. 1961.
Haekal, Muhammad Husni. Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad). terj. Ali Audah. cet. XXXVII. Jakarta. Lentera AntarNusa. 2008.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1995.
Hawai, Muhammad Umar. Nuzul al-Qur’an wa Tarikhuhu wa ma Yata’allaqu bihi. www.al-islam.com. program al-Maktabah al-Syamilah.
Ibn ‘Asir, ‘Izzu al-Din Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Ali al-Karim Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn ‘Abd al-Wahid al-Syaibani al-Ma’ruf bi. al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut. Dar al-Fikr. 1965.
Ibn ‘Asyur. al-Tahrir wa al-Tanwir. www.altafsir.com. program al-Maktabah al-Syamilah.
Ibn Kasir, ‘Imad al-Din Abu al-Fida’i Isma’il ibn Umar. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1998.
Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab. Kairo: Dar al-Hadis. 2003.
Ibn Zakariyya, Abu al-Hasan Ahmad ibn Faris. Mu’jam Maqayis al-Lugah. Kairo. Dar al-Fikr. 1972.
Mu’nis, Husain. Alam al-Islam; Dirasah fi Takwin al-‘Alam al-Islami wa Khasais al-Jama’at al-Islamiyyah. Kairo. Dar al-Ma’arif. tth.
Nasution, Harun. Islam dan Sistem Pemerintahan sebagai Perkembangan Sejarah dalam Studi Islamika. LP IAIN. Juli 1983.
Philip K. Hitti, Histori Of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Histori Of The Arabs,Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. 1988.
www.republikanewsroom.com. Kamis. 09 Juli 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta. RajaGrafindo Persada. 2008.



[1]Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1-2.
[2]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Edisi II, h. 5.
[3]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
[4]Lihat Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), jil. XII, h. 289.
[5]Abdu ibn Humaid ibn Nasr Abu Muhammad al-Kassai, al-Muntakhab min Musnad ‘Abd ibn Humaid (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1988), jil. I, h. 124.
[6]A. Hasjmy, op. cit., h. 4.
[7]A. Hasjmy, op. cit., h. 4.
[8]QS. Al-Ahzab [33] : 31.
[9]A. Nizami, http://syariahislam.wordpress.com (Fri: 12 September 2008).
[10]Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai awal turunnya wahyu yang dikenal dengan nuzul al-Qur’an. Ada yang berpenndapat malam ke-17 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam ke-24 dan sebagainya. Demikian pula dengan proses turunnya. Untuk lebih jelasnya, lihat Muhammad Umar Hawai, Nuzul al-Qur’an wa Tarikhuhu wa ma Yata’allaqu bihi (www.al-islam.com), program al-Maktabah al-Syamilah, h. 15-16.
[11]Ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir (www.altafsir.com), program al-Maktabah al-Syamilah, jil. XVI, h. 324.
[12]Kata tala terambil dari akar kata talw yang bermakna al-ittiba’ “mengikuti”, sehingga lahir istilah tilawah al-Qur’an karena membaca al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan yang tertulis dalam al-Qur’an. Karena itu pula –mungkin- dalam QS. Al-‘Ankabut [29] :45. Allah mempergunakan kata tersebut ketika memerintahkan Rasul-Nya membacakan wahyu kepada umatnya. Lihat Abu al-Hasan Ahmad ibn Faris ibn Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah (Kairo: Dar al-Fikr, 1972), jil. I, h. 351.
[13]Kaidah yang dimaksud adalah hazfu al-muta’alliq al-ma’mul fihi yufidu ta’mima al-ma’na al-munasabi lahu, lihat ‘Abd al-Rahman ibn Nasr al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an (Riyadh: Maktabah al-Kausar, 1997), h. 47.
[14] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, As-Sirah an-Nabawiyah lil Ibni Hisyam, terj. Fadhil Bahri Lc., Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, (Cet. I; Jakarta Timur: darul falah, 2000), jil I, h. 203
[15] Abul Hasan Ali an-Nadwi, As-Sirah an-Nabawiyah, terj. H. Bey Arifin & Yunus Ali Muhdhar, Riwayat Hidup Rasulullah, (surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), h. 74
[16]QS. Ali Imran [3] : 159.
[17]Menurut Ma’ruf  Misbah, dkk. yang dikutip oleh Republika Newsroom bahwa pertumbuhan peradaban Islam disebabkan oleh dua, yaitu ia bersumber dari al-Qur’an dan al-sunnah yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Penyebab kedua karena proses penyebaran Islam dilandasi dengan semangat persatuan, perkembangan institusi negara, perkembangan ilmu pengetahuan dan perluasan daerah Islam. Bahkan digambarkan, substansi peradaban Islam itu ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, sedangkan dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit dan memberi rahmat bagi alam semesta. Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis. Lihat www.republikanewsroom.com, kamis, 09 Juli 2009.
[18]http://hudzai.wordpress.com/2010/01/06/muhammad-sebagai-pemimpin-negara.
[19]Lihat QS. Al-Baqarah [2] : 246.
[20]‘Izzu al-Din Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Ali al-Karim Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn ‘Abd al-Wahid al-Syaibani al-Ma’ruf bi Ibn ‘Asir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Fikr, 1965), jil. II, h. 95.
[21]Ibn ‘Asir, ibid., h. 98.
[22]Philip K. Hitti, Histori Of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Histori Of The Arabs,(Cet.II; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 145.
[23]Safi al-Rahman al-Mubarahfuri, al-Rahiq al-Makhtum Bahs fi al-Sirah al-Nabawiyyah ‘ala Sahibiha afdal al-Salah wa al-Salam (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), h. 149.
[24]A. Hasjmy, op. cit., h. 50. Dan Ibn Asir, op. cit., h. 109.
[25]A. Hasjmy. Ibid., h. 50.
[26]Untuk lebih jelasnya, lihat Hazim ‘Abd al-Muta’al al-Saidi, ibid., h. 106-138.
[27]Lihat QS. Al-Ahzab [33] : 36.
[28]Husain Mu’nis, ‘Alam al-Islam; Dirasah fi Takwin al-‘Alam al-Islami wa Khasais al-Jama’at al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, tth), h. 135.
[29]Ini sesuai dengan bentuk kata “mesjid” dalam bahasa Arab dikenal sebagai ism al-makan (nama tempat) sehingga dipahami bahwa mesjid adalah tempat yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah (ibadah dalam arti luas) karena sujud merupakan lambing peribadatan kepada Allah.
[30]A. Hasjmy, op. cit., h. 51.
[31]Haekal, op. cit., h. 211.
[32]Husain Mu’nis, op. cit., h. 146-152.
[33]Badri Yatim, op. cit., h. 26-27.
[34]K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pramodern (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 83.
[35]Muhammad ibn ‘Abdillah Abu ‘Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), jil. II, h. 670.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar